Kenapa eSIM Masih Kurang Populer di Indonesia?

Ketika teknologi ponsel mulai berkembang, para penggunanya menggunakan kartu SIM berukuran penuh yang setara dengan kartu ATM. Memasuki akhir 1990-an, ukuran kartu SIM berubah menjadi mini-SIM. Kemudian, munculah micro-SIM yang dipopulerkan oleh iPhone 4. Pada 2012, dimulai era micro-SIM seperti yang banyak dikenal sekarang dengan iPhone 5 sebagai pionirnya. Pada 2017, Google Pixel 2 memperkenalkan teknologi eSIM tanpa kartu fisik.
eSIM (embedded SIM) merupakan teknologi yang menggantikan kartu SIM fisik dengan chip terintegrasi di perangkat. Meski memiliki banyak keunggulan seperti kemudahan aktivasi, fleksibilitas operator, dan pengurangan limbah plastik, eSIM masih kurang populer di Indonesia. Kira-kira apa, ya, penyebabnya?
1. eSIM dibuat untuk efisiensi dan kepraktisan

Sebelum membahas alasan kenapa eSIM kurang populer di Indonesia, ada baiknya kenali dulu manfaat dan kelebihan eSIM. Teknologi eSIM bekerja dengan menyimpan profil operator seluler yang diunduh langsung ke chip dalam perangkat. Pengguna mendapatkan eSIM dengan memindai kode QR dari operator seluler atau mengunduh profil melalui aplikasi resmi. Setelah aktivasi, perangkat dapat terhubung ke jaringan tanpa kartu fisik sehingga pengguna dapat dengan mudah beralih operator atau paket sesuai kebutuhan.
2. eSIM lambat berkembang karena keterbatasan infrastruktur operator

Awalnya, belum semua operator seluler di Indonesia mendukung eSIM. Namun, sekarang operator besar seperti Telkomsel, XL, dan Indosat sudah mulai menyediakan layanan ini. Meski begitu, cakupannya belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal informasi dan pemasaran, banyak masyarakat belum mengetahui tentang eSIM atau keunggulannya. Kampanye edukasi dari operator juga masih terbatas.
3. Perangkat yang mendukung eSIM masih cukup mahal bagi sebagian orang

Tidak semua orang dapat menggunakan eSIM karena keterbatasan perangkat yang dimiliki. Sejauh ini, mayoritas smartphone beredar yang sudah mendukung eSIM adalah produk flagship terbaru seperti iPhone, Samsung Galaxy, atau perangkat wearable seperti Apple Watch. Harga perangkat ini cenderung tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, smartphone kelas mid-range dan entry level saat ini belum banyak yang mendukung teknologi eSIM.
4. Kebiasaan masyarakat yang masih nyaman menggunakan SIM fisik

Banyak pengguna smartphone di Indonesia terbiasa menggunakan perangkat dengan dual SIM fisik untuk memanfaatkan paket data dari operator berbeda. Di sisi lain, perangkat eSIM sering kali hanya mendukung kombinasi eSIM dan satu SIM fisik saja. Selain itu, pengguna di Indonesia terbiasa dengan fleksibilitas kartu SIM fisik yang mudah diganti jika rusak atau ingin berpindah operator. Perlu diketahui, perpindahan nomor eSIM ke perangkat lain tidak sama dengan SIM fisik karena nomor eSIM tertanam di motherboard. Pengguna harus melakukan perpindahan yang prosesnya berbeda dengan SIM fisik. .
5. Kekhawatiran privasi dan keamanan

Beberapa pengguna smartphone di Indonesia mungkin masih ragu tentang keamanan eSIM. Ini mengakibatkan kekhawatiran terhadap risiko peretasan jika perangkat tidak dilindungi dengan baik. Pasar telekomunikasi Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada penjualan kartu SIM fisik yang didukung oleh jaringan distribusi luas, seperti kios pulsa, gerai resmi, atau minimarket. Selain itu, operator sekarang cenderung fokus pada penawaran paket murah dengan kuota besar daripada mendorong adopsi teknologi baru seperti eSIM.
Di masa mendatang, jika smartphone yang mendukung eSIM sudah cukup terjangkau bagi semua kalangan, bukan tidak mungkin eSIM akan sangat umum digunakan. Jika sudah begitu, pengguna tidak perlu lagi keluar rumah untuk membeli kartu perdana. Namun, tentu saja eSIM memiliki sejumlah kekurangan seperti harus melakukan proses perpindahan perangkat jika berganti ke HP baru. Meski begitu, perpindahan tersebut seharusnya tidak terlalu sulit.