Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Tidak Boleh Buang Pembalut di Gunung? Ini Alasannya!

ilustrasi pembalut (pexels.com/Kaboompics)

Naik gunung membutuhkan banyak perlengkapan. Gak cuma mempersiapkan fisik, barang bawaan juga harus dicek kelengkapannya. Jangan sampai ada barang penting yang gak terbawa dan malah menyulitkan proses pendakian.

Salah satu barang kerap dibawa pendaki adalah pembalut. Gak cuma digunakan untuk pendaki perempuan saat menstruasi, pembalut juga punya manfaat lain, seperti sebagai pembalut luka sementara, menyerap keringat di ketiak, leher, dan punggung, serta mengurangi iritasi saat bergerak.

Sayangnya, sampah pembalut jadi banyak ditemukan di gunung dan mencemari lingkungan. Padahal, sampah pembalut tidak boleh dibuang sembarangan, terlebih di gunung.

Lantas, kenapa tidak boleh buang pembalut di gunung? Beberapa alasan ini bisa kamu baca dan ingat-ingat demi pengalaman mendaki yang lebih nyaman!

1. Pembalut membutuhkan waktu lama untuk terurai

ilustrasi pembalut (unsplash.com/rhsupplies)

Ketika mendaki, pembalut bisa menjadi penyelamat agar proses pendakian bisa terus berjalan. Selain digunakan untuk membalut luka dan menyerap keringat, pembalut juga tentu digunakan saat menstruasi. Hal tersebut membuat intensitas perempuan mengganti pembalut saat mendaki menjadi lebih sering. Itu juga disarankan untuk menjaga kesehatan.

Sayangnya, sampah pembalut yang dihasilkan pun kian menumpak. Pembalut tidak boleh dibuang sembarang di gunung, karena sebagian besar mengandung bahan kimia, racun, zat aditif, dan bahkan plastik, seperti dilansir The Zero Waste Family.

Menyeramkannya lagi, pembalut membutuhkan waktu sangat lama untuk terurai dengan tanah. Dilansir Wiley, pembalut dan disposable pads lainnya membutuhkan waktu kurang lebih 500—800 tahun untuk terurai. Lama banget, kan?

2. Sampah pembalut dengan darah dapat mengancam kesehatan hewan di gunung

ilustrasi anjing liar di gunung (pexels.com/arianfernandez)

Pembalut yang dibuang sembarangan di gunung ditakutkan dapat mencemari lingkungan. Pasalnya, tak semua orang menganut pemahaman pembalut harus dicuci terlebih dahulu sebelum dibuang. Ada yang percaya jika darah pada pembalut tidak perlu dicuci sebelum dibuang.

Sudah dicuci atau tidak, keduanya sama-sama membahayakan jika dibuang sembarangan, apalagi di gunung. Pembalut dapat menarik hewan-hewan liar, seperti tikus atau anjing liar. Mereka bisa terpapar kuman, bakteri, atau penyakit dari bahan kimia pada pembalut.

Dilansir jurnal American Journal of Obstetrics and Gynecology berjudul "Does Menstrual Blood Contain a Specific Toxin?", hewan yang menerima suntikan darah menstruasi mati karena menderita bakteremia. Itu disebabkan oleh organisme yang sama dalam darah menstruasi. Bisa kamu bayangkan jika hewan-hewan di gunung tak sengaja menjilat sampah pembalut? Ekosistem di gunung bisa jadi terganggu.

3. Pembalut jadi salah satu sampah paling banyak ditinggalkan di gunung

ilustrasi tumpukan sampah (pexels.com/lisafotios)

Selain botol plastik dan tisu basah, pembalut juga menjadi salah satu sampah paling banyak ditinggalkan di gunung, lho. Pada 2019, misalnya, ditemukan banyak sampah pembalut di Gunung Kerinci, Sumatra Barat, tepatnya di bagian camp ground.

Hal serupa juga terjadi di Gunung Bromo pada 2023. Para stakeholder di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menemukan pembalut bekas pakai saat melakukan pembersihan. Seperti yang sudah dijelaskan, pembalut menjadi salah satu sampah yang sulit terurai dan mencemari lingkungan.

Membuang sampah sembarang jadi masalah yang masih menyelimuti aktivitas mendaki gunung. Pembalut pun juga jadi salah satu sampah yang paling sering ditemukan. Jadilah pendaki yang pintar dan bertanggung jawab dengan ikut menjaga lingkungan, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fernanda Saputra
EditorFernanda Saputra
Follow Us