Menguak Hubungan Rumit Tuchel dan Bellingham, Gorengan Media Inggris?

- Thomas Tuchel menyebut sikap repulsif Jude Bellingham di lapangan, namun kemudian meminta maaf dan mengakui kesalahannya.
- Tuchel tidak memanggil Bellingham ke skuad Inggris dalam 2 periode jeda internasional berturut-turut, menunjukkan bahwa status bintang tak jadi jaminan di Timnas Inggris.
- Sebelum kualifikasi Piala Dunia 2026 berakhir, Tuchel mencoba lebih komunikatif dengan para pemain yang sempat tersingkir, termasuk Jude Bellingham.
Thomas Tuchel dan Jude Bellingham menjadi dua sosok sentral dalam perjalanan terbaru Timnas Inggris menuju Piala Dunia 2026. Kini, hubungan keduanya menarik perhatian publik setelah sejumlah keputusan dan pernyataan Tuchel menimbulkan perdebatan luas di Inggris. Dari komentar yang dianggap kontroversial hingga keputusan untuk menepikan pemain terbaik negara itu, dinamika di antara mereka mengisyaratkan ujian keseimbangan antara otoritas pelatih dan ekspresi pemain bintang.
Kisah ini dimulai dari kesalahpahaman pernyataan Tuchel yang berkembang menjadi sorotan, yang merefleksikan tentang kepemimpinannya di skuad The Three Lions. Tuchel, yang dikenal perfeksionis, berusaha membangun tim berdasarkan disiplin dan solidaritas, sementara Bellingham membawa karakter penuh gairah kompetitif. Di tengah tekanan publik dan media Inggris, hubungan antara sang pelatih dan pemain mencerminkan bagaimana konflik di ruang ganti yang terus mendera Timnas Inggris dari tahun ke tahun.
1. Jude Bellingham dianggap memiliki sikap repulsif di lapangan
Hubungan antara Thomas Tuchel dan Jude Bellingham pertama kali memanas setelah pernyataan sang pelatih dalam wawancara pada Juni 2025. Pelatih berusia 52 tahun ini memberikan pernyataan mengenai pendapat dari ibunya yang menganggap Bellinggham bersikap repulsif di lapangan, terutama ketika sang pemain mengekspresikan emosi berlebihan terhadap rekan atau wasit. Pernyataan itu memicu kontroversi dan dianggap sebagai kritik terbuka terhadap pemain yang menjadi simbol generasi baru Inggris itu.
Namun, Tuchel buru-buru mengklarifikasi pernyataannya. Ia menjelaskan, kata “repulsif” digunakan secara tidak tepat karena keterbatasan bahasa dan konteks saat wawancara berlangsung. Ia menegaskan, Bellingham memang pemain pemain yang berapi-api, tetapi bukan sosok yang sulit diatur. Tuchel mengakui kesalahannya, menyampaikan permintaan maaf langsung kepada Bellingham, dan menyatakan tanggung jawab sepenuhnya berada di pundaknya.
Di balik kejadian itu, Tuchel menunjukkan sisi reflektif yang jarang terlihat dari pelatih asal Jerman tersebut. Ia memahami semangat Bellingham merupakan aset, bukan ancaman, asalkan dikendalikan dengan bijak. Insiden ini menjadi awal dari hubungan kompleks antara keduanya, sebuah kombinasi antara rasa hormat profesional dan ketegangan emosional yang terus membayangi skuad Inggris hingga akhir 2025.
2. Thomas Tuchel coret Jude Bellingham, bukti status bintang tak jadi jaminan di Timnas Inggris
Kontroversi selanjutnya muncul ketika Thomas Tuchel tidak memanggil Jude Bellingham ke skuad Inggris dalam 2 periode jeda internasional berturut-turut, termasuk saat sang pemain telah pulih dari cedera bahu dan kembali tampil untuk Real Madrid. Tuchel beralasan ingin menjaga keberlanjutan tim muda yang tampil gemilang dalam kemenangan besar atas Serbia dan Andorra pada September 2025. Ia menegaskan, tidak ada jaminan bagi nama besar untuk otomatis kembali ke skuad, bahkan bagi Bellingjam yang baru saja dinobatkan sebagai England Men’s Player of the Year 2024/2025.
Tuchel menolak anggapan, keputusan tersebut adalah bentuk hukuman bagi Bellingham. Dalam konferensi pers di Stadion Wembley, ia beralasan absennya sang gelandang semata karena pertimbangan performa dan kondisi fisik setelah menjalani operasi bahu. “Kami tetap menghargai pemain besar seperti Jude (Bellingham). Namun, kami juga harus mempertahankan keseimbangan tim yang sedang berkembang,” ungkapnya dikutip The Athletic. Pernyataannya memperlihatkan ambisi membangun tim tanpa ketergantungan kepada satu sosok, walaupun keputusan itu menimbulkan tanda tanya di kalangan pengamat.
Media Inggris menilai langkah Tuchel ini sebagai pertaruhan besar dan bentuk kontrol di skuad Inggris. Kolumnis The Times, Martin Samuel, menilai sikap Tuchel terlalu ekstrem, terutama karena Bellingham merupakan figur yang mampu mengubah jalannya pertandingan. Ia menilai, pelatih itu sedang menunjukkan siapa yang berkuasa di ruang ganti, bahkan jika itu berarti mengorbankan hubungan dengan pemain yang paling berpengaruh. Namun, bagi Tuchel sendiri, keputusan tersebut bagian dari upaya menegakkan prinsip yang wajib dipatuhi dalam tim yang sedang ia bentuk.
3. Thomas Tuchel mencoba lebih komunikatif menjelang kualifikasi Piala Dunia 2026 berakhir
Menjelang akhir kualifikasi Piala Dunia 2026, Thomas Tuchel mulai menunjukkan keinginan untuk memperbaiki hubungan dengan para pemain yang sempat tersingkir, termasuk Jude Bellingham. Ia mengonfirmasi, dirinya akan menghubungi dan berdialog langsung dengan sang gelandang, termasuk dengan Phil Foden dan Jack Grealish, sebelum penentuan skuad final. Dalam pernyataannya, Tuchel menegaskan tidak ada yang dihukum, dan semua pemain masih memiliki kesempatan yang sama untuk kembali, asalkan menunjukkan dedikasi terhadap nilai kebersamaan dan kedisiplinan.
“Jika kami memanggil mereka, kami yakin mereka akan berkomitmen penuh. Jika tidak, kami tidak akan memanggil mereka. Itu hal yang tidak bisa dinegosiasikan,” ujarnya dilansir The Telegraph.
Sikap ini menunjukkan pergeseran dari pendekatan keras menuju strategi yang lebih komunikatif. Tuchel menyadari pentingnya menjaga hubungan dengan pemain kunci di tengah tekanan menghadapi turnamen besar. Ia pun menegaskan, pernyataan itu menjadi bentuk konsistensi dalam prinsip kepemimpinanya sekaligus sinyal terbuka bagi Bellingham untuk kembali ke pangkuan tim.
Namun, media Inggris melihat upaya ini sebagai momen penting bagi kedua pihak. Di satu sisi, Bellingham membutuhkan kepercayaan agar bisa kembali tampil bebas di level internasional. Di sisi lain, Tuchel harus menunjukkan fleksibilitas dalam memimpin generasi berbakat yang memiliki kepribadian kuat. Jika komunikasi itu berjalan baik, hubungan keduanya bisa menjadi contoh keseimbangan antara kendali pelatih dan kebebasan pemain. Namun jika upaya itu gagal, hal tersebut akan makin menyoroti pola kegagalan The Three Lions di berbagai turnamen yang terus berulang akibat konflik internal, meski mereka memiliki skuad bertabur bintang.
Hubungan Thomas Tuchel dan Jude Bellingham menggambarkan bagaimana benturan karakter dapat menjadi ujian terbesar bagi tim yang ambisius. Di tengah kritik dan ekspektasi, keduanya kini menghadapi dilema antara ego dan harmoni, dua hal yang akan menentukan seberapa jauh Inggris melangkah di panggung dunia.