Harga dan Saham Kobalt di China Melejit Usai Kongo Perpanjang Larangan Ekspor

- Harga kobalt dan saham perusahaan terkait di China melonjak tajam setelah Republik Demokratik Kongo (DRC) memperpanjang larangan ekspor kobalt hingga September 2025.
- Dampak langsung ke pasar China, harga kobalt di bursa berjangka China melonjak lebih dari 9 persen pada Senin (23/6/2025), dipicu kekhawatiran kelangkaan pasokan.
- Alasan perpanjangan larangan, Otoritas regulasi mineral strategis Kongo, ARECOMS, mengumumkan perpanjangan larangan selama tiga bulan untuk menstabilkan pasar.
Jakarta, IDN Times - Harga kobalt dan saham perusahaan terkait di China melonjak tajam setelah Republik Demokratik Kongo (DRC) memperpanjang larangan ekspor kobalt hingga September 2025. Keputusan yang diumumkan akhir pekan lalu ini memperpanjang kebijakan yang berlaku sejak 22 Februari 2025 untuk mengurangi kelebihan pasokan global.
Sebagai produsen sekitar 70 persen kobalt dunia, larangan dari Kongo memperketat pasokan logam penting untuk baterai kendaraan listrik dan paduan logam. Ini mendorong lonjakan harga dan memicu perhatian pelaku pasar global, terutama di China, konsumen kobalt terbesar dunia.
1. Dampak langsung ke pasar China
Harga kobalt di bursa berjangka China melonjak lebih dari 9 persen pada Senin (23/6/2025), dipicu kekhawatiran kelangkaan pasokan. Saham Nanjing Hanrui Cobalt Co. naik 17 persen di Shenzhen, sedangkan Zhejiang Huayou Cobalt Co. menguat 7,8 persen. Namun, saham CMOC Group Ltd., produsen kobalt terbesar di Kongo, justru turun 2 persen di Hong Kong karena produksi mereka terganggu larangan.
Sejak larangan pertama kali diberlakukan Februari lalu, harga kobalt telah naik lebih dari 50 persen, dari 10 dolar Amerika Serikat (AS) (Rp164,8 ribu) menjadi sekitar 16 dolar AS (Rp263,7 ribu) per pon.
“Larangan ini menciptakan ketidakpastian besar di rantai pasokan dan mendorong spekulasi harga di Tiongkok,” kata analis komoditas Shanghai Metals Market, Shirley Wang, dikutip dari Reuters.
Meski pasokan jangka pendek dinilai aman, ketimpangan terjadi di tingkat pengguna.
“Pengguna besar masih memiliki cadangan cukup, tetapi pelaku kecil terpaksa membeli di pasar spot dengan harga lebih tinggi,” tambah Wang.
2. Alasan perpanjangan larangan
Otoritas regulasi mineral strategis Kongo, ARECOMS, mengumumkan perpanjangan larangan selama tiga bulan untuk menstabilkan pasar. Langkah ini diambil menyusul kejatuhan harga ke level terendah sembilan tahun pada Februari lalu.
“Tujuannya adalah mengatur pasokan di pasar internasional yang kelebihan produksi,” kata Presiden ARECOMS, Patrick Luabeya, dikutip dari Bloomberg.
Langkah ini menuai reaksi beragam dari industri. Glencore mendukung usulan kuota ekspor, sementara CMOC Group menolaknya. “Kami membutuhkan pasar yang sehat, bukan pembatasan yang merugikan produksi,” ujar juru bicara CMOC, Vincent Zhou, dikutip dari Reuters.
Pemerintah Kongo juga tengah mempertimbangkan sistem kuota ekspor sebagai solusi jangka panjang.
“Kami membutuhkan waktu untuk menyusun mekanisme yang tepat,” ungkap seorang pejabat Kongo, yang enggan disebutkan namanya.
3. Dampak global dan ancaman perubahan teknologi
Larangan ekspor Kongo mengguncang rantai pasokan global, terutama bagi industri kendaraan listrik. Tiongkok, yang menguasai 80 persen kapasitas pemurnian kobalt dunia, menghadapi risiko serius terhadap kelangsungan pasokan.
“Keputusan Kongo menyoroti kerentanan rantai pasokan mineral penting dunia,” kata Dr. Helena Vostrikova, analis geopolitik sumber daya, dikutip dari Discoveryalert.
Di tengah ketegangan, CMOC Group memperingatkan bahwa pembatasan berkepanjangan bisa mempercepat transisi ke baterai lithium iron phosphate (LFP) yang tidak bergantung pada kobalt.
“Jika ekspor terus dibatasi, industri mungkin beralih ke alternatif,” kata Wakil Presiden CMOC, Kenny Ives. Pejabat Kongo menilai pernyataan ini sebagai tekanan politik, di tengah dugaan Tiongkok menimbun cadangan strategis.
Pasar kobalt diprediksi tetap bergejolak hingga keputusan lanjutan dari Kongo pada September 2025.
“Saat ini pasar digerakkan oleh spekulasi dan ketidakpastian,” ujar seorang analis, dikutip dari Bloomberg. Sementara itu, pelaku industri di Tiongkok mulai bersiap menghadapi potensi lonjakan harga jika pasokan tidak segera membaik.