Benarkah Pakai Bahasa Inggris di X Efektif Menghindari Buzzer?

- Buzzer adalah individu atau kelompok yang menyebarkan narasi tertentu secara masif, dengan tujuan memengaruhi opini publik dan beroperasi melalui sistem terstruktur.
- Penggunaan bahasa Inggris tidak efektif untuk menghindari buzzer karena mereka dapat beroperasi lintas bahasa dan menyerang dalam bahasa asing jika memiliki agenda global.
- Strategi efektif dalam menghadapi buzzer adalah memperkuat kualitas konten, edukasi audiens tentang hoaks, serta regulasi dan peran aktif platform media sosial.
Fenomena demonstrasi besar yang terjadi pada 25, 28, dan 29 Agustus 2025 turut mengundang kehadiran buzzer di media sosial. Kolom komentar dipenuhi cuitan yang justru memicu amarah warganet. Situasi genting negeri ini seolah pecah di dunia maya melalui komentar provokatif yang kerap mengalihkan perhatian dari tujuan demonstrasi sebenarnya. Para buzzer memanfaatkan momen ini dengan menyebarkan seruan bernada provokasi, menebar hoaks, hingga menyerang akun-akun yang dianggap berseberangan dengan kepentingan politik tertentu.
Akibatnya, sebagian pengguna mulai merasa resah dan mencari cara untuk menghindari sorotan buzzer. Salah satu strategi yang kerap dibicarakan adalah menulis cuitan dalam Bahasa Inggris. Alasannya, buzzer lebih sering beroperasi menggunakan bahasa Indonesia sehingga penggunaan bahasa asing diyakini bisa membuat akun lebih “aman.” Namun, benarkah langkah ini efektif? Mari telusuri lebih jauh penalarannya!
1. Siapa itu buzzer dan bagaimana mereka bekerja?

Buzzer adalah individu maupun kelompok yang menggunakan akun asli atau anonim untuk menyebarkan narasi tertentu secara masif. Umumnya, mereka mendapat arahan atau bayaran dari pihak tertentu yang bertujuan memengaruhi opini publik. Penelitian Anugerah (2020) dalam Jurnal Lemhannas RI berjudul "Urgensi Pengelolaan Pendengung (Buzzer) Melalui Kebijakan Publik Guna Mendukung Stabilitas Politik di Indonesia" menjelaskan bahwa aktivitas buzzer tidak berlangsung secara sporadis. Sebaliknya, mereka beroperasi secara terkoordinasi melalui sistem yang terstruktur dan saling terhubung antarplatform, sehingga dampaknya sangat terasa dalam percakapan digital.
Keberadaan buzzer pun tidak hanya terbatas pada ranah politik, melainkan juga merambah bidang ekonomi, hiburan, hingga persaingan bisnis. Mereka memanfaatkan algoritma media sosial untuk memperkuat pesan, sehingga informasi yang disebarkan dapat dengan cepat menjadi tren. Artinya, buzzer lebih menitikberatkan pada tujuan dan target audiens dibandingkan bahasa yang dipakai. Itulah sebabnya mereka dapat menyerang siapa saja dan apa pun bahasanya, selama konten yang muncul dianggap relevan sesuai kepentingan yang sedang mereka dorong.
2. Apakah Bahasa Inggris bisa jadi tameng dari para buzzer?
Banyak orang beranggapan bahwa penggunaan bahasa asing dapat menjadi pelindung masyarakat awam dari riuhnya serangan buzzer. Namun, tidak ada bukti yang kuat bahwa memakai bahasa Inggris otomatis membuat seseorang terbebas dari serangan mereka. Faktanya, buzzer mampu beroperasi lintas bahasa karena sebagian memang menargetkan komunitas global sekaligus nasional. Selama konten yang disampaikan menyinggung isu sensitif atau berpotensi mengganggu kepentingan tertentu, serangan tetap bisa terjadi. Dari sini, bahasa hanyalah media berkomunikasi, bukan sebagai faktor penentu.
Penggunaan Bahasa Inggris justru berpotensi memperluas jangkauan audiens hingga ke level internasional. Jika para buzzer memiliki agenda yang ingin digulirkan secara global, mereka pun tidak ragu menyerang dalam bahasa tersebut. Seorang pengguna X, @farislmn, menyindir bahwa jika sampai masyarakat harus memakai bahasa asing demi menghindari buzzer, itu berarti kebebasan berekspresi sudah berhasil ditekan oleh mereka. Sindiran ini menegaskan bahwa akar masalah jauh lebih kompleks daripada sekadar pilihan bahasa yang digunakan.
Ia juga menambahkan, jika sebuah konten harus ditulis dalam bahasa Inggris untuk merasa aman, maka ada dua hal yang patut dicatat. Pertama, buzzer berhasil meredam suara publik. Kedua, pesan yang disampaikan tidak akan menjangkau khalayak seluas jika menggunakan Bahasa Indonesia. Pandangan tersebut kemudian ditanggapi akun X @tothevoidinside, yang menyinggung bahwa fenomena ini sudah terbukti dalam dinamika politik Pilpres 2024. Menurutnya, kebodohan dan kemiskinan sengaja dibiarkan agar kesadaran serta persatuan masyarakat untuk melawan tetap lemah. Meski demikian, ia melihat sisi positif yakni kalangan menengah ke atas mulai menyadari bahaya buzzer dan kesadaran ini berpotensi membawa perubahan organik. Walaupun perlahan, peluang ini bisa menjadi langkah awal untuk memperbaiki kualitas percakapan publik di ruang digital.
3. Strategi efektif daripada sekadar memilih bahasa dalam menyampaikan keresahan

Daripada berfokus pada penggunaan bahasa, strategi yang lebih efektif adalah memperkuat kualitas konten dan literasi digital. Konten yang akurat, transparan, dan berbasis data akan lebih sulit dipatahkan oleh serangan buzzer. Edukasi audiens tentang cara mengenali hoaks, bot, dan kampanye terselubung juga penting untuk mengurangi dampak negatif buzzer. Dengan begitu, ruang digital bisa menjadi lebih sehat meski buzzer masih ada.
Selain itu, diperlukan regulasi dan peran aktif platform media sosial. Hingga kini, Indonesia belum memiliki aturan khusus yang secara tegas menindak buzzer politik, sehingga aktivitas mereka kerap luput dari jerat hukum. Perlunya kebijakan yang mengatur identitas akun serta mekanisme pengawasan konten juga tentu menjadi perhatian. Di sisi lain, platform seperti X juga perlu lebih proaktif dalam mendeteksi akun palsu dan jaringan buzzer agar percakapan publik tidak terus dimanipulasi.
Berdasarkan penjelasan di atas, terang bahwa penggunaan bahasa Inggris tidak bisa dijadikan solusi utama untuk menghindari buzzer. Serangan buzzer lebih dipengaruhi oleh isu dan kepentingan politik atau ekonomi, bukan bahasa yang dipakai. Maka, beralih ke bahasa asing hanya akan memberi rasa aman semu, tanpa benar-benar menyelesaikan akar persoalan.
Yang lebih penting adalah memperkuat literasi digital, mendorong transparansi, dan menegakkan regulasi. Berkat terobosan tersebut, ruang diskusi di X bisa menjadi lebih sehat dan produktif. Jadi, daripada sekadar mengganti bahasa, lebih baik bersama-sama membangun kesadaran dan ketahanan digital agar tidak mudah diprovokasi oleh buzzer.