100 Hari Prabowo, Ekonom Soroti Capaian hingga Kebijakan Ekonomi

- Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di bawah potensi maksimal, dengan target 8 persen hingga 2029.
- Sektor industri perlu diperkuat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi Vietnam yang mencapai 7-8 persen per tahun.
Jakarta, IDN Times - Sejumlah ekonom memberikan pandangannya dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dari sisi ekonomi. Itu terutama mengenai pencapaian dan kebijakan yang ditetapkan mantan Menteri Pertahanan di era Joko "Jokowi" Widodo tersebut.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi dengan tema "Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo di Bidang Ekonomi", yang diselenggarakan Universitas Paramadina bekerja sama dengan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) pada Rabu (22/1/2025).
1. Capaian ekonomi RI di bawah potensi maksimal

Ekonom senior Iindef, Didik J. Rachbini menyoroti isu ekonomi dalam visi dan misi Asta Cita Prabowo. Menurutnya, capaian ekonomi Indonesia hingga saat ini masih berada di bawah potensi maksimal.
Dia mengatakan, tantangan besar masih mengadang, khususnya dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen hingga 2029. Didik menilai, capaian tersebut mustahil tanpa penguatan sektor industri yang selama satu dekade terakhir hanya tumbuh 3-4 persen. Itu jauh tertinggal dibandingkan Vietnam.
"Vietnam, yang saat ini mampu tumbuh hingga 7-8 persen per tahun dengan ekspor mencapai 405 miliar dolar AS, menjadi pembanding yang relevan," kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (23/1/2025).
Indonesia, dia menambahkan, meski memiliki potensi besar, masih stagnan di angka ekspor sekitar 250 miliar dolar AS. Dia menilai, hal itu hasil dari lemahnya penguatan sektor industri yang hanya tumbuh 3-4 persen dalam satu dekade terakhir.
Dia berpandangan, tanpa investasi besar-besaran di sektor industri, sulit bagi Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen hingga 2029. Untuk mencapainya, kata dia, pemerintah harus fokus pada reformasi birokrasi, yang mempercepat ekspor dengan kebijakan efisien. Selain itu, perlu peningkatan signifikan dalam investasi asing, karena tanpa itu sulit mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi..
2. Ekonomi digital sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi

Ekonom Indef lainnya, Eisha M. Rachbini menyoroti pentingnya sektor ekonomi digital sebagai pengungkit baru bagi pertumbuhan ekonomi. Dia menuturkan, digitalisasi membuka ruang besar bagi kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Tahun lalu, PDB tercatat hanya 3,7 persen, sementara tahun ini diproyeksikan tumbuh menjadi 7,1 persen. Namun, Eisha juga mencatat adanya perlambatan dalam transaksi e-commerce akibat menurunnya daya beli masyarakat.
"Digitalisasi sektor keuangan dapat menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi, terutama melalui layanan fintech yang makin diminati oleh UKM dan masyarakat marginal," katanya.
Dia menambahkan, aktivitas ekonomi berbasis teknologi finansial harus didukung dengan kebijakan yang menciptakan akses modal dan mendorong pertumbuhan sektor riil.
3. Kurangnya kebijakan konkret dalam 100 hari pertama pemerintahan

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri melihat 100 hari pertama pemerintahan Prabowo masih minim kebijakan konkret dan cenderung diwarnai retorika. Selain retorika yang masif, dia menambahkan, belum ada RPJMN yang dipublikasikan secara resmi sebagai panduan kebijakan.
"Hal ini berbeda dengan pemerintahan sebelumnya di mana RPJMN sudah diumumkan di awal masa jabatan. Kejelasan arah kebijakan ekonomi sangat dinantikan oleh pelaku usaha dan akademisi," ucap Yose.
Menurutnya, kekurangan koordinasi kebijakan dan ketidakkonsistenan dalam implementasi menjadi hambatan besar. Adapun tantangan lain yang dihadapi, seperti warisan masalah ekonomi berbiaya tinggi, ketidakpastian regulasi, dan stagnasi pertumbuhan ekonomi selama satu dekade terakhir.
"Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6 persen menjadi preseden baru, namun pelaksanaannya masih dibayangi potensi politisasi dan ketidakpastian," ujarnya.
4. Indonesia hadapi era make or break

Adapun pengamat ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin memberikan pandangan mendalam mengenai kondisi fiskal yang berat. Menurutnya, Indonesia menghadapi era ‘make or break’.
Dia mengingatkan, pada 2025-2026 akan menjadi periode kritis dengan beban utang yang jatuh tempo mencapai Rp1.600 triliun. Sementara penerimaan negara menurun dan pengeluaran meningkat.
"Ini adalah tantangan besar yang membutuhkan penguatan penerimaan, efisiensi pengeluaran, dan perbaikan manajemen utang," tuturnya.
Dia juga mengingatkan pentingnya menciptakan iklim investasi yang kondusif. Ketidakpastian regulasi dan tingginya risiko pembalikan investasi portofolio (reversal) dapat melemahkan sektor moneter dan memperburuk kondisi pasar modal.
"Regulasi terkait devisa hasil ekspor (DHE) dan sumber daya alam (SDA) perlu segera diperbaiki untuk menciptakan sumber pendanaan fiskal yang berkelanjutan," ucapnya.
Meski menghadapi tantangan besar, para ekonom sepakat semangat dan visi Presiden Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029 layak diapresiasi. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia harus lebih fokus pada:
- Reformasi kebijakan ekonomi yang berbasis data kredibel.
- Koordinasi yang lebih baik antara lembaga pemerintah.
- Dukungan terhadap sektor industri dan digitalisasi untuk meningkatkan daya saing.
- Peningkatan investasi asing dengan kebijakan yang lebih kompetitif.