"Peningkatan tingkat kortisol bisa berkontribusi terhadap berbagai kondisi, seperti hipertensi, kenaikan berat badan, jerawat, dan anxiety," tutur Lee.
Kenapa Putus Cinta Amat Sakit? Ini Jawaban Sains!

- Rasa sakit putus cinta terjadi karena otak memproses kehilangan cinta seperti rasa sakit fisik.
- Kadar dopamin dan oksitosin menurun drastis, sementara kortisol meningkat tajam saat putus cinta.
- Otak membutuhkan beberapa minggu hingga beberapa bulan untuk pulih dari kehilangan emosional yang besar.
Kata pujangga, jatuh cinta adalah hal yang paling indah di dunia. Hal ini juga bisa dijelaskan secara medis karena saat jatuh cinta, kita merasakan kinerja hormon oksitosin atau yang dikenal sebagai hormon cinta.
Seindah-indahnya jatuh indah, sesakit itulah putus cinta. Sayangnya, sains pun bisa menjelaskan mengenai mengapa putus cinta amat menyakitkan bagi individu. Mari simak fakta kenapa putus cinta sangat sakit selengkapnya!
Hormon stres menginvasi

Dilansir Live Science, seorang penulis medis di Dr Fox Online Pharmacy di Inggris, Dr. Deborah Lee, mengatakan bahwa sakitnya putus cinta bukan hanya di pikiran saja. Jika jatuh cinta memicu hormon "nyaman" seperti oksitosin dan dopamin, putus cinta justru menurunkan kedua hormon tersebut dan meningkatkan hormon stres, kortisol.
Sebuah studi di AS yang dimuat dalam jurnal Biological Sciences pada 2011 mencatat bahwa putus cinta memicu aktivitas otak yang berkaitan dengan rasa sakit secara jasmani. Saat melihat foto mantan (ugh!), pindaian MRI di daerah somatosensory cortex dan dorsal posterior insula (yang aktif saat cedera fisik) terpantau ikut aktif.
Berlaku juga di sistem saraf

Kenapa putus cinta amat sakit? Saat putus cinta, Lee menjelaskan bahwa sistem saraf simpatetik dan parasimpatetik juga aktif. Menurut Mayo Clinic Neurology Board Review, sistem saraf simpatetik bertugas untuk memicu respons fight or flight saat terdesak (mempercepat detak jantung dan napas), sementara sistem saraf parasimpatetik bertugas mengontrol tubuh saat relaks.
"Saat merespons, otak dan jantung kebingungan karena mendapatkan 'pesan' berbeda. Ini menyebabkan gangguan aktivitas kelistrikan jantung, terutama variabilitas detak jantung rendah," kata Lee.
Putus cinta juga bisa berarti ditinggalkan oleh pasangan lebih dulu. Lee mengutip studi yang dimuat dalam jurnal Psychoneuroendocrinology pada 2018 silam, bahwa para janda dan duda memiliki peningkatan risiko kematian dini 41 persen setelah kematian pasangannya.
Hormon yang terlepas saat putus cinta mengaktifkan sistem saraf tersebut. Setuju dengan Lee, psikolog klinis dan terapis di klinik Couples Therapy Inggris, Eric Ryden, menambahkan bahwa putus cinta juga berdampak secara neurobiologis. Bahkan, tidak jarang individu malang yang mengeluhkan nyeri dada hingga serangan panik setelah putus.
"Putus cinta tampaknya melibatkan serangkaian mekanisme saraf yang serupa dengan nyeri jasmani," kata Ryden.
Sindrom patah hati atau Kardiomiopati Takotsubo
Dalam beberapa kasus langka, putus cinta memang bisa menyebabkan masalah di heart (dalam artian jantung, lo!). Kondisi ini disebut sindrom patah hati atau Kardiomiopati Takotsubo, kondisi pelemahan ventrikel kiri jantung yang umumnya dikenal sebagai bilik pompa utama jantung. Gejala umumnya adalah sesak napas dan nyeri dada.
Selain faktor pemicu fisik, dari cedera, sakit, hingga KDRT, Harvard Health Publishing mencatat bahwa pemicu kondisi ini bisa berakar dari emosi, seperti kehilangan orang tercinta, mendapatkan kabar buruk, hingga gugup berlebihan. Menariknya Kardiomiopati Takotsubo paling sering terjadi di kalangan kaum hawa (terutama setelah menopause).
Tak ada pengobatan standar untuk Kardiomiopati Takotsubo. Umumnya, pasien bisa pulih total dalam waktu minimal 2 bulan. Namun, tidak jarang kondisi ini menyebabkan gangguan jangka panjang sehingga pasien butuh terus mengonsumsi obat untuk gagal jantung, seperti beta blocker, ACE inhibitor, hingga aspirin (untuk aterosklerosis).

Lalu, adakah alasan lain mengapa putus cinta amat sakit? Ryden menjelaskan bahwa menjalin cinta dan mengakhirinya ada seiring evolusi manusia. Positifnya, indahnya jatuh cinta dan sakitnya putus cinta membantu manusia tetap bertahan hidup.
"Ada banyak penelitian tentang pentingnya hubungan sosial yang tetap. Risiko dan efek patah hati bisa dianggap sebagai bagian dari dorongan motivasi seseorang untuk menemukan hubungan romantis yang tak lekang," tutur Ryden.
Mengulangi pernyataan di atas, seindah-indahnya jatuh cinta, sesakit itu juga putus cinta patah hati. Dari peningkatan hormon hingga ada sindromnya sendiri, putus cinta bukanlah hal yang mudah untuk dilewati, dan butuh waktu untuk pulih. Jika kamu baru putus, jangan terus kecewa. Kamu pasti bisa move on dan mencari yang lebih baik!
"Time does not heal all wounds, but it teaches us how to live with it."
FAQ – Kenapa Putus Cinta Amat Sakit
1. Mengapa putus cinta terasa sangat menyakitkan menurut sains?
Secara ilmiah, rasa sakit saat putus cinta terjadi karena otak memproses kehilangan cinta seperti rasa sakit fisik. Aktivitas di bagian otak yang disebut anterior cingulate cortex meningkat — area yang juga aktif saat seseorang terluka secara fisik. Jadi, patah hati memang bisa terasa “sakit” secara nyata, bukan hanya secara emosional.
2. Hormon apa yang berperan saat seseorang mengalami patah hati?
Ketika putus cinta, kadar dopamin dan oksitosin — hormon yang membuat seseorang merasa bahagia dan terikat — menurun drastis. Sementara itu, kortisol, hormon stres, meningkat tajam. Perubahan hormon inilah yang membuat seseorang merasa gelisah, sulit tidur, bahkan kehilangan nafsu makan setelah patah hati.
3. Berapa lama waktu yang dibutuhkan otak untuk pulih dari patah hati?
Setiap orang berbeda, tetapi secara umum otak membutuhkan beberapa minggu hingga beberapa bulan untuk pulih dari kehilangan emosional yang besar. Dalam masa ini, membangun rutinitas baru, bersosialisasi, dan berolahraga bisa membantu otak membentuk koneksi baru yang menggantikan asosiasi dengan hubungan lama.