Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Gunung Rinjani (unsplash.com/Samurai Cheems)

Gunung Rinjani yang berlokasi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat selalu menjadi pendakian favorit di Indonesia. Dengan ketinggian 3.726 mdpl, gunung berapi kedua tertinggi di Tanah Air ini menawarkan pemandangan alam yang memukau.

Beberapa waktu lalu, sempat viral karena seorang turis Brazil dilaporkan jatuh ke jurang sedalam ratusan meter di sekitar titik Cemara Nunggal dan akhirnya dievakuasi dalam kondisi meninggal dunia pada Selasa, 24 Juni 2025. Nah, dari kejadian ini terdapat beberapa alasan yang menyebabkan seorang pendaki terjatuh saat melakukan trek di Gunung Rinjani.

Kira-kira apa saja alasan yang bisa menyebabkan pendaki terjatuh saat menaklukkan Gunung Rinjani? Simak penjelasannya di bawah ini.

1. Medan pendakian yang curam dan licin

Gunung Rinjani (unsplash.com/Eugene Chow)

Trek menuju puncak Rinjani didominasi oleh jalur berpasir dan kerikil lepas yang sangat licin, terutama di bagian punggungan. Pijakan yang tidak stabil ini membuat pendaki mudah terpeleset.

Selain itu, beberapa segmen jalur juga berupa batuan terjal dan akar pohon yang licin, terutama saat kondisi basah karena hujan atau embun tebal. Kaki jadi gampang terpeleset dan kehilangan keseimbangan

2. Cuaca yang tidak bisa diprediksi

jalur pendakian Gunung Rinjani yang tertutup kabut tebal (unsplash.com/Fahrul Razi)

Cuaca di Gunung Rinjani bisa berubah dengan sangat cepat dan tak terduga. Kabul tebal dapat mengurangi visibilitas secara drastis, membuat pendaki kesulitan melihat jalur dan potensi bahaya di depan mereka.

Selain itu, di Plawangan sampai puncak gunung, angin Rinjani bisa sekencang badai. Dorongan angin bisa membuat badan menjadi tidak seimbang, sehingga dapat terdorong dan jatuh ke jurang.

3. Kelelahan dan kurangnya persiapan fisik

jalur Sembalun Lawang, Gunung Rinjani (unsplash.com/Eugene Chow)

Pendakian Rinjani memerlukan stamina prima karena durasi pendakian yang panjang dan elevasi yang signifikan. Banyak pendaki yang memaksakan diri atau kurang beradaptasi dengan ketinggian yang dapat menyebabkan penurunan konsentrasi, keseimbangan, dan koordinasi gerakan sehingga meningkatkan risiko terjatuh.

Kurang minum dari awal pendakian akan menyebabkan tenaga terkuras lebih banyak saat berada di tanjakan. Kondisi ini akan membuat badan menjadi lemas, pusing, hingga pandangan kabur.

4. Mengidap hipoksia, hipotermia, dan AMS

Gunung Rinjani (unsplash.com/David Wollschlegel)

Mendaki gunung berapi, seperti Rinjani membawa risiko kesehatan yang serius. Tiga kondisi medis yang paling berbahaya dan sering menyerang pendaki di ketinggian adalah hipoksia, hipotermia, dan Acute Mountain Sickness (AMS).

Hipoksia terjadi ketika tubuh tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup. Di ketinggian Rinjani, tekanan oksigen lebih rendah, pendaki mengalami napas pendek, pusing, kebingungan, hingga kehilangan kesadaran.

Sementara itu, hipotermia adalah kondisi di mana suhu inti tubuh turun drastis di bawah normal, yang disebabkan oleh paparan dingin, angin, dan kelembapan di puncak Rinjani. Gejala awalnya meliputi menggigil tak terkontrol, kulit pucat, mati rasa, dan kelelahan.

Terakhir, Acute Mountain Sickness (AMS) merupakan penyakit ketinggian serius yang gejalanya bisa sakit kepala parah, sesak napas, mual, muntah, hingga gangguan koordinasi dan kesadaran. Pentingnya untuk beradaptasi dengan lingkungan ketinggian secara bertahap dan jika sudah merasakan gejalanya, segera berhenti dan jangan memaksakan diri untuk melanjutkan pendakian.

Kesadaran akan bahaya dan persiapan yang matang, termasuk langkah untuk mengantipasi terjadinya kejadian yang tidak diharapkan saat mendaki gunung. Dengan ini, pendaki dapat menikmati keindahan Gunung Rinjani dengan lebih aman.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team