Kenapa Penjualan Mobil Nasional Lesu, Padahal Kini Banyak Mobil Murah?

- Daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnyaMeski mobil listrik makin banyak, daya beli masyarakat masih terbatas akibat tekanan ekonomi dan suku bunga kredit yang tinggi.
- Mobil listrik murah belum sepenuhnya meyakinkan konsumenKetersediaan infrastruktur pengisian daya dan kurangnya pemahaman teknologi EV membuat sebagian konsumen ragu untuk beralih ke mobil listrik.
- Perubahan tren pasar dan strategi produsenProdusen lebih fokus pada penjualan fleet, sementara pasar ritel individu melambat. Regulasi elektrifikasi pemerintah juga memengaruhi peluncuran model baru.
Penjualan mobil di Indonesia kembali menunjukkan tren penurunan sepanjang tahun 2025. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), total penjualan mobil dari Januari hingga Oktober hanya mencapai 635 ribu unit, turun sekitar 10 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Padahal, pasar otomotif sempat digadang-gadang akan meningkat pesat berkat kehadiran mobil listrik murah dari sejumlah merek asal China yang gencar melakukan promosi dan ekspansi jaringan dealer di Tanah Air.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa penjualan mobil justru menurun di saat pilihan mobil listrik semakin beragam dan harga makin terjangkau? Rupanya, penurunan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor produk, tetapi juga oleh kondisi ekonomi, perilaku konsumen, dan dinamika kebijakan yang masih berproses.
1. Daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya

Meski mobil listrik makin banyak dan harga semakin bersaing, sebagian besar masyarakat Indonesia masih menahan diri untuk membeli kendaraan baru. Tekanan ekonomi akibat inflasi, kenaikan harga kebutuhan pokok, serta tingginya suku bunga kredit membuat daya beli belum sepenuhnya pulih. Banyak calon pembeli yang akhirnya menunda pembelian, terutama untuk kendaraan pribadi yang dianggap bukan kebutuhan mendesak.
Selain itu, pembelian mobil di Indonesia masih sangat bergantung pada skema kredit. Dengan bunga yang masih tinggi dan uang muka yang cukup besar, masyarakat cenderung memilih menunggu hingga kondisi finansial membaik. Situasi ini berdampak langsung terhadap turunnya angka penjualan, baik untuk mobil bensin konvensional maupun mobil listrik.
2. Mobil listrik murah belum sepenuhnya meyakinkan konsumen

Kehadiran brand-brand China seperti BYD, Wuling, hingga Chery memang menarik perhatian publik lewat harga mobil listrik yang relatif terjangkau, bahkan ada yang di bawah Rp300 juta. Namun, sebagian calon pembeli masih ragu karena faktor infrastruktur pengisian daya yang belum merata. Banyak orang masih khawatir soal ketersediaan stasiun pengisian baterai di luar kota, daya tahan baterai dalam jangka panjang, hingga nilai jual kembali kendaraan listrik.
Selain itu, beberapa konsumen juga belum sepenuhnya familiar dengan teknologi EV. Mereka masih memerlukan edukasi dan jaminan purna jual yang kuat agar merasa aman beralih dari mobil konvensional ke mobil listrik. Tanpa rasa percaya ini, mobil listrik murah pun belum cukup untuk mendongkrak penjualan secara signifikan.
3. Perubahan tren pasar dan strategi produsen

Selain faktor ekonomi dan psikologis konsumen, perubahan tren di kalangan produsen juga memengaruhi. Beberapa merek besar lebih fokus pada penjualan fleet atau kendaraan niaga, sementara pasar ritel individu melambat. Di sisi lain, produsen mobil konvensional masih menahan peluncuran model baru karena menunggu kepastian regulasi elektrifikasi dari pemerintah.
Situasi ini menyebabkan pasar terasa stagnan meskipun produk baru terus bermunculan. Dengan kata lain, penawaran meningkat, tapi permintaan belum ikut naik. Jika pemerintah mampu memperluas insentif dan mendorong infrastruktur kendaraan listrik lebih cepat, bukan tidak mungkin tren penjualan akan kembali positif pada tahun mendatang, apalagi dengan kompetisi ketat antara brand Jepang dan China yang makin seru di segmen mobil listrik.


















