Dituding Terlibat Bisnis PCR, Luhut Tak Ingat Punya Saham di GSI

Jakarta, IDN Times - Ketika mendengar kabar dugaan keterlibatan di bisnis PCR PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengaku tak ingat akan kepemilikan PT Toba Sjahtera di PT GSI.
Pengakuan itu disampaikan oleh anak buah Luhut, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto.
"Jujur ketika Jodi (Jubir Pak Luhut) mengirimkan Whatsapp pertanyaan dari Tempo mengenai keterkaitan GSI dan Pak Luhut, saya laporkan mengenai hal ini ke Pak Luhut. Beliau sempat tanya ke saya, 'memangnya Toba Sjahtera punya saham di GSI, To?'. Beliau tidak ingat rupanya. Saya menjelaskan kronologis yang saya ingat waktu itu. Pak Luhut lalu meminta saya dan Jodi menjelaskan kepada Tempo sesuai dengan fakta yang ada," kata Septian dalam keterangan resminya, Senin (8/11/2021).
1. Tujuan mendirikan GSI

Sebelum mendirikan GSI, Luhut sudah berdonasi untuk pengadaan alat tes PCR. Kemudian, Luhut terlibat dalam pendirian GSI melalui partisipasi PT Toba Sejahtra. PT Toba Sejahtra punya 242 lembar saham senilai Rp242 juta di GSI.
Selain PT Toba Sejahtra, PT Toba Bumi Energi juga memiliki 242 lembar saham senilai Rp242 juta di PT GSI. PT Toba Bumi Energi sendiri merupakan anak perusahaan dari PT TBS Energi Utama Tbk yang terafiliasi dengan Luhut.
Septian mengaku, dia yang mengusulkan agar Luhut ikut mendirikan GSI bersama rekan-rekan Luhut. Adapun tujuan pendirian GSI ialah meningkatkan kapasitas tes PCR di Indonesia, serta mengadakan fasilitas genome sequencing (untuk memeta penyebaran mutasi COVID-19).
"Bantuan yang sifatnya donasi sudah dilakukan Pak Luhut dan teman-temannya melalui donasi alat PCR, ekstraksi RNA, reagen dan beberapa alat lab lainnya ke fakultas kedokteran. Namun, karena sifatnya donasi, yah kita hanya bisa membantu sesuai dengan dana donasi yang dikumpulkan. Setelah itu harus mandiri," ucap Septian.
2. GSI diklaim bergerak untuk tujuan sosial

Sebelumnya, Juru Bicara Kemenko Marves, Jodi Mahardi mengatakan tujuan utama pendirian GSI adalah gerakan sosial dalam penanganan pandemik COVID-19. Hal itu pun kembali dipertegas oleh Septian.
"GSI didirikan dengan semangat solidaritas untuk membantu penanganan pandemik. Sifatnya lebih social entrepreneurship. Jadi keuntungan yang diperoleh GSI digunakan kembali untuk tujuan sosial, seperti memberikan PCR gratis untuk yang tidak mampu, nakes, ataupun orang-orang yang di Wisma Atlet," kata Septian.
Selain itu, menurutnya GSI juga membantu Kemenkes untuk melakukan genome sequencing secara gratis untuk mendeteksi varian Delta. "Model ini lebih sustainable karena tidak mengandalkan donasi," ujar dia.
3. Luhut tak terlibat penetapan harga PCR

Septian membeberkan ada potensi penilaian conflict of interest antara jabatan Luhut sebagai Koordinator PPKM Jawa-Bali, dengan partisipasi PT Toba Sejahtra di GSI.
Jabatan Luhut sebagai Koordinator PPKM Jawa-Bali ini membuatnya terlibat dalam penetapan syarat PCR di moda transportasi. Namun, meski GSI menyediakan layanan PCR mandiri, dia memastikan syarat perjalanan itu diputuskan sesuai analisis perkembangan mobilitas masyarakat, bukan demi menguntungkan bisnis PCR GSI.
"Tidak ada sedikit pun keraguan dalam hati saya terkait hal ini. Tidak ada satupun keputusan yang diambil oleh Pak Luhut yang kami usulkan, karena mengedepankan kepentingan GSI, termasuk usulan mengenai PCR untuk penumpang pesawat," sambung dia.
Di sisi lain, dia mengatakan Luhut tak pernah ikut menetapkan harga PCR, dan semuanya merupakan keputusan Kemenkes.
"Menurut saya tidak bisa dibandingkan situasi saat ini dan situasi pada awal-awal pandemi, bagaimana susahnya mencari alat PCR, ekstraksi RNA, reagen, sampai harus rebutan dengan negara lain. Saat ini kondisi suplainya jauh lebih baik supply-nya, sehingga ketersediaan alat dan reagen lebih banyak dan lebih murah. Selain itu, terkait harga PCR, hal tersebut bukan wewenang Pak Luhut dalam memutuskan," ujar Septian.
Dia mengatakan evaluasi dilakukan secara berkala oleh Kemenkes dan BPKP. Semuanya melalui proses pemeriksaan di BPK untuk kemudian memberikan masukan kepada Kemenkes lalu kemudian diputuskan.