Akademisi UI: Rancangan Permenkes Bisa Picu PHK di Industri Tembakau

- Industri tembakau padat karya butuh perlindungan dari wacana plain packaging rokok.
- Dampak negatif kebijakan terhadap industri tembakau perlu dipertimbangkan, bisa berdampak pada PHK.
- Kebijakan harus mempertimbangkan positive dan negative externality serta tujuan pertumbuhan ekonomi Presiden Prabowo Subianto.
Jakarta, IDN Times - Wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging) yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) masih menuai polemik berkepanjangan. Kehadiran industri tembakau, termasuk sektor sigaret kretek tangan yang padat karya, dinilai perlu mendapatkan perlindungan.
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Kris Wijoyo Soepandji, melihat perlu pertimbangan dampak negatif atas berbagai kebijakan untuk industri tembakau. Salah satu yang disoroti adalah Rancangan Permenkes sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
"Rencana aturan ini bisa mengancam pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pekerja di industri tembakau yang padat karya. Padahal, pada masa pandemi lalu, pemerintah melakukan berbagai langkah tepat untuk melindungi masyarakat yang terlibat dalam sektor padat karya seraya meningkatkan pendapatan negara," tutur Kris dalam keterangan resminya, Senin (23/12/2024).
1. Pemerintah perlu keluarkan kebijakan yang melindungi perekonomian nasional

Oleh karena itu, Kris mengimbau pemerintah tetap mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang melindungi perekonomian nasional pascapandemi.
“Yang perlu kita lihat secara lebih bijaksana adalah apakah betul kebijakan itu, dalam bentuk hukum, akan bisa mendorong kemajuan, kesejahteraan masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi,” ujar dia.
Adapun dalam menentukan kebijakan yang mendorong tujuan tersebut, Kris meminta pemerintah mengeluarkan aturan sesuai tujuan pertumbuhan ekonomi Presiden Prabowo Subianto.
"Perlu adanya pelibatan publik dari berbagai sektor agar pemerintah memiliki pertimbangan yang kuat untuk mengambil keputusan yang tepat dalam mengedepankan seluruh aspek kepentingan nasional," kata Kris.
2. Tiap kebijakan mesti dilihat dari dua sisi

Selain itu, Kris menilai, suatu kebijakan harus dilihat dari sisi positive externality dan negative externality atau manfaat serta biaya yang ditimbulkan dari kegiatan ekonomi.
"Jika memang terdapat negative externality, maka pemerintah akan melakukan pengendalian dengan berbagai opsi yang tidak merugikan perekonomian nasional. Dalam hal ini, Rancangan Permenkes berisiko menggerus pendapatan negara, sedangkan visi pengendalian konsumsi rokok dalam beleid tersebut masih diragukan," tutur dia.
3. Industri tembakau bisa kewalahan akibat Rancangan Permenkes

Sebagai informasi, industri tembakau merupakan salah satu sektor yang menyerap tenaga kerja secara signifikan. Oleh karena itu, jika Rancangan Permenkes diberlakukan tanpa bisa mengatasi dampak negatif yang akan muncul, maka industri tembakau akan kewalahan sehingga bisa berdampak terhadap PHK dan mempengaruhi perekonomian negara.
"Maka dari itu, kebijakan yang dibuat pemerintah harus memastikan keberlangsungan industri-industri sebagai salah satu kontributor terbesar bagi pendapatan negara dapat tetap terjaga," kata Kris.
Upaya itu sejalan dengan tujuan pemerintahan saat ini yang memiliki visi Indonesia Emas 2045 melalui Asta Cita. Visi tersebut menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen dengan salah satu caranya membuka banyak lapangan pekerjaan.