Legasi Kolonialisme dalam Turnamen Coupe de France

- Legasi kolonial menyebabkan wilayah-wilayah tetap memilih jadi Overseas France
- Fenomena Overseas France sebenarnya sebuah anomali
- Mentalitas kolonial yang terpupuk subur
Ada satu hal mencolok dari penyelenggaraan turnamen sepak bola se-Prancis atau yang dikenal dengan nama Coupe de France. Tidak hanya klub-klub Prancis daratan saja yang berpartisipasi, ada beberapa klub yang berbasis di Karibia, Samudera Atlantik, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia yang ikut serta, seperti Tahiti, Guyana Prancis, Kaledonia Baru, Mayotte, Guadeloupe, dan lain sebagainya.
Mereka dikenal dengan istilah Overseas France atau Wilayah Terluar Prancis, yakni area eks-koloni Prancis yang sampai sekarang masih punya hubungan erat dengan negara itu secara administratif dan yurisdiksi. Ini jadi anomali yang miris, mengingat ia membuktikan bahwa penjajahan belum benar-benar musnah dari muka Bumi. Lantas, apa yang membuat mereka memilih untuk tetap jadi bagian dari Prancis? Bagaimana pula itu membentuk dinamika penyelenggaraan Coupe de France?
1. Legasi kolonial menyebabkan wilayah-wilayah itu memilih jadi Overseas France
Fenomena Overseas France sebenarnya sebuah anomali. Kita hidup pada era modern dan tak lagi menormalisasi penjajahan. Namun, keputusan wilayah-wilayah itu memilih menyandang status bagian dari Republik Prancis pada era modern seyogyanya adalah legasi kolonialisme yang destruktif. Dilansir The Conversation, wilayah-wilayah tersebut sampai sekarang punya ketergantungan besar terhadap Prancis, terutama di sektor ekonomi, pendidikan, dan suplai pangan.
Dua kebijakan kolonial Prancis yang problematik adalah pertanian monokultur dan perbudakan. Merujuk tulisan Resiere, dkk untuk jurnal The Lancet berjudul ‘Chlordecone (Kepone) poisoning in the French Territories in the Americas’, dua wilayah bekas jajahan Prancis di Benua Amerika, Martinique dan Guadeloupe telah tercemar zat pestisida berbahaya bernama Chlordecone (Kepone) yang pada masa lalu umum dipakai di perkebunan pisang. Bersifat karsinogenik, WHO sudah resmi melarang penggunaannya pada 1979. Ironisnya, pemerintah kolonial Prancis masih membiarkan penggunaan Kepone di dua teritori itu sampai tahun 90-an.
Monokultur juga merusak tanah dan membuat Wilayah Terluar Prancis kesulitan mengembangkan pertanian mereka, sehingga kini tergantung bahan pangan impor dari Prancis. Kebijakan pertanian ala kolonial secara umum mengadopsi sistem perbudakan. Sistem ini secara otomatis menempatkan penduduk lokal di strata terbawah dan pendatang kulit putih beserta keturunannya di puncak piramida. Ketimpangan ini bertahan sampai sekarang terbukti dengan kepemilikan lahan dan unit bisnis di sana yang didominasi keturunan kulit putih Prancis (dikenal dengan istilah beke).
Sebagian darimu mungkin beranggapan mereka adalah beban untuk pembayar pajak di Prancis. Tapi, jika ditelaah lebih jeli, justru Prancis yang terus diuntungkan oleh situasi ini. Dengan dependensi besar di sektor pangan, Prancis dan kawan-kawannya di Uni Eropa punya pasar untuk menjual hasil produksi mereka. Pun penduduk Wilayah Terluar Prancis harus membayar lebih mahal untuk biaya makan dan kesehatan dengan penghasilan yang lebih rendah dibanding penduduk Prancis di daratan utama.
2. Mentalitas kolonial yang terpupuk subur
Masalahnya, penjajahan yang berlangsung beberapa dekade sudah mengubah mental penduduk lokal. Negara-negara bekas jajahan biasanya mengalami yang dinamakan colonial mentality (mentalitas kolonial). Dalam beberapa kasus, mentalitas ini bagus karena mempromosikan resiliensi dan tanggung jawab atas diri sendiri ketimbang menyalahkan pihak lain.
Namun, dalam konteks kolonialisme, mentalitas ini kerap muncul dalam bentuk sikap permisif terhadap penjajah dan kebijakan opresifnya. Dalam banyak kasus, penduduk bekas negara jajahan menganggap bahwa penjajahan itu punya banyak benefit dan perubahan positif, misal pembangunan infrastruktur, perbaikan kesehatan, dan lain sebagainya. Masalahnya, mentalitas ini biasanya beriringan dengan perasaan inferior terhadap kultur dan kemampuan sendiri.
Ini terlihat pula di Wilayah Terluar Prancis. Pada 2018, penduduk Kaledonia Baru sepakat menolak merdeka dari Prancis lewat referendum. Pemungutan suara berikutnya pada 2020 dan 2021 berakhir sama. Pada 2010, referendum yang merekomendasikan otonomi lebih dari Prancis juga ditolak pula oleh mayoritas penduduk Martinique dan Guyana Prancis.
3. Menempuh perjalanan panjang hanya untuk jadi tim penggembira
Lantas, apa dampaknya buat penyelenggaraan Coupe de France? Beberapa media menyorot jarak tempuh yang harus dilalui klub-klub Overseas France guna melakoni pertandingan dengan tim Prancis daratan. Biaya transportasi memang ditanggung Federasi Sepak Bola Prancis (FFF), tetapi pemain dan staf bisa menghabiskan waktu lebih dari 20 jam di pesawat untuk pada akhirnya jadi tim penggembira belaka.
Ini pernah terjadi pada klub asal Martinique, Golden Lion yang setelah jauh-jauh terbang ke Lille dikalahkan tim tuan rumah dengan skor 12-0. Tidak mengejutkan memang, mengingat mereka pasti mengalami mabuk pascaterbang (jet lag). Belum lagi ketimpangan kualitas tim dan pemain Prancis daratan dengan tim asal Wilayah Terluar Prancis yang cukup jelas. Masing-masing wilayah otonom tersebut hanya punya rata-rata puluhan ribu penduduk dengan infrastruktur yang juga beda kelas.
Salah satu hal yang mungkin disyukuri pemain asal Wilayah Terluar Prancis adalah kesempatan yang untuk berkontribusi di Timnas Prancis layaknya Florent Malouda (Guyana Prancis) dan Lilian Thuram (Guadeloupe). Namun, ingat mereka harus bersaing ketat sebab Prancis seperti negara kolonial dan kapitalis pada umumnya akan melakukan praktik cherry-picking. Mereka akan mengambil pemain terbaik dari bekas wilayah jajahan dan melupakan sisanya yang dianggap tak bisa berkontribusi.

















