Memasuki Bulan Suro, Ini 5 Perang Tersengit Era Jawa Modern

- Perang Kuning Lasem (1741-1750) antara etnis Tionghoa dan Jawa di Lasem, Rembang.
- Perang Tahta Jawa Ketiga (1749-1757) terjadi di Kesultanan Mataram akibat perebutan kekuasaan.
- Perang Puputan Bayu (1771-1772) di Blambangan wilayah Banyuwangi karena upaya VOC menguasai daerah tersebut.
Pada tahun 2025, malam 1 Suro jatuh pada hari Kamis tanggal 26 Juni selepas magrib. Bulan Suro tentu bukanlah istilah asing bagi masyarakat Indonesia utamanya Suku Jawa. Kata Suro sendiri merupakan sebutan dari masyarakat Jawa untuk bulan Muharram. Bulan Suro dalam tradisi Jawa merupakan hasil akulturasi antara budaya lokal dengan ajaran Islam.
Seperti yang dilansir dalam jurnal unibabwi.ac.id, dijelaskan bahwa penetapan satu Suro sebagai awal tahun baru Jawa dilakukan sejak zaman Kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Bulan Suro dalam tradisi kepercayaan masyarakat Jawa dianggap sebagai waktu yang sakral untuk mencari keseimbangan antara alam dunia dan alam gaib, serta menjaga hubungan baik dengan leluhur. Bulan yang dianggap keramat ini dipercaya sebagai waktu yang tepat untuk menjauhkan atau menghindarihal-hal yang dapat menarik energi negatif salah satunya adalah berperang.
Namun, tidak dapat dipungkiri, kenyataan di lapangan tidak selalu berjalan sesuai yang kita harapkan. Beberapa perang berikut justru terjadi di era Jawa Modern bahkan terbesar di masanya. Apa saja? Yuk, disimak!
1. Perang Kuning Lasem (1741-1750)

Berdasarkan laman keclasem.rembangkab.go.id, Lasem adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kota tersebut merupakan kota terbesar kedua di Kabupaten Rembang setelah kota Rembang. Dahulu, Lasem dikenal sebagai "Tiongkok kecil" (Little Chinatown) karena merupakan kota awal pendaratan orang Tiongkok di tanah Jawa dan terdapat perkampungan Tionghoa yang sangat banyak tersebar di kota Lasem. Disamping itu, Lasem juga memiliki patung Buddha berbaring yang berlapis emas.
Di sisi lain, dalam jurnal unibabwi.ac.id disebutkan pula bahwa Lasem dikenal sebagai "Kota Santri". Hal tersebut tak lain karena banyaknya pondok pesantren di kota yang pernah menjadi Kadipaten sebelum Rembang tersebut. Secara geografis, Lasem merupakan wilayah pesisir yang memiliki peran penting dari masa ke masa, terutama dalam konteks sejarah era kolonial di Pulau Jawa. atau era Jawa Modern.
Perang Kuning Lasem atau Geger Pecinan adalah perlawanan dari persekutuan etnis Tionghoa dan Jawa yang dipimpin oleh Raden Tumenggung Widyaningrat dan Kiai Ali Baidlowi terhadap VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada abad ke-18, tepatnya tahun 1741-1742 dan 1750. Pemicu utama dari perang ini seperti yang tertulis dalam jurnal unibabwi.ac.id adalah pembantaian etnis Tionghoa di Batavia pada tahun 1740. Banyak pengungsi Tionghoa yang selamat kemudian mencari perlindungan di Lasem dan Semarang. Adipati Lasem saat itu yaitu Raden Tumenggung Widyaningrat, yang juga keturunan Tionghoa, menerima para pengungsi Tionghoa dan membangun pemukiman baru.
Perang ini menjadi simbol persatuan dan semangat perlawanan dari berbagai etnis dan kelompok masyarakat terhadap penjajah.
2. Perang Tahta Jawa Ketiga (1749-1757)

Menurut informasi dalam laman sejarah.fkip.uns.ac.id, Perang Tahta Jawa Ketiga (1749-1757) adalah konflik yang terjadi di Kesultanan Mataram akibat perebutan kekuasaan antara Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), dan Pakubuwana II yang didukung oleh VOC. Perang tersebut dipicu oleh kekecewaan dan ketidakpuasan Pangeran Mangkubumi dengan pemerintahan Pakubuwana II.
Dalam laman tersebut juga dijelaskan bahwa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda terlalu ikut campur dalam konflik internal ini, dengan mendukung salah satu pihak demi kepentingan mereka. Akibatnya situasi semakin memanas dan terjadilah perang besar diantara mereka. Di samping itu, adanya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 menjadi awal perpecahan dari Kesultanan Mataram. Menurut perjanjian tersebut, Pangeran Mangkubumi mendapatkan wilayah Kesultanan Yogyakarta, sementara sisanya tetap di bawah kekuasaan Pakubuwana II. Perang ini pun berakhir dengan pembagian wilayah Mataram menjadi tiga bagian yakni Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran.
3. Perang Puputan Bayu (1771-1772)

Perang Puputan terjadi di Desa Bayu pada tahun 1771-1772 sering disebut sebagai "perang abis-abisan". Berdasarkan informasi dalam laman jurnal.sekawansiji.org, Perang Puputan adalah peperangan yang terjadi di Blambangan wilayah paling ujung timur di Pulau Jawa, yang saat ini bernama Banyuwangi. Perang ini dipimpin oleh Pangeran Rempeg Jogopati dan Sayuwiwit, Wong Agung Wilis di daerah Bayu, yang sekarang daerah ini masuk daerah kecamatan Songgon.
Menurut catatan dalam buku Ujung Timur Jawa, 1763-1812: Perebutan Hegemoni Blambangan karya Sri Margana yang tertulis dalam laman jurnal.sekawansiji.org, VOC menginginkan Blambangan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan di Pulau Jawa. Sementara itu, kerajaan Hindu di Bali melihat Blambangan sebagai benteng pembendung Islamisasi dari Jawa. Upaya VOC untuk menguasai Blambangan memicu perlawanan sengit dari rakyat setempat.
Pangeran Jagapati memimpin ribuan prajurit Blambangan dengan semangat tinggi, siap mempertahankan tanah air mereka. Akibat perang ini sekitar 60.000 rakyat Blambangan (Banyuwangi) gugur, hilang, ataupun menyingkir ke hutan untuk menyelamatkan diri dari VOC. Angka tersebut dianggap sangat besar karena jumlah penduduk Blambangan waktu itu 65.000 orang.
4. Perang Diponegoro (1825-1830)

Siapa yang tidak mengenal Pangeran Diponegoro. Beliau adalah Putra sulung Sultan Hamengkubuwana III yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo. Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa. Perang Diponegoro atau yang lebih dikenal sebagai Perang Jawa adalah perang besar yang terjadi di Jawa antara tahun 1825 hingga 1830. Perang ini melibatkan Pangeran Diponegoro dan pasukannya melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Seperti yang dilansir dalam laman jurnal.ipw.ac.id dan www.jurnal.syntax-idea.co.id, perang ini dipicu oleh berbagai faktor, yakni
Belanda semakin mencampuri urusan kerajaan, termasuk pergantian sultan dan kebijakan internal keraton, yang memicu ketidakpuasan di kalangan bangsawan Jawa.
Penerapan pajak dan kerja paksa oleh Belanda yang memberatkan rakyat dan menciptakan ketidakstabilan sosial dan ekonomi.
Pemasangan patok jalan yang melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro dianggap sebagai penghinaan terhadap nilai-nilai budaya dan agama Jawa.
Ulama Islam merasa kecewa dengan penyebaran budaya barat yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Perang ini menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan bagi Belanda karena menguras banyak sumber daya dan biaya. Selain itu diperkirakan sekitar 200.000 jiwa melayang akibat perang ini, baik dari pihak Jawa maupun Belanda. Perang dahsyat ini berakhir dengan kekalahan di pihak Jawa dan Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya.
5. Pertempuran Surabaya (10 November 1945)

Siapa yang tidak tahu hari pahlawan? Perang yang terjadi di Surabaya kala itu begitu dahsyat hingga pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 10 November sebagai hari pahlawan. Berdasarkan informasi dalam laman repository.unair.ac.id, pasukan Sekutu (Inggris) datang ke Surabaya setelah proklamasi kemerdekaan dengan tujuan melucuti senjata Jepang dan membebaskan tawanan perang. Namun ternyata mereka diboncengi oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang ingin mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Seperti dilansir dalam laman repository.unair.ac.id, kematian Jenderal Mallaby, pemimpin pasukan Inggris, dalam pertempuran di dekat Gedung Internatio menjadi pemicu utama pertempuran tersebut. Pihak Inggris mengeluarkan ultimatum yang meminta rakyat Surabaya menyerah, yang ditolak oleh masyarakat Surabaya. Pertempuran ini menjadi salah satu peristiwa paling heroik dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan diperingati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan.
Melalui perang-perang besar tersebut, seluruh warga negara Indonesia tentu banyak memperoleh pelajaran berharga. Oleh karena itu, memasuki Bulan Suro ini ada baiknya kita mengingat kembali peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di sekitar kita. Bulan yang dianggap keramat bagi sebagian besar masyarakat Jawa tersebut bisa menjadi momentum baik bagi kita generasi muda untuk melakukan introspeksi diri, merenungkan perjalanan hidup, dan memperbaharui niat baik untuk tahun yang akan datang. Jadi, bagaimana hasil refleksimu?