Gelombang PHK Masih Melanda 2025, KSPI Soroti Daya Beli hingga Impor

- Regulasi dinilai memberatkan industri padat karya
- Relokasi perusahaan asing perparah PHK
- Kenaikan upah belum dorong daya beli
Jakarta, IDN Times - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih berlanjut hingga 2025, dipicu oleh melemahnya daya beli masyarakat.
Menurunnya kemampuan belanja, terutama di kalangan kelas menengah dan bawah, berdampak langsung pada turunnya produksi barang karena permintaan pasar ikut menyusut.
"Nah, produksi barang menurun, mau gak mau perusahaan melakukan rasionalisasi atau PHK. Ada yang tutup, ada juga yang mengurangi jumlah karyawan," katanya kepada IDN Times, Rabu (24/12/2025).
1. Regulasi dinilai memberatkan industri padat karya

Selain faktor daya beli, KSPI menyoroti regulasi pemerintah yang dinilai memperberat dunia usaha, khususnya di sektor padat karya seperti tekstil, garmen, makanan, dan minuman.
Salah satu kebijakan yang disinggung adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2021, yang sebelumnya membuka arus impor tekstil dan garmen dalam jumlah besar.
"Itu kan juga menyulitkan pengusaha karena impor China gila-gilaan kan, tekstil dan garmen. Sekarang tapi udah diperbaiki, sekarang udah diperbaiki," ujar Said Iqbal.
KSPI mencatat tingginya impor berdampak pada melemahnya produksi domestik, sehingga sejumlah pabrik tidak mampu bertahan dan memilih tutup.
2. Relokasi perusahaan asing perparah PHK
.jpg)
Selain itu, faktor prinsipal atau pemilik perusahaan asing turut memicu gelombang PHK, seiring kondisi ekonomi di negara asal mereka yang memburuk.
Situasi tersebut membuat sebagian perusahaan menarik kembali operasionalnya dari Indonesia ke negara asal, seperti Jepang, yang berdampak pada berkurangnya tenaga kerja di dalam negeri.
"Di negaranya juga kan lagi susah ekonominya. Maka dia menarik kembali perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia maupun di negara-negara berkembang lain ke negara asalnya," katanya.
3. Kenaikan upah belum dorong daya beli

Di sisi lain, persoalan upah turut disebut menjadi faktor tambahan. Kebijakan kenaikan upah tunggal sebesar 6,5 persen pada tahun lalu dinilai memberi ruang perbaikan bagi buruh, terutama bagi yang upahnya stagnan bertahun-tahun.
Namun, kenaikan tersebut disebut belum cukup kuat untuk mendorong daya beli masyarakat secara signifikan, sehingga dampaknya terhadap konsumsi dan produksi masih terbatas.
"Dengan kenaikan 6,5 persen dari Pak Prabowo sangat membuat posisi buruh agak menguntungkan juga. Cuma belum ngedongkrak daya beli. Itu jadi persoalan," tutur Said Iqbal.


.jpg)
















