Lebih Penting Belajar Coding atau Etika untuk Siswa SD-SMP?

- Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menitipkan usulan coding dan matematika di kurikulum SD-SMP kepada Mendikdasmen Abdul Mu'ti.
- Gibran mendukung program pembelajaran coding sejak dini, namun menuai berbagai tanggapan dari masyarakat terkait prioritas pendidikan etika.
- India sudah mengintegrasikan teknologi informasi ke dalam sistem pendidikan, sedangkan Indonesia masih berupaya meningkatkan literasi teknologi.
Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, menitipkan usulannya kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti. Hal ini disampaikan secara jelas saat memberikan sambutan dalam Rapat Koordinasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan bersama para Kepala Dinas Pendidikan dari seluruh Indonesia yang berlangsung di Sheraton Grand Jakarta Gandaria City Hotel, Jalan Sultan Iskandar Muda, Jakarta Selatan, Senin (11/11/2024). Acara tersebut disiarkan melalui kanal YouTube resmi Wakil Presiden.
Gibran secara terbuka mendukung program pembelajaran coding serta matematika sejak dini guna mempersiapkan generasi muda Indonesia menjadi ahli di bidang teknologi di masa depan.
“Kemarin saya sampaikan ke Pak Menteri di rapat terakhir kita, kalau bisa, mungkin di tingkat SD atau SMP diterapkan pelajaran coding. Jangan sampai kita tertinggal dari India. Karena, sekali lagi Bapak-Ibu, untuk menuju Indonesia Emas, kita membutuhkan generasi emas. Kami berharap akan lebih banyak ahli coding, AI, machine learning, dan bidang terkait lainnya,” ujar Gibran dalam sambutannya melalui kanal YouTube Wakil Presiden.
Gagasan ini disambut positif oleh sebagian kalangan sebagai langkah baik untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam menghadapi era digital yang terus berkembang. Namun, usulan ini juga menuai berbagai tanggapan dari masyarakat yang memunculkan pertanyaan mendasar. Apakah belajar coding lebih penting demi menggenjot misi generasi emas dibandingkan pembelajaran etika? Kalau memang arah pendidikan hanya berfokus pada penguasaan keterampilan teknologi seperti coding, bukankah kita berisiko mengabaikan fondasi yang sebenarnya menentukan kualitas generasi penerus?
1. Menelaah kembali sejatinya bagaimana hakikat siswa sekolah dasar dan menengah

Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengusung delapan misi yang diimplementasikan dalam Asta Cita. Salah satunya bertujuan untuk memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM). Mengutip SIPPN MENPAN-RB, dalam Asta Cita butir keempat, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan SDM melalui pengembangan di bidang sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta memperkuat peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas. Pada tahap perkembangan siswa SD dan SMP yang sedang mengalami perkembangan pesat dalam aspek kognitif, emosional, dan sosial, pendidikan di tingkat ini harus berfokus pada pembentukan karakter, moral, dan nilai hidup. Tujuan pendidikan tidak hanya untuk meningkatkan keterampilan akademis, tetapi juga untuk membentuk pribadi yang kuat dan berintegritas.
Dalam video yang diunggah di kanal Kompas TV dalam acara bertajuk GAGAS RI Episode 2 dengan tema "Melihat Masa Depan dengan Pesatnya Perkembangan Teknologi dan Artificial Intelligence", filsuf dan astronom perempuan pertama di Indonesia, Karlina Supelli, dengan bijak mengingatkan bahwa anak-anak tidak seharusnya dibebani dengan tuntutan (PR) yang terlalu berat. “Anak-anak itu tugasnya main,”. Hal ini menegaskan bahwa masa kanak-kanak adalah waktu bagi mereka untuk menjelajah dan belajar dengan rasa ingin tahu tanpa tekanan yang berlebihan. Guru dapat memanfaatkan metode pembelajaran coding yang menyenangkan bagi siswa sekolah dasar, seperti menggunakan permainan puzzle atau teka-teki interaktif yang merangsang kemampuan logika dan pemecahan masalah tanpa mengorbankan aspek bermain. Lewat pendekatan ini, anak-anak dapat mengenal konsep dasar teknologi dan pemrograman sambil tetap menikmati kebebasan berekspresi.
Pendidikan usia dasar seharusnya mengutamakan keseimbangan antara pembelajaran formal dan pengembangan karakter. Jika terlalu cepat berfokus pada keterampilan teknis seperti coding tanpa memperhatikan aspek-aspek penting lainnya, kita berisiko mengabaikan kebutuhan anak untuk tumbuh dengan jiwa yang sehat dan bahagia. Anak-anak memerlukan waktu untuk mengembangkan imajinasi, kreativitas, dan kemampuan bersosialisasi yang sangat penting dalam pembentukan identitas mereka sebagai individu yang seimbang.
Sebagai bagian dari misi Prabowo-Gibran yang berfokus pada pembangunan SDM, pendekatan yang seimbang dalam pendidikan harus diterapkan. Meski pendidikan teknologi seperti coding sangat penting di era digital, hal itu harus diimbangi dengan pendidikan yang menumbuhkan nilai moral dan etika. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya akan terampil dalam keterampilan teknis, tetapi juga memiliki empati, tanggung jawab sosial, dan integritas yang kuat.
2. Perbandingan tingkat adopsi teknologi dan melek pengetahuan tentang IT antara India vs Indonesia

Jika kita membandingkan Indonesia dan India dalam hal adopsi teknologi serta literasi IT, India sering kali lebih unggul dalam hal keterampilan teknis. Negara tersebut sudah lama mengintegrasikan teknologi informasi ke dalam sistem pendidikannya. Bahkan, mereka dikenal sebagai salah satu pusat teknologi dunia yang melahirkan banyak insinyur dan programmer handal.
Menurut NuCamp, di Bangalore, yang dijuluki sebagai "Silicon Valley India," pendidikan teknologi bagi anak-anak dianggap sangat penting. Memperkenalkan teknologi sejak dini, baik di sekolah maupun di rumah, praktis meningkatkan kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, serta mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi era digital. Bangalore sendiri menjadi pusat inovasi dengan lebih dari 60.000 perusahaan teknologi yang berkontribusi lebih dari 35 persen terhadap ekspor produk IT India.
Program STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) diajarkan sejak dini di banyak sekolah dengan lebih dari 60 persen sekolah di Bangalore sudah mengajarkan coding kepada siswa mereka. Bahkan, ilmu tersebut juga mulai diperkenalkan pada anak yang berusia 5 tahun. Selain itu, orang tua juga berperan aktif mendorong anak-anak mereka untuk mengikuti camp coding, lokakarya robotik, dan pameran teknologi interaktif.
Di sisi lain, Indonesia masih berupaya meningkatkan literasi teknologi di kalangan siswa. Banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, yang belum memiliki akses memadai terhadap infrastruktur digital. Indonesia juga menghadapi tantangan dalam membentuk karakter siswa di tengah pesatnya digitalisasi. Bahkan, masih ada pandangan bahwa banyak siswa sekolah dasar dan menengah yang belum menguasai dasar-dasar berhitung dan membaca dengan baik.
Namun, ada kabar baik. Berdasarkan data yang dirilis oleh Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kominfo (sekarang Komdigi) tahun 2023, skor literasi digital masyarakat Indonesia berada pada kategori sedang dari skala 1-5 poin. Data terakhir pada 2022, Indonesia berhasil naik 0,05 poin menjadi 3,54 poin. Sebelumnya pada 2020, Indonesia meraih skor 3,46 poin yang kemudian naik menjadi 3,49 poin pada 2021.
Meski demikian, situasi ini masih jauh berbeda dengan India, di mana dasar-dasar pemrograman sudah diajarkan sejak usia dini. Di India, pengenalan keterampilan dasar pemrograman bukan lagi menjadi tambahan, melainkan bagian dari kurikulum wajib yang bahkan sudah dimulai sejak prasekolah. Hal ini memungkinkan siswa untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga pencipta dan inovator di usia muda. Sebagai hasilnya, generasi muda India memiliki keterampilan teknis yang tinggi dan mampu bersaing di pasar global.
Kesenjangan kualitas pendidikan Indonesia antara kota besar dan daerah terpencil masih menjadi masalah besar. Di banyak sekolah, pengajaran masih berfokus pada mata pelajaran tradisional. Padahal, materi teknologi digital belum menjadi prioritas utama dalam kurikulum.
3. Ke mana pembelajaran soal etika? Apakah coding dirasa jauh lebih penting untuk siswa sekolah dasar dan menengah?

Masalah mendasar seperti rendahnya tingkat literasi membaca dan berhitung di kalangan siswa SD-SMP di Indonesia masih menjadi hambatan signifikan. Banyak siswa yang belum menguasai keterampilan dasar ini sehingga menambah beban bagi guru yang harus mengenalkan teknologi canggih seperti coding. Tanpa landasan yang kuat dalam kemampuan membaca, berhitung dan berpikir kritis, upaya memperkenalkan coding bisa menjadi sekadar formalitas yang tidak memberikan dampak berarti.
Selain itu, Indonesia menghadapi tantangan dari sisi budaya. Di masyarakat, pembelajaran akademis yang berbasis hafalan sering kali dianggap lebih penting, sementara keterampilan praktis seperti coding dan pemrograman masih dipandang sebagai tambahan yang tidak vital. Hal ini berbeda dengan India, di mana keterampilan teknologi dihargai setara dengan mata pelajaran akademis lainnya.
Namun, ada peluang yang bisa ditangkap dari hal ini. Peningkatan skor literasi digital Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya progres meski masih relatif lambat jika dibandingkan dengan India. Peningkatan ini menandakan adanya kesadaran untuk berubah. Melalui inisiatif seperti Gerakan Nasional Literasi Digital (SiBerkreasi) yang digagas oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (sekarang Kementerian Komunikasi dan Digital), ada harapan bahwa kesenjangan ini dapat semakin mengecil dalam beberapa tahun mendatang. Tantangan selanjutnya adalah memastikan bahwa program literasi digital dan pengenalan coding di sekolah-sekolah tidak hanya fokus pada keterampilan teknis, tetapi juga melibatkan pendidikan etika dan karakter. Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, sangat penting untuk memastikan bahwa generasi muda tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga bijak dalam menerapkan keterampilan tersebut untuk kepentingan bersama.
Meski usulan untuk menambahkan coding dalam kurikulum SD-SMP relevan dengan kebutuhan zaman, kemampuan coding saja tidak cukup. Di era digital yang makin terhubung, siswa juga harus memahami etika digital, etika bermedia sosial secara bijak, privasi, keamanan data, dan tanggung jawab sosial.
Apalagi, melansir The Conversation, anak-anak merupakan kelompok paling rentan menjadi korban negatif dalam ruang maya Indonesia yang berisiko terpapar sehingga membuat mereka menjadi target demografi yang penting untuk menjadi sasaran literasi digital yang holistik. Bukan hanya kemampuan teknis, tetapi juga pemahaman tentang bagaimana menggunakan teknologi secara bertanggung jawab, aman, dan etis yang perlu ditekankan. Jika coding terlalu fokus tanpa pemahaman etika, kita berisiko melahirkan generasi yang mahir secara teknis, namun, kurang bijaksana dalam menggunakan pengetahuannya. Tanpa etika yang kuat, keterampilan teknologi bisa disalahgunakan, misalnya untuk cyberbullying, penyebaran hoaks, komentar di media sosial yang bernada sarkas maupun ujaran kebencian, atau aktivitas siber negatif lainnya.
Oleh karena itu, pendidikan etika harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kurikulum, terutama di tingkat SD dan SMP, di mana anak-anak sedang membentuk pola pikir dan kebiasaan mereka. Pendekatan terbaik mungkin adalah integrasi pembelajaran coding dengan nilai-nilai etika. Misalnya, siswa bisa diajarkan tentang tanggung jawab dalam menciptakan program yang tidak merugikan orang lain, menghormati hak cipta, serta melindungi privasi pengguna. Selain memperkenalkan bahasa pemrograman, kurikulum yang lebih komprehensif seharusnya mencakup pelatihan tentang literasi digital, kesadaran keamanan siber, serta etika berkomunikasi di dunia maya. Hal ini penting agar siswa tidak hanya menjadi pengguna yang cerdas, tetapi juga warga digital yang bertanggung jawab dan memiliki integritas.
Dari diskursus ini, penulis menyimpulkan bahwa gagasan untuk memperkenalkan coding di Indonesia sangat relevan dan dapat diterapkan di masa sekarang. Wakil Presiden benar-benar menaruh harapan besar untuk membenahi sistem pendidikan di negeri ini. Namun, seperti pepatah yang mengatakan "adab di atas ilmu," kita juga perlu memastikan bahwa pendidikan tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada pembentukan karakter dan moral. Dengan kata lain, dalam mengejar kemajuan di bidang teknologi, kita tidak boleh mengabaikan prinsip dasar yang membangun masyarakat beretika dan penuh empati. Menerapkan pelajaran coding memang penting untuk mempersiapkan siswa menghadapi dunia digital, tetapi tanpa adab yang baik, keterampilan tersebut bisa disalahgunakan.
Pendekatan yang ideal adalah pendekatan yang integratif, di mana pembelajaran coding diimbangi dengan pendidikan tentang etika dan tanggung jawab sosial. Dengan cara ini, siswa tidak hanya menjadi lebih cerdas secara teknis, tetapi juga individu yang bertanggung jawab, berperilaku baik, dan siap menggunakan keterampilan mereka untuk kebaikan bersama. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya akan menghasilkan generasi yang mahir dalam teknologi, tetapi juga generasi yang berbudi luhur dan siap membangun masa depan yang lebih baik melalui wujud generasi Indonesia Emas 2045.