Apa Itu Negara Fragile Five? Indonesia Sempat Masuk

- Indonesia dan India berhasil keluar dari Fragile Five setelah satu dekade, menjadi favorit investor asing.
- Fragile Five merujuk pada negara berkembang bergantung pada investasi asing, dengan ciri-ciri tertentu seperti gaji rendah dan inflasi tinggi.
Jakarta, IDN Times - Istilah Fragile Five pertama kali diperkenalkan oleh analis keuangan dari Morgan Stanley, James Lord pada 2013. Ada lima negara yang menjadi bagian dalam Fragile Five saat pertama kali istilah itu dicetuskan.
Kelima negara tersebut, yakni India, Indonesia, Brazil, Turki, dan Afrika Selatan. Namun satu dekade setelah itu, India dan Indonesia berhasil keluar dari Fragile Five. Bahkan, menjadi dua negara favorit investor asing.
1. Apa itu negara Fragile Five?

Dikutip dari Economics Times, Fragile Five merujuk pada negara-negara berkembang yang dianggap paling berisiko karena sangat bergantung pada investasi asing untuk mendorong pertumbuhan ekonominya.
Melansir The Balance Money, kelompok negara yang membentuk Fragile Five telah berubah seiring waktu, tetapi semuanya memiliki ciri-ciri tertentu yang serupa, seperti gaji tenaga kerja yang rendah; kelas menengah yang berkembang; tingginya perdagangan global, utang dan inflasi; dan mata uang yang tidak stabil.
Ketika Morgan Stanley pertama kali memilih negara-negara yang masuk dalam Fragile Five pada 2013, hal itu dilakukan sebagai respons terhadap pemulihan ekonomi global. Morgan Stanley tersebut menilai negara berkembang menurut enam faktor, yakni:
- Saldo akun berjalan
- Rasio cadangan devisa terhadap utang luar negeri
- Kepemilikan asing atas obligasi pemerintah
- Utang dalam mata uang dolar AS
- Inflasi
- Diferensial suku bunga riil
Berdasarkan ciri-ciri dan faktor tersebut, Morgan Stanley menyebut India, Indonesia, Brazil, Turki, dan Afrika Selatan sebagai negara Fragile Five pada 2013.
2. Indonesia dan India keluar dari Fragile Five

Indonesia dan India berhasil keluar dari Fragile Five satu dekade setelah istilah itu diciptakan. Menurut manajer investasi Fidelity International, Robeco Group, dan abrdn, hal itu karena membaiknya prospek obligasi dan mata uang Indonesia dan India setelah program reformasi dan pengendalian fiskal yang dijalankan sukses. Bahkan, pemilihan umum (pemilu) di dua negara ini tidak membuat investor takut.
Perbaikan kondisi keuangan, yang tercermin dalam credit-default swaps (CDS) menunjukkan pandangan pasar terhadap Indonesia dan India telah berubah hampir 180 derajat sejak istilah itu diciptakan.
"Baik India maupun Indonesia memiliki fundamental jangka pendek dan jangka panjang yang kuat," kata Kitty Yang, analis di Fidelity International di London.
Dia menjelaskan, pertumbuhan didukung oleh reformasi positif dan berkelanjutan selama 10 tahun terakhir di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Modi di India dan Presiden ke-7 RI Joko "Jokowi" Widodo.
CDS lima tahun India telah turun dari puncaknya pada 2013, yang mencerminkan peningkatan kualitas kredit negara tersebut. CDS dengan jatuh tempo yang sama pada utang Indonesia juga turun dalam periode yang sama. Sebaliknya, CDS Turki meningkat.
3. Indonesia miliki prospek positif dalam jangka panjang

Indonesia telah mengambil langkah besar dalam meningkatkan kondisi keuangannya. Setelah sempat melampaui ambang batas defisit fiskal sebesar 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2020 dan 2021 karena pengeluaran terkait Covid-19, pemerintah Indonesia berhasil mempersempitnya menjadi 2,38 persen pada 2022, satu tahun lebih awal dari yang diproyeksikan.
Kesenjangan fiskal menyusut menjadi 1,65 persen pada 2023, di bawah proyeksi revisi sebesar 2,28 persen yang dibuat pada Juli tahun itu.
Managing Director Pacific Investment Management Co di Hong Kong, Stephen Chang mengatakan, Indonesia sangat disiplin dalam menjaga defisit fiskalnya di bawah ambang batas 3 persen, dengan pengecualian selama beberapa tahun selama Covid.
"Bahkan dengan pemerintahan baru, menurut kami beberapa kebijakan ekonomi ini akan terus berlanjut," ujarnya.
Asia Sovereign Strategist di Robeco Group, Philip McNicholas menambahkan, Indonesia dan India memiliki prospek pertumbuhan ekonomi yang tetap positif.
"Kedua negara memiliki prospek ekonomi jangka panjang yang menguntungkan. Masih banyak peluang yang dapat diraih, yang menawarkan ruang lingkup untuk meningkatkan prospek pertumbuhan lebih lanjut," ujarnya.