Studi: Chatbot AI Mampu Pengaruhi Pilihan Politik, Kalahkan Iklan TV

- Studi terbaru dalam jurnal Science dan Nature mengungkap temuan menarik tentang pengaruh kecerdasan buatan (AI) terhadap preferensi politik.
- Penelitian melibatkan puluhan ribu partisipan dari berbagai negara untuk menguji sejauh mana teknologi ini dapat memengaruhi demokrasi.
- Persuasi AI mengandalkan argumen berbasis bukti dan bahasa yang sopan, namun berisiko melakukan persuasi dengan bukti yang tidak akurat.
Studi terbaru dalam jurnal Science dan Nature mengungkap temuan menarik tentang pengaruh kecerdasan buatan (AI) terhadap preferensi politik. Riset ini menunjukkan bahwa interaksi singkat dengan chatbot AI mampu mengubah pandangan pemilih secara cukup signifikan, bahkan ketika pemilih sudah memiliki kandidat pilihan. Temuan ini menjadi alarm bagi regulator dan masyarakat mengingat kemampuan AI yang terus berkembang pesat.
Penelitian ini bahkan menyimpulkan AI mampu memengaruhi opini publik jauh lebih efisien dari metode kampanye konvensional seperti iklan televisi. Para peneliti melibatkan puluhan ribu partisipan dari berbagai negara untuk menguji sejauh mana teknologi ini dapat memengaruhi demokrasi. Berikut temuan dampak persuasi AI terhadap pemilih yang terungkap dalam penelitian ini.
1. Penelitian melibatkan puluhan ribu partisipan

Dilansir NYT, riset ini melibatkan lebih dari 77 ribu partisipan di Inggris serta ribuan lainnya di Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Polandia. Peneliti menggunakan berbagai model bahasa besar (LLM) populer seperti GPT-4o dari OpenAI, Llama milik Meta, hingga DeepSeek sebagai agen persuasi. Partisipan diminta berdiskusi singkat dengan chatbot yang telah diprogram untuk mendukung kandidat atau isu politik tertentu.
Metodologi penelitian dirancang untuk mengukur perubahan sikap pemilih sebelum dan sesudah interaksi dengan AI. Responden awalnya diminta memberikan skor preferensi mereka terhadap kandidat politik pada skala 0 hingga 100 untuk menetapkan garis dasar. Setelah percakapan selesai, mereka kembali diminta menilai kandidat yang sama guna melihat adanya pergeseran dukungan akibat argumen yang disampaikan AI.
Studi ini tidak hanya menyasar satu demografi spesifik, melainkan mencakup spektrum pemilih yang luas di negara-negara dengan iklim politik berbeda. Penggunaan lebih dari 20 model AI bertujuan memastikan fenomena persuasi ini bukan sekadar karakteristik satu platform atau algoritma tertentu.
2. Persuasi AI mengandalkan argumen berbasis bukti dan bahasa yang sopan

Temuan utama menunjukkan bahwa chatbot AI mampu menggeser preferensi pemilih hingga 10 poin di Kanada dan Polandia setelah berinteraksi. Di AS yang masyarakatnya lebih terpolarisasi, pergeseran tercatat lebih kecil tapi tetap signifikan secara statistik, yakni sekitar empat poin. Angka tersebut diperkirakan empat kali lebih persuasif dibandingkan dampak rata-rata iklan kampanye televisi konvensional.
Rahasia di balik kemampuan persuasi AI ini ternyata bukan terletak pada manipulasi emosional atau narasi cerita yang dramatis. Data menunjukkan chatbot paling efektif ketika menyajikan argumen berbasis bukti yang disampaikan dengan gaya bahasa sopan dan santun. Banjir informasi dan fakta yang disajikan secara terstruktur membuat argumen AI terasa lebih meyakinkan bagi manusia dibandingkan debat emosional.
"AI berhasil menggeser persepsi orang dalam kisaran beberapa poin ke arah kandidat yang didukung oleh model, efek ini jauh lebih besar dari iklan video tradisional," ungkap David Rand, profesor dari Cornell University yang memimpin studi ini, dilansir The Straits Times.
3. AI berisiko melakukan persuasi dengan bukti yang tidak akurat

Sayangnya, efektivitas persuasi ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan akurasi fakta yang disampaikan oleh chatbot. Studi menemukan bahwa argumen berbasis bukti tetap mampu memengaruhi pemilih meskipun bukti yang disajikan sebenarnya salah, tidak akurat, atau hasil fabrikasi. Sebagian orang tampaknya cenderung lebih mudah percaya pada bukti yang tampak valid tanpa melakukan verifikasi.
Peneliti juga menemukan pola bias tertentu terkait kecenderungan politik model AI dalam menyajikan sebuah informasi. Chatbot yang diprogram untuk mendukung kandidat sayap kanan (right-leaning) cenderung memproduksi lebih banyak klaim tidak akurat dibandingkan model pendukung sayap kiri. Hal ini diprediksi disebabkan oleh pola data pelatihan yang diambil dari internet, di mana konten sayap kanan sering kali mengandung misinformasi.
Ketergantungan model pada data internet membuat AI rentan menghasilkan hoaks yang beredar luas di media sosial. Ketika kehabisan fakta akurat untuk mendukung argumen, model AI sering kali mengarang informasi atau berhalusinasi demi mempertahankan posisi debatnya. Ini bisa berbahaya bagi demokrasi jika teknologi tersebut digunakan secara masif tanpa mekanisme pengecekan fakta yang ketat.
4. Dampak persuasi AI bertahan hingga sebulan

Dampak persuasi AI dalam studi ini ternyata tidak bersifat sementara dan bisa bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama di benak pemilih. Pemantauan lanjutan menunjukkan bahwa sekitar separuh efek persuasi masih bertahan setelah satu bulan di Inggris dan sepertiga di AS. Ketahanan opini ini jarang ditemukan dalam studi psikologi sosial konvensional, menandakan kuatnya dampak interaksi dengan AI.
"Berlawanan dengan pandangan tradisional, studi ini menunjukkan pemilih ternyata bersedia menerima bukti yang tidak sesuai dengan keyakinan awal mereka, fakta justru bisa menjadi landasan persuasi yang sukses," jelas Ethan Porter, peneliti disinformasi dari George Washington University.
Kehadiran AI layaknya pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi ini dapat membantu jutaan pemilih untuk membuat pilihan yang lebih bijak. Namun, di sisi lain, AI justru dapat dimanfaatkan oleh aktor jahat untuk memanipulasi opini publik secara massal. Oleh karena itu, masyarakat harus selalu kritis terhadap respons AI baik di platform seperti ChatGPT atau pun oleh bot yang kini semakin membanjiri media sosial.

















