Belajar dari Kasus Klien Jouska, Cermati 5 Hal Ini Sebelum Investasi

Jakarta, IDN Times - Sempat melambung melalui media sosial, perusahaan perencana keuangan PT Jouska kini terbelit masalah. Perusahaan yang dipimpin oleh Aakar Abyasa Fidzuno malah mengelola dana klien hingga menimbulkan kerugian besar. Padahal, PT Jouska tidak memiliki izin untuk mengumpulkan dana dari masyarakat.
Lifepal lantas memberikan analisa mendalam terkait kasus tersebut. Lifepal menggunakan kasus yang dialami oleh Yakobus Alvin, salah satu klien Jouska. Yakobus bersedia diarahkan untuk berinvestasi di saham PT Sentral Mitra Informatika Tbk (LUCK). Padahal, saham itu sudah pernah kena suspend sebanyak tiga kali.
Berikut hasil analisa Lifepal:
1. Penasihat keuangan tidak diperkenankan mengelola dana klien

Sebagai perencana keuangan, cakupan layanan yang diberikan adalah mengembangkan rencana keuangan dan mempresentasikannya kepada klien sebagai rekomendasi. Rekomendasi yang diberikan dapat berupa laporan keuangan, simulasi tujuan keuangan, saran untuk menabung, saran membeli asuransi, saran berinvestasi, dan lainnya.
Perencana keuangan seharusnya tidak mengelola dana klien dan memiliki akses langsung untuk jual beli saham di rekening dana nasabah. Sementara itu pihak yang bisa mengelola dana nasabah harus mengantongi izin sebagai manajer investasi (MI).
Tujuan dan kondisi keuangan dapat berubah sewaktu-waktu. Oleh karena itu, penting untuk memiliki kontrol atas keputusan finansial kita.
Sebagai klien perencana keuangan, kita seharusnya menggunakan kesempatan ini untuk belajar dengan panduan dari perencana keuangan. Namun, keputusan finansial apapun tetap dilakukan secara mandiri tanpa paksaan atau kendali dari pihak mana pun.
2. Seharusnya investor melakukan diversifikasi dalam berinvestasi

Terlepas dari pengelolaan transaksi saham, perencana keuangan seharusnya mengerti dengan baik konsep diversifikasi portofolio investasi. Artinya, kita harus menyebar investasi pada beberapa instrumen investasi atau saham agar mengurangi risiko kerugian yang disebabkan saham atau perusahaan tertentu. Oleh karena itu, investor biasanya menyebar investasi mereka ke lima hingga 15 perusahaan.
Kita tidak pernah tahu bagaimana berbagai faktor eksternal maupun internal dapat mempengaruhi performa dan harga saham sebuah perusahaan. Sebab, perubahan kebijakan pemerintah, bencana alam, wabah, pandemik, keputusan manajemen, dan berbagai faktor lainnya dapat meningkatkan atau menurunkan nilai saham secara drastis.
Melihat dari kasus Yakobus Alvin, diketahui bahwa sebesar 73, 3 persen dari total portofolio diinvestasikan pada satu perusahaan saja. Hal ini tentunya bukan hal yang tepat untuk dilakukan, karena memiliki risiko yang sangat besar.
3. Jangan membeli saham saat harganya terlalu mahal

Perencana keuangan seharusnya mampu memberikan saran untuk membeli saham dengan harga yang tepat. Ada berbagai cara untuk menentukan harga saham yang layak, namun untuk mempermudah penjelasan pada artikel ini, penulis hanya akan menunjukkan bahwa rekomendasi untuk membeli saham LUCK pada harga Rp1.457,84 per-lembar saham dapat dikategorikan sebagai overpriced alias kemahalan.
Untuk memperkuat analisis tersebut, Lifepal membandingkan price earning ratio dan price book value ratio dari PT Sentral Mitra Informatika Tbk (LUCK) dengan 3 emiten lain, yaitu PT Astra Graphia Tbk (ASGR), PT Metrodata Electronics Tbk (MTDL), dan PT Multipolar Technology Tbk (MLPT) pada tanggal yang sama.
Dalam kasus ini, tidak disebutkan tanggal pasti dilakukannya pembelian saham LUCK oleh Alvin atau pihak yang bertindak untuk Alvin. Namun, berdasarkan harga yang disebutkan, patut diduga pembelian dilakukan pada tanggal 14 Juni 2019.
Rasio pertama yang biasanya digunakan adalah Price Earning Ratio (PER). Investor dapat melihat pendapatan bersih perusahaan jika dibandingkan dengan harga saham dan jumlah saham yang beredar.
Dengan pendapatan bersih sebesar Rp5,3 miliar, LUCK di harga Rp1.458 memiliki PER sebesar 137.5 kali dari pendapatan per lembar sahamnya. Sementara itu, tiga emiten pada industri yang sejenis hanya memiliki PER belasan saja, walaupun telah memiliki pangsa pasar yang lebih besar.
Rasio kedua yang digunakan adalah Price Book Value Ratio (PBV). Rasio ini didapat dengan membagi harga per lembar saham dengan nilai buku atau ekuitas dari emiten per lembar saham. Ekuitas adalah total aset perusahaan dikurangi dengan semua utang perusahaan. Artinya, jika dalam kasus terburuk perusahaan bangkrut dan dilikuidasi, pemegang saham akan dibagikan nilai buku dari perusahaan.
Semakin rendah PBV suatu perusahaan, maka sahamnya dikategorikan murah atau undervalued. Biasanya, PBV > 2 sudah termasuk sangat overpriced. Dalam kasus ini, LUCK di harga Rp1.458 memiliki PBV sebesar 8 kali dari nilai buku dari perusahaan, sedangkan emiten sejenis lainnya memiliki PBV hanya 1,1 kali hingga 1,6 kali dari nilai buku perusahaan.
4. Kapasitas dan toleransi risiko investor seharusnya dijadikan pertimbangan

Setiap orang memiliki tingkat kapasitas risiko yang berbeda, karena bisa saja dana investasi itu dibutuhkan untuk tujuan finansial tertentu. Tujuan finansial dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan jangka waktu. Pertama, untuk tujuan keuangan jangka pendek biasanya akan dicapai dalam 1-2 tahun. Kedua, jangka menengah biasanya untuk jangka waktu 2-5 tahun, dan ketiga, tujuan jangka panjang biasanya akan dicapai dalam jangka waktu lebih dari 5 tahun.
Penempatan investasinya tentu akan disesuaikan dengan jangka waktunya. Untuk tujuan keuangan jangka pendek biasanya ditempatkan di instrumen berisiko rendah seperti deposito atau obligasi negara, sedangkan untuk tujuan jangka panjang dapat ditempatkan pada instrumen dengan keuntungan besar dan risiko besar seperti saham.
Dalam berinvestasi, investor juga tentunya memiliki batas toleransi tentu dalam menghadapi kerugian. Investor seharusnya memiliki pilihan untuk cut-loss, artinya menghentikan kerugian pada batasan tertentu. Bila dianggap batas toleransi atau kapasitas adalah 20 persen, investor memiliki pilihan untuk melepas investasi saham di situasi merugi. Hal ini tentunya dengan merujuk pada pertimbangan matang lainnya.
Hal ini sayangnya tidak tercermin dengan baik dalam kasus ini, karena kerugian dibiarkan berlanjut hingga minus 72 persen, bahkan mungkin lebih bila dibandingkan dengan saldo awal investasi.
5. Waspada ketika berinvestasi di saham dengan volume kecil

Hal lain yang menjadi pertimbangan berikutnya adalah likuiditas atau volume transaksi. Ketika berinvestasi, salah satu aspek yang diperhatikan adalah seberapa besar volume transaksi jual-beli lembar saham yang bisa ditransaksikan di dalam kurun waktu tertentu.
Volume transaksi yang kecil dapat mengakibatkan fluktuasi nilai yang sangat besar. Nilai saham dapat meningkat atau menurun sangat drastis dengan angka transaksi yang kecil. Dalam kasus saham LUCK, sayangnya menurun dengan sangat drastis.
Pada tanggal 9 Agustus 2019, hanya dengan volume transaksi sebesar Rp21.817.600, harga saham LUCK menurun sebesar -21.9 persen dari Rp1.895 per-lembar saham menjadi Rp1.480 per-lembar saham.
Jika investor lain memutuskan untuk menjual, namun tidak banyak yang ingin membeli, harga akan terus turun sebagaimana hukum ekonomi. Hal inilah yang terjadi pada tanggal 30 Oktober 2019 hingga 15 November 2019 di mana harga saham LUCK turun -65.47 persen dari harga Rp1.425 per-lembar hingga Rp492 per-lembar saham. Padahal, dalam kurun waktu tersebut, total volume transaksi yang terjadi hanya sebesar Rp45.551.300 saja.
Dalam kasus Alvin, untuk melepas semua kepemilikan saham LUCK dapat berisiko menurunkan nilai saham per-lembar secara signifikan. Keputusan investasi yang salah sejak awal dapat menciptakan kondisi terpojok untuk investor. Oleh karena itu, kita harus mengenali dengan baik model bisnis, prospek pertumbuhan, kesehatan keuangan, dan harga yang tepat dari saham yang ingin kita beli.