Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

TSG Hoffenheim Jadi Bukti Tech Bro Menjamah Bisnis Olahraga

Rhein-Neckar-Arena atau PreZero Arena, markas TSG 1899 Hoffenheim (commons.wikimedia.org/Simon Hofmann)
Rhein-Neckar-Arena atau PreZero Arena, markas TSG 1899 Hoffenheim (commons.wikimedia.org/Simon Hofmann)

Bila diperhatikan, kini makin banyak klub sepak bola yang diakuisisi pengusaha di bidang teknologi. Dikenal pula dengan julukan tech bro, gurita bisnis mereka terus meluas ke ranah olahraga, terutama setelah COVID-19. Sebut saja akuisisi Girondins Bordeaux oleh Gerard Lopez. Preston Johnson dkk yang mengambil hak milik Crawley Town FC lewat badan usahanya yang bernama WAGMI United. John Textor yang membeli sebagian besar saham beberapa klub sepak bola sekaligus: OL Groupe, Crystal Palace, Botafogo, dan RWD Molenbeek.

Menariknya, pola ini ditemukan pula di Jerman yang dikenal cukup ketat dan selektif perkara sponsor dan sistem kepemilikan klub olahraga. Bahkan, itu terjadi jauh sebelum pandemik. Dilansir Goal, Hopp sudah terlibat di TSG 1899 Hoffenheim sejak 1990-an sebagai pemegang saham. Pada 2013, perusahaan perangkat lunak SAP yang didirikannya jadi sponsor utama klub. Puncaknya, pada 2015, Hopp mengakuisisi lebih dari 90 persen saham.

Mengapa dan bagaimana tech bro tertarik untuk menancapkan pengaruhnya di bidang olahraga? Mari bahas fenomena ini lewat balada TSG 1899 Hoffenheim dan Dietmar Hopp.

1. Tech bro punya sumber daya untuk melakukan akuisisi

Secara alamiah, keterlibatan tech bro dalam industri olahraga berkaitan dengan ketersediaan sumber daya alias dana. Disebut sebagai the new oil (sumber daya baru yang lukratif layaknya minyak dan gas pada masa lalu), mereka sepertinya tak kesulitan untuk menggelontorkan dana demi bisnis bermodal besar seperti olahraga. Bayangkan, ada ratusan staf dan pemain yang harus digaji, lisensi yang harus diurus, stadion yang harus dirawat, dan lain sebagainya.

Menurut laporan The Wall Street Journal, dalam beberapa tahun terakhir, industri teknologi adalah salah satu sektor yang gaji pekerjanya konsisten mengalami kenaikan. Salah satu alasannya karena kelangkaan pekerja dengan keterampilan yang dimau. Dalam ekonomi, dikenal pula yang namanya tech boom, merujuk pada peningkatan aktivitas ekonomi yang diinisiasi perusahaan-perusahaan teknologi. Fenomena ini mengalami puncaknya pada 2010-an dan memang sempat redup beberapa tahun belakangan. 

Namun, tidak dengan SAP yang jadi perpanjangan tangan Hopp di TSG Hoffeinheim. Bukan perusahaan startup, mereka sudah berdiri sejak 1972 dan masih langgeng sampai sekarang. Ini menunjukkan ketahanan model bisnis yang tak main-main. Salah satu produk SAP yang paling lukratif adalah perangkat lunak pengolah dan penyimpan data bernama Enterprise Resource Planning (ERP) yang dipakai banyak pabrik dan unit bisnis di seluruh dunia.

2. Ambisi dan kebutuhan mengawinkan teknologi dengan olahraga

Dietmar Hopp melalui SAP juga berkontribusi dalam mengawinkan teknologi dengan olahraga di TSG Hoffeinhem. Dilansir laman resmi mereka, produk-produk SAP sudah masuk ke berbagai ranah operasional klub. Tidak hanya untuk transaksi tiket, pernak-pernik, dan makanan-minuman di stadion, tetapi juga berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan kebutuhan tim dan personalia. Itu termasuk analisa pertandingan, koleksi data performa pemain, dan lain sebagainya. 

Tidak bisa dimungkiri pula bahwa teknologi kini jadi bagian integral dalam sepak bola. Perangkat pengumpul dan pengolah data jadi sesuatu yang lumrah dimiliki sebuah tim pada era digital. SAP dengan sumber daya mereka di bidang ini jelas jadi semacam aset penting untuk TSG Hoffenheim.

3. Keberadaan Dietmar Hopp di TSG Hoffenheim menimbulkan polemik di Jerman

Dietmar Hopp membawa banyak perubahan di TSG Hoffenheim. Pada awal keterlibatannya, namanya sempat dipakai untuk stadion markas mereka yang berkapasitas 5.000 orang. Dengan harta pribadinya pula, ia membangun rumah baru untuk klub tersebut (Rhein-Neckar-Arena) seiring dengan ambisinya melihat klub itu promosi ke liga utama Jerman. 

Namun, kehadirannya menimbulkan polemik di Jerman. Mereka pernah dapat pengecualian dari Asosiasi Liga sepak bola Jerman (DFL) dan Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) untuk tidak menerapkan prinsip 50+1. Pengecualian itu selama ini hanya diberikan pada Bayer Leverkusen dan VfL Wolfsburg yang mayoritas sahamnya dimiliki satu perusahaan berdasar sejarah kepemilikan mereka.

Sontak, banyak yang melihat ini sebagai kontroversi. Suporter tim lawan kerap membentangkan spanduk protes. Pada 2023, TSG Hoffenheim akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menggunakan hak pengecualian tersebut dan berkomitmen dengan prinsip 50+1. Namun, ini tak serta merta mengubah persepsi khalayak. Sampai sekarang, TSG Hoffenheim masih dilihat sebagai anomali dalam sepak bola Jerman, layaknya RB Leipzig. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Gagah N. Putra
EditorGagah N. Putra
Follow Us