BGN Tidaklanjuti Temuan Ombudsman soal Beras Tak Sesuai Kontrak

- Perbedaan spesifikasi dalam kontrak dan realisasi di lapangan.
- Dapur MBG menerima sayuran dalam kondisi tidak sehat.
- Banyak dapur tidak memiliki pencatatan suhu maupun sampel retained.
Jakarta, IDN Times - Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menanggapi temuan Ombudsman terkait adanya permasalahan dalam pengadaan bahan baku program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ombudsman menemukan dugaan pemalsuan kualitas beras premium di salah satu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG di Bogor, Jawa Barat.
Dadan menyatakan kasus tersebut merupakan hasil temuan dari bidang pengawasan, dan pihaknya akan menindaklanjuti temuan tersebut.
"Itu salah satu bagian dari pengawasan. Jadi, kalau ada yang seperti itu, pasti akan ditindaklanjuti melalui proses pemeriksaan," ujar Dadan di Gedung Kementerian Kesehatan, Kamis (2/10/2025).
1. Ada perbedaan spesifikasi dalam kontrak dan realisasi di lapangan

Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia menemukan sejumlah ketidaksesuaian dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), khususnya terkait pengadaan bahan baku di sejumlah dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Salah satu temuan mencolok terjadi di wilayah Bogor, Jawa Barat.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika menjelaskan pada tahap persiapan bahan, Ombudsman mencatat adanya perbedaan antara spesifikasi dalam kontrak dengan realisasi di lapangan.
“Di Bogor, misalnya, SPPG menerima beras medium dengan kadar patah di atas 15 persen, meskipun dalam kontrak tercantum bahwa beras yang disediakan adalah beras premium,” jelasnya.
2. Dapur MBG menerima sayuran dalam kondisi tidak sehat

Selain masalah beras, Ombudsman juga menemukan dapur MBG yang menerima sayuran dalam kondisi tidak segar, serta lauk-pauk yang tidak lengkap. Temuan-temuan ini diduga terjadi karena belum adanya standar Acceptance Quality Limit (AQL) yang tegas dalam proses pengadaan dan distribusi bahan makanan.
"Sehingga negara membayar dengan harga premium, sementara kualitas yang diterima anak-anak belum optimal," tegasnya.
3. Banyak dapur tidak memiliki pencatatan suhu maupun sampel retained

Temuan lainnya berkaitan dengan belum konsistennya penerapan standar Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) di sejumlah dapur produksi. Banyak dapur tidak memiliki pencatatan suhu maupun sampel retained sebagai bagian dari sistem pengendalian mutu. Padahal, kedua hal ini merupakan komponen krusial untuk memastikan keamanan makanan sebelum dikonsumsi.
Selain itu, keterlibatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang seharusnya melakukan 13 item pengawasan juga dinilai belum optimal. Penguatan peran BPOM menjadi penting untuk memastikan bahwa prosedur operasional standar (SOP) pengolahan makanan dijalankan secara disiplin.
"Fakta adanya 17 kejadian luar biasa keracunan hingga Mei 2025 menjadi pengingat bahwa prosedur operasional standar (SOP) pengolahan harus diperbaiki dan ditegakkan secara lebih disiplin. Distribusi makanan sebagai ujung dari rantai layanan masih menghadapi tantangan," ucap Yeka.