Atlet DKI: Prestasi di PON dan Tidak Ada Kata Terlambat Meraih Mimpi

Jakarta, IDN Times - Oktohara Raihan Azzuri, atlet tim basket DKI Jakarta di PON 2024 Aceh-Sumatera Utara, membuktikan bahwa tidak ada kata terlambat dalam meraih mimpi. Semua bisa dicapai, andai memiliki tekad dan keinginan yang kuat.
Raihan sukses mengantarkan kontingen DKI menyabet medali emas dalam cabang olahraga (cabor) basket 5x5. Usut punya usut, Raihan ternyata baru menekuni cabor tersebut saat mengenyam pendidikan di bangku SMA.
Ketika menemukan potensinya, Raihan berani mengambil perjudian. Dia fokus dalam mengejar mimpinya menjadi atlet, yang membuatnya kurang fokus secara akademik.
Kendati demikian, Raihan tetap menuntaskan pendidikannya, hingga ke jenjang tertinggi. Dia sempat kuliah di Universitas Tri Sakti, sebelum memutuskan pindah ke Universitas Budi Luhur, yang tinggal menunggu waktu mendapatkan gelar sarjana.
Dengan potensi yang dimilikinya, pemuda kelahiran 31 Oktober 2002 mencoba peruntungan lewat trial di RANS Simba. Dia mendapat kesempatan trial, yang merupakan langkah awalnya untuk menjadi pebasket profesional.
Progres Raihan yang meyakinkan tak lepas dari dukungan orang tua. Terlebih, sang ayah merupakan pelatih basket, Rifki Antolyon, yang mengantarkan Indonesia meraih emas di ASEAN Schools Games 2024!
Kendati ayahnya pelatih basket, Raihan ternyata tak dituntut untuk mengikuti jalur serupa. Sang ayah baru kegirangan ketika Raihan mulai serius berlatih basket.
Kegirangan itu memuncak ketika sang anak dipanggil tim DKI untuk tampil di PON 2024. Tangis bahagia kian tak tertahan, mengingat Raihan sukses meraih emas di ajang tersebut.
Banyak cerita menarik dari Raihan dalam debutnya di PON. Takjub dan ironi menjadi satu. Berikut wawancara khusus IDN Times bersama shooting guard DKI Jakarta tersebut!
Menang PON, bagaimana rasanya?
Enggak nyangka sebenarnya bisa ikut PON. Saya kira PON itu etmosfernya kayak Kejurnas. Tapi, yang bikin kaget, itu banyak banget penggemar. Antusiasme masyarakat tinggi banget untuk nonton pertandingan.
Mereka datang, minta foto bareng. Saya kaget karena pertama kali ngerasain yang kayak gitu. Saya berasa udah kayak bintang.
PON seru banget, atmosfernya bikin merinding, Saya antar-SMA aja sudah merinding, ini skala yang lebih besar lagi. Gak nyangka bisa ngerasain ini.
Tapi, apa benar infrastukturnya memang kurang bagus?
Nah, ini juga yang bikin kaget. Sampai sana saya kira akan bagus, nginep di hotel bagus dan makan enak. Ternyata hotelnya itu belum jadi.
Berdebu banget, ada serangga. Wah, gila pokoknya. Makanan juga kurang bagus. Susu yang diganti santan kemasan itu beneran ada, bukan hoaks. Untungnya kami langsung protes sehari setelah dapat itu. Besoknya tidak ada lagi dan diganti susu yang lebih baik.
Intinya, kami benar-benar dapat santan kemasan, itu enggak bohong. Kalau di cabor lain kurang tahu, ya sempat dapat atau tidak. Sayangnya saya lupa foto sih.
Sangat bermasalah lah di makanan ini. Porsinya itu dikit dan tidak bikin kenyang. Nasinya juga kayak keras. Terpaksa kami beli makanan di luar. Dari penyelenggara ya tidak tentu menu makanannya. Terkadang daging, ayam, tahu, tempe dan ada gorengan juga. Iya gorengan, kayak bakwan gitu.
Ikut jejak ayah di basket, gimana reaksi ayah pas kamu dapat medali emas?
Ayah selalu ada di lapangan kalau saya main. Kebetulan ayah juga ada bertugas di PON, jadi kayak pengamat lapangan atau apa gitu.
Jadi, setiap DKI main, ayah selalu nonton. Padahal enggak boleh, cuma dia colong-colongan demi nonton anaknya.
Ayah juga sering nonton pas latihan. Selalu kasih evaluasi setiap habis latihan dan tanding. Masukan ayah juga sih yang sangat membantu saya selama PON.
Pas saya dapat emas, dia nangis. Ayah nangis, saya juga ikutan nangis. Pokoknya dia senang dan bangga banget katanya.
Berarti ayah pelatih pertama Raihan?
Bukan, sebenarnya abang saya. Abang pertama saya juga basket, tapi dia gak sampai ke profesional karena kecelakaan.
Waktu itu dia lagi seleksi PON, terus tabrakan, tendonnya putus karena tabrakan sama mobil. Setelah kecelakaan itu dia udah gak bisa lompat, larinya juga jadi lambat.
Pas abang saya kecelakaan, ayah jadi kayak galau. Karena tadinya dia sebagai anak pertama yang diharapkan menjadi pemain basket. Nah, dari situ muncul niat saya buat main basket.
Karena pas saya kecil kan ayah gak maksa untuk jadi pemain basket. Dia membebaskan anaknya memilih cita-cita. Pas SMA kelas satu, saya bilang ke Ayah mau main basket. Dia langsung senang banget dengar itu.
Puas tidak sama performa selama di PON?
Harus puas, karena itu usaha diri sendiri. Saya juga cukup berkontribusi untuk tim, sering cetak poin. Tapi, lupa sih berapa totalnya. Yang penting kan hasil sebagai tim.
Ya, sempat juga liat di skor, kadang 11, sembilan per gim. Sempat 18 dan 10 juga kalau tidak salah.
Intinya harus bersyukur, karena pada akhirnya saya dan tim dapat emas.
Setelah PON, ada tidak yang harus dievaluasi sebagai pribadi?
Mindset harus lebih kuat, secara mental khususnya. Gak boleh lembek, karena profesional akan lebih tekanannya. Jadi, faktor itu harus lebih diperkuat.
Sudah sempat ada trial dengan klub belum?
Beberapa waktu lalu sempat trial di RANS Simba. Baru trial aja, semoga dapat kesempatan lagi. Semoga ada rezeki dari Tuhan.
Pas trial, saya harus pulang lebih cepat, karena ada pertandingan Liga Mahasiswa.
Di basket kan postur tubuh sangat mendukung ya. Itu bagaimana cara Raihan mengakalinya jika melawan pemain yang lebih tinggi?
Di basket itu ada istilah size doesn't matter. Karena setiap pemain punya keunggulannya masing-masing. Contoh, buat pemain-pemain tinggi itu punya potensi buat mencapai ring lebih mudah.
Cuma, pemain-pemain kecil kaya saya itu punya spesialis sendiri. Entah itu lari kencang, dribble yang bagus, dan punya akurasi tembakan yang tinggi.
Di Timnas Basket Indonesia ada contohnya, Andakara Prastawa, Yudha Saputera dan masih banyak lagi.