Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menjadi Indonesia Lewat Olahraga

potret Susy Susanti (badmintonindonesia.org)

Jakarta, IDN Times - "Olahraga memiliki kekuatan mengubah dunia, menginspirasi, menyatukan orang-orang dengan caranya tersendiri karena memiliki bahasa yang berbeda," begitu kata tokoh revolusioner Afrika Selatan, Nelson Mandela, dalam Laureus World Sports Award 2000 silam.

Mandela tak cuma menyebut olahraga sebagai medium yang bisa menyatukan manusia. Lebih dari itu, Mandela bahkan menyatakan olahraga merupakan harapan dan jembatan bagi orang-orang meraih impiannya.

"Bahkan olahraga lebih kuat ketimbang pemerintah dalam hal batas rasial. Mereka menghapus segala macam diskriminasi," ujar Mandela di waktu bersamaan.

Diskriminasi menjadi salah satu kata yang paling disorot dalam pernyataan Mandela. Mengapa demikian?

Selain merupakan lawan dari politik Apartheid yang diusung Mandela, pada dasarnya diskriminasi sempat menjadi salah satu teror dalam olahraga Indonesia. Sudah terbukti dalam beberapa kasus di Indonesia. Yang mengalami, bahkan bukan atlet sembarangan.

Susy Susanti, tunggal putri legendaris Indonesia,  sempat mengalaminya. Itu terjadi ketika Susy mau berangkat ke Barcelona, demi bertarung di Olimpiade 1992.

Diskriminasi yang dialami Susy sering terjadi di era Orde Baru, karena dipengaruhi pula doktrin hingga kebijakan pemerintahan kala itu terhadap etnis Tionghoa.

Namun saat ini pun diskriminasi masih terjadi. Ini terbukti ketika salah satu pesepak bola nasional, Sutanto Tan, pada akhir Desember 2022 menjadi korban ejekan bernada rasial dari oknum suporter. Sebuah pemandangan yang tak sedap. Padahal, etnis Tionghoa adalah bagian dari Indonesia. Mereka adalah orang Indonesia.

Sentimen itu muncul sejak lama

Legenda bulu tangkis Indonesia, Christian Hadinata (IDN Times / Margith Juita Damanik)

Sentimen terhadap etnis Tionghoa sebenarnya dibangun sejak Orde Baru. Ketika Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China, diberlakukan, etnis Tionghoa susah beraktivitas.

Dalam Inpres itu diatur bagaimana kehidupan beragama etnis Tionghoa yang butuh izin saat menjalankan ibadah dan perayaan, pun dilakukan secara internal. Tak cuma itu, mereka juga dilarang menggunakan bahasa Mandarin.

Bahkan, ada kebijakan kalau mereka tidak boleh menggunakan nama asli, harus memakai nama Indonesia. Mereka wajib memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau SBKRI.

Etnis Tionghoa kala itu juga tak boleh masuk militer, keamanan, hingga susah beraktivitas di bidang politik. Dari sini, terlihat ada belenggu serta batas yang dibangun pemerintahan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa, menjadikan mereka sulit berekspresi di segala bidang.

"Ketika ada aturan itu, saya langsung urus surat kewarganegaraan. Kami sekeluarga bikin, saudara juga. Kalau dulu kan warga keturunan punya tiga nama. Ada peraturan harus ganti nama. Makanya saya ganti. Sejak disuruh, saya langsung ganti nama. Marga Tionghoa-nya tak digunakan lagi," ujar legenda bulu tangkis Indonesia, Christian Hadinata, kepada IDN Times, 3 November 2023.

Bak sebuah pengkhianatan atas eksistensi Tionghoa di Indonesia. Sebab, pada dasarnya mereka pula yang membangun fondasi olahraga Indonesia.

Pada awal abad 20, Tionghoa begitu berjasa dalam membangun identitas olahraga Indonesia. Mereka menjadi salah satu pilar dalam membangun ekosistem olahraga di Indonesia.

Sejarah Tionghoa di olahraga Indonesia dimulai dari kentalnya peran mereka dalam sepak bola. Pada 1915, di Surabaya sudah ada klub sepak bola yang tergabung dalam Gymnastiek en Sportvereeniging Tionghoa.

Awalnya, GST bukan klub olahraga yang mengedepankan sepak bola. Namun, mereka fokus pada senam. Tapi, Oei Kwie Liem memasukkan cabang olahraga sepak bola di dalamnya pada 1915.

Tapi, 10 tahun sebelum GST di Surabaya, sudah ada Union Makes Strength (UMS). Klub ini awalnya bernama Tiong Hoa Hwee Koan Scholar's Football Club atau Pa Hoa FC. Tentu, klub ini dipenuhi etnis Tionghoa seperti namanya.

UMS bahkan menjadi pabrik pemain yang biasa menyumbang ke Persija Jakarta dan Timnas Indonesia. Contoh paling beken produk UMS kala itu adalah Tan Liong Houw, yang merupakan legenda Persija serta Timnas Indonesia.

Pun, pada Piala Dunia 1938, skuad Hindia Belanda saat itu dipenuhi oleh pemain Tionghoa. Tan Mo Heng dan Tan See Han, menjadi perwakilan Tionghoa dalam skuad Hindia Belanda di Piala Dunia.

Tim tersebut terbilang unik. Sebab, berbagai etnis mengisi skuadnya, bahkan ada pula orang Belanda. Namun, starting 11 malah didominasi oleh kaum pribumi dan Tionghoa. Pun, kiper utamanya adalah Mo Heng.

Dalam laporan surat kabar Belanda, Volksdagblad, edisi Mei 1938, Mo Heng sebenarnya sempat cedera, membuat skuad Hindia Belanda pusing karena perannya begitu penting. Tapi, pada akhirnya dia bisa pulih dan main di Piala Dunia 1938. Sialnya, gawang Mo Heng diberondong enam gol oleh Hungaria.

Cerita ini menjadi awal dari sumbangsih Mo Heng terhadap sepak bola Indonesia. Pasca pendudukan Jepang dan kemerdekaan Indonesia, tak banyak jebolan Piala Dunia 1938 yang muncul.

Tapi, Mo Heng sebagai keturunan Tionghoa, setia untuk berkontribusi di sepak bola Indonesia. Dia terus mengembangkan sepak bola nasional, atas dasar kecintaannya.

Tongkat estafet itu berlanjut ke generasi Tan Liong Houw. Legenda Persija itu, memang dikenal sebagai salah satu gelandang terbaik yang pernah dimiliki Timnas.

Hanya saja, dalam kariernya sebagai pesepak bola, Macan Betawi (julukannya) juga sempat mendapatkan hinaan rasial dari suporter ketika bermain buruk.

"Ketika mereka main kurang baik, maka diteriaki 'China, China'. Itu sangat menyakitkan. Apa yang dialami Tan Liong Houw, pemain Timnas era 1950-an demikian," kata penulis buku Tionghoa Surabaya dalam Sepak bola 1915-1942, Bayu Rojil, kepada IDN Times, 27 November 2023.

Belenggu yang mengubah pikiran

Infografis Pahlawan Tionghoa dari setiap generasinya (IDN Times / Aditya Pratama)

Sejatinya, sepak bola dan etnis Tionghoa memang dekat di masa lalu. Bahkan Christian Hadinata mengaku olahraga keduanya adalah sepak bola.

Itu karena bulu tangkis menjadi salah satu olahraga mahal di masa kecilnya.  Chris sadar saat itu kondisi ekonomi keluarganya tak mendukungnya buat berkarier di bulu tangkis.

Makanya, ketika masih sekolah, Christian sering bermain sepak bola. Hanya saja, dia tetap mengasah kemampuannya bermain bulu tangkis, meski hanya di sekolah.

"Ya, gak ada biaya beli raket, sepatu. Saya latar belakangnya dari keluarga sederhana. ayah hanya guru SD, ibu cuma buka warung nasi di rumah. Jadi gak mampu, makanya saya terus main bola," ujar Christian.

Membeli bola, menurut Christian, bisa dilakukan secara patungan. Pun, sepatu sepak bola daya tahannya cukup panjang. Beda dengan bulu tangkis yang shuttle cock harus diganti setiap kali main.

"Senar putus, ganti. Raket patah, apalagi. Kalau bola kan gak, lebih awet dipakai. Sepatunya tahan lama, rusak tinggal disol," kata Christian.

Meski awalnya lebih sering bermain sepak bola, Christian nyatanya tetap jadi andalan dalam bulu tangkis di sekolahnya. Dia sering ikut dalam turnamen antar pelajar di masanya.

Bahkan, raket pertama Christian didapat usai memenangkan turnamen tersebut. Dari situlah dia mulai bisa menekuni bulu tangkis.

"Kalau mau tanding dulu pinjam, karena ada teman yang ikut juga. Dia punya tiga atau empat raket. Saya pinjam, waktu menang hadiahnya ya berkaitan dengan bulu tangkis, raket, sepatu. Bukan uang hadiahnya, karena masih pelajar. Senang banget karena akhirnya punya raket sendiri. Kira-kira itu kelas 3 SMP," kata Christian.

Raket pertama itulah yang membawa Christian pada akhirnya berkembang menjadi seorang legenda bulu tangkis Indonesia. Setelah lulus dari SMP, Christian ikut kakaknya tinggal di Bandung.

Dia sekolah di Kota Kembang bersama kakaknya, hingga masuk klub bulu tangkis pertamanya, Mutiara. Dari situ, Christian semakin matang dan mulai meniti karier jadi atlet, dari klub hingga masuk Pelatnas.

Ketika itu, Christian sudah tahu profesi atlet tak menjanjikan. Uang hadiah hingga turnamennya tak sebanyak sekarang. Exposure media juga kurang besar, dan membuat citra diri atlet sulit dijual. Ditambah, status atlet Pelatnas saat itu bisa dengan mudahnya keluar dan masuk. Otomatis, jiwa kompetitif setiap atlet keluar, termasuk Christian. Di sinilah potensi Christian tergali.

"Kami juga harus mencari sponsor demi bisa berangkat turnamen. Dari situ, kami termotivasi buat kembalikan uang sponsor. Main bagus, berharap dipanggil Pelatnas lagi. Karena Pelatnas jarang turnamen juga waktu itu. Makanya, jadi atlet dulu itu idealis," ujar Christian.

Sadar karena profesi atlet tak menjanjikan, maka Christian juga meneruskan studinya. Dia kuliah, sambil membangun kariernya sebagai atlet. Keduanya bisa dijalani Christian dengan sempurna. Dia sadar, masa depan atlet tak akan panjang dan harus punya jaminan untuk bisa bertahan hidup di masa tua.

Kondisi ini, ditambah dengan segala macam regulasi pemerintah Orde Baru yang membelenggu kebebasan berekspresi Tionghoa, ternyata menjadi cerminan dari pemikiran orang tua kala itu. Anak-anak Tionghoa saat itu diarahkan orang tuanya untuk lebih fokus pada pendidikan dan ekonomi.

Dari sini, pola pikir Tionghoa mulai bergeser. Profesi atlet mulai ditinggalkan, banyak yang beralih menekuni profesi sebagai pebisnis.

"Ada kebijakan asimilasi, yang menurut saya, memaksa orang Tionghoa menjadi Indonesia. Orde Baru di bawah kepimpinan Soeharto melakukan banyak tindakan represif terhadap etnis Tionghoa. Salah satunya adalah penggantian nama orang Tionghoa menjadi yang dianggap merepresentasikan Indonesia," ujar Bayu.

"Itulah sebabnya, mereka lebih memilih berdagang atau meneruskan pendidikan yang dianggap lebih menjanjikan ketimbang meniti karier di dunia sepak bola atau olahraga.  Mereka kembali ke dunia perekonomian, sehingga gairah untuk sepak bola atau olahraga semakin hari semakin hilang," lanjutnya.

Bulu tangkis paling dibanggakan

Meski profesi atlet mulai banyak ditinggalkan kaum Tionghoa, nyatanya masih ada segelintir dari mereka masih setia mengejar impiannya. Bulu tangkis dan olahraga dalam ruangan lainnya seperti basket menjadi solusi bagi mereka.

Menurut Bayu, hal ini berkaitan dengan psikologis yang dirasakan. Ketika suporter sepak bola susah dikendalikan atau diatur, maka beda dengan bulu tangkis dan basket.

Suporter bulu tangkis dan basket lebih santun serta mudah dikendalikan. Hal ini membuat psikologis mereka menjadi lebih nyaman.

Terlebih, di dua cabang olahraga itu, orang-orang Tionghoa mendapat kesempatan berekspresi dan menggali potensinya lebih dalam ketimbang di sepak bola.

"Kedua cabang olahraga itu dimainkan dalam ruangan dan sangat berbeda dengan sepak bola. Sebenarnya, terkait prestasi bulu tangkis, bukan karena DNA mereka. Sebab, di 1950 hingga awal 1960-an, masih banyak pilar Timnas Indonesia dari etnis Tionghoa. Yang membedakan, hanya kesempatan mengembangkan dan mengelola. Itu kunci bulu tangkis dan sepak bola berbeda prestasinya," ujar Bayu.

Memang benar, pada akhirnya di bulu tangkis terus bermunculan atlet Tionghoa yang begitu tersohor. Susy menjadi salah satunya. Susy bukan lagi legenda, tapi pahlawan. Mengapa? Sebab, pengaruh Susy begitu besar.

Dia merupakan inspirator bagi orang-orang Indonesia, secara umum. Susy merupakan atlet pertama yang mampu mempersembahkan emas buat Indonesia di Olimpiade.

Pun, kisahnya begitu heroik. Dia bertarung dengan Bang Soo Hyun di final dalam situasi yang genting. Kalah di game pertama, 5-11, Susy bangkit, menyamakan kedudukan setelah menang 11-5. Pada game ketiga, Susy akhirnya menang dengan skor 11-3, membawa pulang medali emas ke Indonesia.

Ketika pulang, Susy disambut dengan hangat di Indonesia. "HIDUP INDONESIA!" begitu teriakan orang-orang yang menyambut kepulangan Susy. Parade juga digelar demi menyambutnya, membuat orang-orang di Indonesia pada era 1990-an tak peduli, latar belakangnya yang merupakan etnis Tionghoa.

Sebenarnya, agak miris kalau melihat bagaimana perjalanan Susy menuju Olimpiade 1992. Ada cerita tidak enak yang menyelimutinya, itu terkait diskriminasi. Isu rasialis memang sering dihadapinya. Sempat ada kesulitan yang dialami Susy bersama suaminya, Alan Budikusuma, saat mengurus paspor dan visa, demi berangkat ke Barcelona.

Kondisi yang tak bikin Susy patah arang. Dia menanggapinya dengan bijak. Sebab, niat Susy begitu mulia, membela Indonesia.

"Sebenarnya, kalau dilihat silsilah, kakek buyut saya sudah lahir di Indonesia. Hanya karena kami keturunan Tionghoa, darah saya tak mungkin bohong. Ada campuran darah Tionghoa, tradisi, tetap ada. Positif saja, pada saat besar, saya adalah orang Indonesia," ujar Susy, 31 Oktober 2023.

Mereka orang Indonesia

Susy Susanti ditemui di GOR Djarum Jati, Kudus (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Kembali lagi, pada dasarnya, niatan Susy, pendahulunya, dan atlet Tionghoa di Indonesia saat ini hanya satu, yakni mengibarkan Merah Putih di kancah internasional. Mereka tak muluk, hanya ingin membela Indonesia. Tak ada motif lain, karena pada dasarnya, cinta kepada negara menjadi sebuah harga mati.

"Filosofi dari leluhur saya dari Tiongkok cukup baik, 'kamu harus berdiri di atas kaki sendiri dan harus kerja keras untuk mencapai kesuksesan' itu yang selalu diingat. Di samping itu, orang tua juga menanamkan 'di mana bumi dipijak di situlah kamu harus mengabdi dan mencintai negara itu'," ujar Susy.

Ideologi ini sebenarnya sudah lama pula tertanam di benak etnis Tionghoa. Christian menyatakan ucapan "terima kasih" dari rakyat Indonesia terhadapnya, sudah begitu berharga.

Christian tak mengharapkan hal lain. Sebab, pemikirannya sederhana, hanya ingin besar dari bulu tangkis dan bisa membawa nama Indonesia harum.

"Atlet dulu lebih idealis. Tak berpikiran hal lain. Kami cuma butuh juara. Meski hanya ucapan terima kasih, sudah menjadi kehormatan, kebanggaan. Kami cuma mau Merah Putih di tengah, lagu Indonesia Raya berkumandang, sudah lebih dari segalanya," kata Christian.

Buat Christian, olahraga dan prestasi sebenarnya bisa menyatukan orang-orang, tak peduli etnisnya. Ketika berhasil juara Thomas Cup di 1973, 1976, 1979, dan 1984, Christian merasakan atmosfer yang hangat.

Rakyat Indonesia menyambut mereka dengan sangat meriah. Tak ada sentimen yang menyorotnya. Tentu, kesaksian Christian sejalan dengan apa yang diucapkan Mandela, olahraga merupakan medium pemecah batas rasial dan perbedaan lainnya.

"Semua bersatu demi prestasi negara. Saya ingat, ketika bertanding di Thomas Cup. Ada tenaga kerja dari Indonesia. Mereka malah menyambut kami di luar dengan lagu Indonesia Raya. Itu momen mengharukan. Mereka mengapresiasi kami. Padahal, saat itu ada sebuah peristiwa besar, tapi kami cuma fokus mau membuktikan pada dunia untuk bisa berprestasi. Orang-orang saat itu kagum, karena kami bisa di saat kerusuhan terjadi," kata pria 73 tahun tersebut.

Media luar sekelas New York Times bahkan sempat menyorot bagaimana kekuatan bulu tangkis Indonesia memecah batas etnis. New York Times bahkan sempat menyebut "Bicara Bulu Tangkis, Artinya Itu Indonesia" pada edisi 7 Agustus 2020.

Dalam ulasannya pula, New York Times mengakui kekuatan Susy usai meraih medali emas Olimpiade 1992 begitu besar. Mereka menuliskan, itu adalah emas yang menyatukan bangsa.

Atlet Tionghoa mulai lebih berani berekspresi setelah belenggu yang sempat dibuat pemerintahan Orde Baru dihapus dengan adanya Keputusan Presiden 6 Tahun 2000. Ditandatangani  Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, masyarakat Tionghoa jadi lebih ekspresif dan berani menggali potensinya.

Setelahnya, kondisi jadi lebih adem. Publik semakin mengakui keberadaan etnis Tionghoa, terutama di bidang olahraga. Di masa sekarang pula, Jonatan Christie, Kevin Sanjaya, Marcus Fernaldi Gideon, hingga Hendra Setiawan, begitu dihormati fansnya, tak peduli soal etnis. Bahkan, hampir tak ada sentimen yang menghampiri mereka.

Lalu, di sepak bola, ada Nova Arianto. Saat masih menjadi pemain, Nova nyaris tak pernah mendapatkan perlakuan tak enak dari publik. Kini, Nova menjadi salah satu tangan kanan pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae Yong.

Sekarang, malah banyak keturunan Indonesia merapat

Sandy Walsh resmi menjadi Warga Negara Indonesia (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Ketika Tionghoa mulai mendapat pengakuan, Indonesia malah menghadapi fenomena yang lain. Orang-orang keturunan Indonesia di luar negeri, mulai merapat dan ingin mencari sebuah tantangan demi Merah Putih.

Proyek naturalisasi yang heboh di 2010 jelang Piala AFF, menjadi sebuah momen buat para atlet berdarah campuran, untuk bisa mendapatkan status Warga Negara Indonesia. Tujuan mereka beragam, mulai dari ingin membela tanah leluhurnya, sampai mendapatkan kesempatan bermain untuk Tim Nasional.

Naturalisasi paling gencar dilakukan oleh dua cabang olahraga, sepak bola dan basket. Namun, naturalisasi di sepak bola semakin seksi belakangan ini. Jumlah pemain naturalisasi di Timnas Indonesia lumayan banyak besar, apalagi pada 2023. Shayne Pattynama, Jordi Amat, Sandy Walsh, Ivar Jenner, hingga Rafael Struick, adalah sederet pesepak bola yang akhirnya dinaturalisasi PSSI.

Masih ada lagi pemain naturalisasi yang akan datang ke Timnas seperti Ragnar Oratmangoen, Nathan Tjoe-A-On, Justin Hubner, hingga Jay Idzes. Kedatangan mereka tentu menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana nasib dari talenta lokal yang menghuni skuad Indonesia sekarang?

"Sebenarnya ada positif dan negatifnya. Jika mau menaikkan level sepak bola Indonesia, dalam waktu singkat, perlu kehadiran mereka. Sebab, pola pikir, pandangan, serta pelatihan mereka soal sepak bola berbeda. Kualitasnya juga beda. Untuk waktu singkat, tentu Timnas butuh mereka," ujar mantan pelatih Timnas Indonesia, Jacksen F Tiago, saat ditemui IDN Times di Gresik, 9 November 2023.

Tapi, beban berat justru mereka emban pula. Sentimen terhadap para pemain naturalisasi bisa lebih besar. Itu terbukti, karena setiap mereka main jelek bersama Timnas Indonesia, para keyboard warriors alias netizen, tak ragu buat menyerang mereka.

Bahkan, banyak yang mempertanyakan tugas dan fungsi mereka di dalam skuad Timnas. Tak jarang pula, yang menghina mereka dan dibilang kualitasnya beda dengan talenta lokal. Jargon "local pride" juga kerap terdengar ketika mereka tampil buruk dan gagal mengangkat performa Timnas.

Situasi sempat jadi tak enak ketika PSSI hendak menerapkan batas pemakaian pemain dengan label "naturalisasi" di aturan kompetisi Liga 1. Sejumlah pemain naturalisasi mengaku merasa aturan itu menjadi bentuk dari diskriminasi.

Marc Klok dan Victor Igbonefo sempat bersuara tentang hal ini. Mereka kesal karena merasa dibedakan. Sebab, tujuan mereka cuma satu saat mengganti kewarganegaraannya.

"Kami WNI. Dan semua WNI seharusnya memiliki hak yang sama. Namun, kami merasa peraturan tersebut mendiskriminasi kami. Kami memilih Indonesia karena mencintai negara ini dan berkomitmen untuk menjadi bagian dari komunitas sepak bola di sini. Kami ingin liga yang ramah bagi semua pemain, terlepas dari asal dan latar belakang mereka," ujar Klok, 6 Maret 2023 lalu lewat Instastory yang diunggahnya.

Setelah menjadi polemik, aturan mengenai pemain naturalisasi akhirnya dibatalkan. PSSI tak jadi menerapkannya, dan Ketua Umum Erick Thohir menolak jika dianggap diskriminatif karena punya tujuan untuk meningkatkan kualitas sepak bola nasional.

Seperti yang diungkapkan Jacksen, naturalisasi memang memiliki efek baik dan buruk. Tapi, terpenting baginya, kehadiran mereka setidaknya bisa jadi katalis dalam mendongrak prestasi sepak bola nasional.

Hanya saja, menurut mantan pelatih Timnas U-16, Fakhri Husaini, masih ada yang lebih penting ketimbang naturalisasi. Pembinaan usia dini dan menciptakan kompetisi berjenjang, menurut Fakhri, bisa melahirkan pemain-pemain muda yang berkualitas.

"Seperti investasi, pembinaan usia dini begitu. Kompetisi harus digalakkan di level usia dini. Mereka bisa berkembang di sana. Jika tidak ada, mau bagaimana talenta lokal kita? Jadi, saya rasa PSSI sudah seharusnya memperhatikan dan berinvestasi di pembinaan usia dini," kata Fakhri, 9 November 2023.

Efek naturalisasi sebenarnya lebih terasa di cabang olahraga basket. Sebab, cara pandang pemain naturalisasi di basket lebih terasa. Ini terbukti dengan keberhasilan Indonesia menyabet emas basket pertama di SEA Games Vietnam 2021 lalu. Lawannya di final pada 22 Mei 2022 itu merupakan raksasa Asia Tenggara, Filipina.

Saat itu, Timnas basket dipenuhi pemain naturalisasi seperti Marques Bolden, Brandon Jawato, hingga Derrick Michael. Hasilnya, mereka mampu menang dengan skor 85-81.

Peran naturalisasi yang terasa di basket. Pun, usai meraih kejayaan itu, mereka tak menonjolkan diri. Apa yang dilakukan, menurut mereka  untuk Indonesia. Satu hal yang mereka inginkan: membawa harum nama Indonesia ke pentas dunia.

Jadi, tak sepantasnya ada diskriminasi dalam olahraga. Sebab, semua bisa menjadi Indonesia lewat olahraga.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Permana
EditorSatria Permana
Follow Us