Grand Prix Afrika Selatan 1982, saat Pembalap Formula 1 Lakukan Demo

Sepanjang Februari 2025 lalu, Indonesia dipenuhi aksi unjuk rasa atau demo. Demo tersebut diikuti banyak orang dari berbagai latar belakang, termasuk mahasiswa dan aktivis. Bertajuk Indonesia Gelap, masyarakat menyoroti ketidakjelasan dan kesuraman dalam beragam kebijakan pemerintah.
Tidak hanya mahasiswa dan aktivis, pembalap Formula 1 juga pernah melakukan demo. Grand Prix Afrika Selatan 1982 menandai puncak dari demo itu yang dipelopori Niki Lauda. Hasilnya, puluhan pembalap sampai berdesakan di satu kamar hotel dan Alain Prost serta Gilles Villeneuve tidur di kasur yang sama.
1. Aksi protes massal bermula dari keputusan tegas Niki Lauda
Berkat gaji yang ditawarkan Ron Dennis dari McLaren, Niki Lauda pulang ke Formula 1 pada 1982 setelah menikmati libur 3 tahun. Selepas menguji mobil balap McLaren yang anyar, Lauda lekas berangkat ke Sirkuit Kyalami untuk Grand Prix Afrika Selatan yang mengawali musim 1982. Selama perjalanan itu, dirinya membaca sebuah formulir yang perlu ditandatangani.
Saat membaca formulir super-license, Niki Lauda menemukan klausul yang langsung menarik perhatian. Klausul itu berbunyi bahwa saat ditandatangani, kontrak akan mengikat pembalap dengan tim tanpa terkecuali hingga akhir periode yang ditentukan, dengan demikian tidak ada peluang bagi pembalap untuk berganti seragam. Bagi Lauda, klausul itu tidak dapat diterima dan dia segera menyampaikan keresahannya kepada Didier Pironi, pemimpin Asosiasi Pembalap Grand Prix dari Ferrari.
Jean-Marie Balestre dari Federasi Olahraga Motor Internasional (FISA) dan Bernie Ecclestone dari Asosiasi Konstruktor Formula Satu (FOCA) tidak berpihak kepada Niki Lauda dan Didier Pironi. Balestre dan Ecclestone biasanya musuh bebuyutan, tetapi bersatu dalam menanggapi Lauda dan Pironi. Balestre maupun Ecclestone meminta pembalap untuk bersabar, meneken kontrak, menutup mulut, memasuki mobil balap, dan berkompetisi.
Niki Lauda dan Didier Pironi tidak mau diatur sembarangan. Oleh karena itu, mereka menginisiasikan demo di Hotel Sunnyside Park yang terletak di Johannesburg, Afrika Selatan, sehari sebelum balapan di Sirkuit Kyalami. Lauda memerintahkan para pembalap untuk mengunci diri di sebuah ruangan, sementara Pironi memimpin negosiasi.
Sepanjang malam, Gilles Villeneuve dan Elio de Angelis memainkan piano sebagai hiburan ringan. Piano itu juga berfungsi sebagai barikade di depan pintu demi mencegah bos tim yang memaksa masuk untuk menemukan pembalap masing-masing. Di sisi lain, Niki Lauda menyiapkan sejumlah kasur agar para pembalap bisa tidur.
Setelah berdemo semalam penuh, pagi hari membawa kabar baik. Didier Pironi mengumumkan kemenangan mereka, sementara penyelenggara dan bos akan mencabut klausul yang membuat Niki Lauda tersinggung. Hingga detik ini, tidak ada klausul yang harus disetujui pembalap dalam formulir super-license.
2. Badan motorsport Afrika Selatan menjatuhkan hukuman kepada 29 pembalap
Badan motorsport Afrika Selatan yang mewakili FISA mengumumkan, Grand Prix Afrika Selatan 1982 berjalan dengan kompromi. Mereka menjatuhkan hukuman kepada 29 pembalap yang hadir di Hotel Sunnyside Park, kecuali Jochen Mass, Teo Fabi, dan Brian Henton. Hukuman itu berupa denda 10 ribu dolar Amerika Serikat, sekitar Rp165,4 juta dalam kurs 2025, dan larangan membalap dalam dua Grand Prix.
Para pembalap jelas tidak terima dengan hukuman dari badan motorsport Afrika Selatan. Balasannya, mereka membentuk Asosiasi Pembalap Profesional yang masih diketuai Didier Pironi, tetapi terbuka untuk semua pembalap profesional. Asosiasi ini didukung Pengadilan Banding Federasi Otomotif Internasional (FIA) yang mengutuk tindakan FISA.
FIA menurunkan nilai denda dan mengurangi jumlah larangan membalap. Namun, hukuman itu tidak terlalu berpengaruh berkat pembatalan sebuah Grand Prix. Oleh karena itu, langkah panjang Niki Lauda, Didier Pironi, dan sesama pembalap Formula 1 berakhir lega.
3. Ada sejarah panjang keributan antara pembalap dan FIA
Keributan antara pembalap dan FIA bukan kisah langka. Dari Niki Lauda hingga Max Verstappen, ada sejarah panjang di balik para pembalap Formula 1 yang melawan FIA. Kisah-kisah ini selalu berfokus kepada para pembalap yang tidak setuju sehingga bersedia memperjuangkan hak dan kewajiban.
Grand Prix Singapura 2024 diwarnai diskusi tentang keputusan FIA untuk menghukum Max Verstappen. Alasannya sekadar Verstappen yang mengumpat dalam konferensi pers. Lantas, keputusan itu disusul nota protes dari sang pembalap.
Kembali pada Grand Prix Afrika Selatan 1982, para pembalap tidak sepenuhnya satu pemahaman dalam melakoni demo. Salah satu pembalap, Teo Fabi, memutuskan kabur dan mengungkapkan semuanya kepada Jean-Marie Balestre dan Bernie Ecclestone. Perilaku itu membuat Keke Rosberg, juara dunia Formula 1 1982, sangat marah.
"Teo Fabi berlari seperti seekor ayam. Ia keluar, tidak kembali lagi, dan kehilangan rasa hormat dari kami untuk selama-lamanya. Bukan karena dia memutuskan pergi, bukan, tetapi karena dia mengkhianati kami semua. Ia langsung menemui (Jean-Marie) Balestre dan (Bernie) Ecclestone serta memberi tahu mereka semua yang telah kami diskusikan," kenang Keke Rosberg, dilansir RacingNews365.
Unjuk rasa atau demo di lingkungan Formula 1 membuktikan bahwa para pembalap adalah manusia pada umumnya. Mereka berhak mengekspresikan diri atas segala sesuatu yang dirasa meresahkan. Seterusnya, sangat mungkin untuk melihat lebih banyak peristiwa serupa.