Asal-usul Julukan 007 yang Jadi Ejekan bagi Pesepak Bola

- Ejekan "007" bermula dari performa awal Jadon Sancho di Manchester United
- Florian Wirtz jadi target ejekan 007, nasib yang dulu dialami Thierry Henry di Arsenal
- Julukan 007 dalam sepak bola justru melanggengkan bullying bagi pemain
Dalam sepak bola modern, ejekan dapat menyebar begitu cepat melalui media sosial. Salah satu bentuk yang tengah populer dalam beberapa tahun terakhir adalah julukan 007. Ejekan ini disematkan kepada pemain baru yang gagal mencetak gol maupun assist dalam tujuh pertandingan pertama mereka. Istilah ini sederhana, mudah diingat, dan sarat sindiran, sehingga cepat menjadi bagian dari budaya troll daring di kalangan penggemar.
Fenomena 007 bukan sekadar canda ringan, melainkan simbol tekanan besar yang dihadapi pesepak bola dengan label bintang mahal. Banyak pemain yang datang dengan ekspektasi tinggi harus menghadapi tuntutan instan. Ketika performa awal mereka tidak sesuai harapan, sorotan negatif segera muncul. Dari situlah lahir agent 007 yang kini menjadi bagian dari narasi tahunan tiap awal musim.
1. Ejekan 007 bermula dari performa awal Jadon Sancho di Manchester United
Dilansir The Athletic, istilah 007 pertama kali muncul pada 2021, kala Jadon Sancho gagal mencatatkan gol maupun assist dalam tujuh pertandingan awalnya bersama Manchester United setelah transfer besar dari Borussia Dortmund senilai 73 juta pound sterling (Rp1,630 triliun). Media pun dengan cepat menangkap tren ini. Sky Sports Jerman memopulerkannya dengan menayangkan grafis Sancho dalam kostum James Bond disertai tulisan “0 goals, 0 assists, 7 games”. Tayangan itu menyebar luas di media sosial, yang menjadikan Sancho sebagai ikon pertama dari ejekan tersebut.
Sancho akhirnya baru mencetak gol pada laga ke-15 bersama MU di Liga Champions Eropa 2021/2022 melawan Villarreal, tetapi label 007 sudah telanjur melekat. Meme tersebut berkembang pesat karena menyatukan dua hal yang familier bagi publik antara angka khas James Bond dan statistik mengecewakan pemain bintang. Sejak itu, istilah ini tidak hanya ditujukan kepada Sancho, tetapi juga digunakan secara rutin untuk mengejek pemain baru yang gagal memberi kontribusi dalam periode awal mereka di English Premier League (EPL).
2. Florian Wirtz jadi target ejekan 007, nasib yang dulu dialami Thierry Henry di Arsenal
Tiap awal musim, para penggemar sepak bola di media sosial X selalu menantikan siapa pemain mahal berikutnya yang akan menyandang status 007. Florian Wirtz, yang bergabung dengan Liverpool pada musim panas 2025 dengan biaya 116 juta pound sterling atau setara Rp2,59 triliun, menjadi target utama setelah gagal mencetak gol dalam delapan pertandingan awal di Premier League maupun Liga Champions. Situasi serupa menimpa Matheus Cunha di Manchester United, yang melewati tujuh laga tanpa kontribusi berarti meski didatangkan dengan ekspektasi tinggi.
Meme ini berkembang pesat karena kesederhanaannya. Mengaitkan angka 007 dengan statistik kosong menjadikannya mudah dipahami, cepat viral, dan cocok dengan budaya bullying di media sosial. Akan tetapi, label ini sering dipandang tidak adil. Banyak pemain besar, bahkan legenda seperti Thierry Henry, pernah mengalami start buruk di Arsenal.
Henry tidak mencatat gol atau assist dalam tujuh pertandingan awalnya bersama Arsenal pada 1999. Namun, ia kemudian menjelma sebagai penyerang legendaris dengan torehan 175 gol di Premier League. Hal ini menegaskan, label 007 lebih mencerminkan budaya ejekan daring daripada ukuran kualitas sebenarnya seorang pemain.
3. Julukan 007 dalam sepak bola justru melanggengkan bullying bagi pemain
Ejekan 007 tidak hanya menjadi bahan tertawaan, tetapi juga dapat memberi beban mental yang nyata bagi pemain baru. Kompetisi seperti Premier League menuntut adaptasi cepat, baik secara fisik maupun taktik, dan label ini hanya memperbesar tekanan. Florian Wirtz misalnya, disebut masih kesulitan beradaptasi dengan intensitas Premier League yang lebih tinggi dibanding Bundesliga Jerman, meski datang dengan reputasi mentereng dari Bayer Leverkusen.
Banyak pengamat menilai istilah ini terlalu dangkal, karena hanya menilai performa dari tujuh laga tanpa mempertimbangkan konteks lebih luas. Adaptasi budaya, perbedaan sistem permainan, hingga masalah cedera sering kali luput dari perhitungan dalam narasi 007. Kendati sebagian pemain berhasil mematahkan stigma ini dengan cepat, bagi yang gagal bangkit, cap 007 bisa membekas lama dan memengaruhi reputasi mereka di mata publik. Pada akhirnya, fenomena ini menunjukkan wajah media sosial sepak bola modern yang cepat menghakimi dan lebih menekankan ejekan instan ketimbang analisis yang mendalam.
Fenomena 007 menjadi gambaran bagaimana media sosial memengaruhi persepsi publik terhadap performa pemain. Apa yang bermula dari grafis sederhana kini berubah menjadi tradisi tahunan yang menekan pemain baru, sekaligus mencerminkan kerasnya ekspektasi sepak bola modern.