Cooling Vest, Teknologi Baru Pembalap F1 Melawan Suhu Ekstrem

- GP Qatar 2023 mencatat suhu ekstrem, memicu sistem pendingin wajib bagi pembalap
- Cooling vest menimbulkan perdebatan di kalangan pembalap, meskipun dianggap penting oleh FIA
- GP Singapura 2025 menjadi balapan F1 pertama yang diklasifikasikan sebagai heat hazard
Formula 1 bukan hanya ajang adu cepat, melainkan juga ujian ketahanan fisik ekstrem bagi para pembalapnya. Di balik keseruan aksi saling salip dan adu strategi tim, temperatur panas menjadi lawan yang kerap menentukan hasil akhir. Dari GP Bahrain 2005 yang mencatat rekor suhu tertinggi, GP Qatar 2023 yang membuat sejumlah pembalap kelelahan ekstrem, hingga GP Singapura yang tiap tahun menantang daya tahan pembalap dengan kelembapan tinggi, suhu panas selalu menjadi ujian utama dalam olahraga ini.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Formula 1 mulai memperkenalkan inovasi bernama cooling vest. Teknologi ini dirancang untuk menjaga stabilitas suhu tubuh dan membantu pembalap tetap fokus di tengah panas dan tingkat kelembapan yang luar biasa. Kehadirannya bukan sekadar pelengkap perlengkapan balap, melainkan juga menjadi bagian dari upaya F1 menyeimbangkan antara daya tahan pembalap dan kondisi iklim ekstrem yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari tiap balapan.
1. Suhu panas di GP Qatar 2023 menjadi pemicu teknologi sistem pendingin bagi pembalap
Dilansir The Independent, balapan paling panas dalam sejarah Formula 1 tercatat di GP Bahrain 2005, ketika suhu udara mencapai 42,6 derajat Celsius, melampaui rekor Dallas dan Detroit pada 1980-an. Pedro de la Rosa, yang kala itu menggantikan Juan Pablo Montoya di McLaren, mengaku tidak membawa botol minum karena alasan bobot mobil. Di tengah panas gurun yang menyengat, Fernando Alonso berhasil meraih kemenangan, sementara sebagian besar pembalap memilih untuk bertahan tanpa mengeluh.
Delapan belas tahun kemudian, GP Qatar 2023 menjadi titik balik yang lebih dramatis dalam sejarah balapan dengan iklim ekstrem. Meskipun dimulai pukul 8 malam waktu setempat, suhu di dalam kokpit melonjak hingga 120 derajat Fahrenheit (sekitar 49 derajat Celsius). Esteban Ocon mengaku muntah di dalam helmnya, sementara Lance Stroll dan Alexander Albon dilarikan ke pusat medis usai balapan. Logan Sargeant yang kala itu membalap untuk Williams bahkan terpaksa mundur yang disebut para dokter sebagai gejala kelelahan esktrem akibat suhu panas.
Kejadian di Lusail International Circuit itu menyita perhatian Federation Internationale de l'Automobile (FIA). Badan tertinggi balap tersebut menilai situasi semacam itu berbahaya dan tak boleh terulang. Sebagai respons, FIA memperkenalkan sejumlah langkah pencegahan, termasuk sistem pendingin wajib di mobil.
Solusi teknis berupa air scoop, yaitu celah di bawah sasis untuk menyalurkan udara ke kokpit, kemudian diizinkan mulai 2024 dengan syarat tidak memberi keuntungan aerodinamika. Menurut The Athletic, FIA juga menetapkan batas suhu hingga 31 derajat Celsius dan tingkat humiditas hingga 70 persen yang, jika terlampaui, akan memicu status heat hazard. Dalam kondisi itu, tim diberi izin menambah beban 2–5 kilogram untuk memasang sistem pendinginan tambahan seperti cooling vest.
Langkah tersebut menunjukkan perubahan besar dalam cara Formula 1 memandang keselamatan saat suhu panas kini dianggap sebagai ancaman nyata bagi pembalap. Insiden di Qatar menjadi bukti balapan malam sekalipun tidak selalu menjamin kondisi yang aman. Apalagi, mobil modern dengan downforce tinggi dan lintasan cepat seperti Qatar dan Singapura justru memperparah tekanan panas di dalam kokpit.
2. Meski bertujuan baik, cooling vest masih menimbulkan perdebatan di kalangan pembalap
Dari krisis Qatar lahirlah inovasi cooling vest, atau rompi pendingin cair yang dirancang untuk menjaga suhu tubuh pembalap tetap stabil. Teknologi ini terdiri atas jaringan tabung halus berisi cairan pendingin yang dipompa mengelilingi tubuh di balik wearpack pembalap. Cairan tersebut disimpan dalam tangki berisi dry ice di dalam mobil, lalu bersirkulasi selama balapan.
Secara teori, cooling vest mampu menurunkan suhu inti tubuh pembalap beberapa derajat dan menjaga konsentrasi saat menghadapi 2 jam balapan di bawah kelembapan tinggi. Namun, seperti halnya banyak inovasi baru di dunia balap, hasil di lapangan tak selalu sempurna. George Russell menjadi pembalap pertama yang menggunakannya di GP Bahrain pada April 2025 dan mengaku performanya meningkat signifikan. Ia merasa lebih fokus dan mampu mengatasi gangguan teknis tanpa kehilangan kendali.
Sebaliknya, beberapa pembalap lain mengeluhkan ketidaknyamanan fisik. Lewis Hamilton menyebut rompi itu gatal dan tidak nyaman, sedangkan Charles Leclerc menilai sistem tersebut belum siap digunakan secara wajib karena risikonya bisa berbalik menjadi sumber panas. Max Verstappen, juara dunia pembalap empat kali, malah menyebut rencana pemakaian wajib pada 2026 sebagai ide yang konyol. Ia menilai desain rompi yang sempit dengan pipa di sekitar tubuh membuat ruang gerak terbatas dan kokpit terasa sesak.
Walaupun menuai kritik dari pembalalp, FIA tetap mempertahankan rencana untuk menjadikan cooling vest sebagai perlengkapan standar mulai 2026. Nikolas Tombazis, Direktur Single-Seater FIA, menegaskan teknologi ini bukan sekadar kenyamanan, tetapi bagian dari perlindungan terhadap kemungkinan tragedi akibat suhu ekstrem. Ia justru menyalahkan keterlambatan dari beberapa tim dalam menyempurnakan desain sistem tersebut. Meskipun begitu, FIA masih membuka ruang diskusi dengan Grand Prix Drivers’ Association (GPDA) untuk meninjau ulang aturan berdasarkan laporan medis dan masukan pembalap.
3. GP Singapura 2025 jadi balapan F1 pertama yang berstatus resmi sebagai heat hazard
Tahun 2025 menjadi tonggak penting dengan GP Singapura yang resmi diklasifikasikan sebagai heat hazard pertama dalam sejarah Formula 1. Dengan suhu 31 derajat Celsius dan kelembapan 70 persen, Sirkuit Marina Bay berubah bak sauna selama 2 jam tanpa pendingin. FIA kemudian mewajibkan semua mobil membawa komponen cooling vest, meski penggunaannya masih opsional bagi pembalap.
Singapura telah lama dikenal sebagai ujian ketahanan fisik paling brutal di kalender F1. Lintasan sempit, balapan malam yang panjang, dan permukaan jalan bergelombang membuat suhu kokpit bisa melampaui 60 derajat Celsius. Untuk mempersiapkan diri, para pembalap menjalani latihan ekstrem, mulai dari sauna training, heat chamber sessions, hingga ice bath sebelum balapan. Akan tetapi, Lance Stroll berujar, apa pun latihan yang dilakukan, GP Singapura selalu brutal secara fisik dan mental.
Pendapat di paddock pun kembali terbelah. Max Verstappen menolak mengenakan cooling vest dengan alasan kenyamanan, sementara George Russell dan Alexander Albon memilih menggunakannya demi keselamatan. Oliver Bearman, yang juga mengenakan cooling vest, mengakui sistem ini membantu, tetapi hanya terasa pada lima lap pertama sebelum efek dingin menghilang. Kritik ini memperlihatkan, teknologi pendinginan masih dalam tahap adaptasi, tetapi keberadaannya menjadi langkah penting dalam menjembatani keterbatasan pembalap dengan tuntutan mesin berkecepatan tinggi.
Di tengah panas yang menembus batas wajar, cooling vest memperkenalkan paradigma baru dalam balap modern ketika kemampuan manusia tak lagi cukup untuk menandingi cuaca ekstrem. Dengan frekuensi balapan di Timur Tengah dan Asia Tenggara yang makin banyak, inovasi ini menjadi bentuk kompromi antara fisiologi dan performa.
Cooling vest menjadi jawaban atas keselamatan para pembalap dalam menghadapi suhu ekstrem. Teknologi ini tidak hanya alat bantu untuk menahan panas, tetapi juga adaptasi pembalap terhadap tantangan baru dalam dunia balap modern. Di tengah sirkuit yang kian panas dan padatnya jadwal balapan, rompi pendingin ini menegaskan kecepatan dan ketahanan kini berjalan beriringan.