Harga Minyak AS Terjun Bebas ke Bawah 60 Dolar AS

- Harga minyak AS turun di bawah $60 per barel karena kekhawatiran resesi global dan lonjakan produksi OPEC+.
- Kebijakan tarif baru AS memicu kecemasan pasar dan peningkatan probabilitas resesi, sementara OPEC+ menaikkan produksi tiga kali lipat dari proyeksi.
Jakarta, IDN Times – Harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) jatuh ke bawah 60 dolar AS per barel pada Minggu (6/4/2025) waktu setempat, mencatat level terendah sejak April 2021. Tekanan datang dari dua arah, yakni kekhawatiran resesi global akibat tarif dagang Presiden AS Donald Trump dan kenaikan produksi mendadak dari Organisasi Nagara-Negara Pengekspor Minyak dan mitranya (OPEC+).
Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) ambles lebih dari 3 persen ke posisi 59,78 dolar AS. Ini memperpanjang pelemahan beruntun selama sepekan, termasuk dua penurunan tajam masing-masing 6 persen yang menandai tekanan serius di pasar energi.
1. Kekhawatiran resesi menekan harga minyak

Tarif baru yang akan diberlakukan pekan ini memicu lonjakan kecemasan di pasar. Pelaku industri dan investor khawatir kebijakan itu akan memperlambat pertumbuhan, menekan konsumsi, dan pada akhirnya memangkas permintaan energi.
“Kebijakan ini kemungkinan besar akan mendorong AS dan mungkin ekonomi global masuk ke dalam resesi tahun ini,” kata Kepala Riset Komoditas Global di JPMorgan, Natasha Kaneva, seperti dikutip CNBC International, Senin (7/4).
JPMorgan langsung menaikkan probabilitas terjadinya resesi tahun ini menjadi 60 persen, dari sebelumnya 40 persen. Di pasar taruhan Kalshi, peluang resesi kini mencapai 53 persen. Kekhawatiran ini mencuat saat investor menilai bahwa rantai pasokan dan aktivitas industri akan melambat signifikan.
2. OPEC+ tambah pasokan, tekan harga semakin dalam

Sementara permintaan energi terancam lesu, pasokan justru membanjir. OPEC+ membuat kejutan dengan keputusan delapan anggotanya untuk menaikkan produksi sebesar 411 ribu barel per hari mulai bulan depan—angka yang tiga kali lipat dari proyeksi pasar.
Langkah ini dilihat sebagai sinyal kuat bahwa sebagian anggota OPEC+ siap melepas harga tinggi demi kepentingan strategi jangka panjang.
“Negara-negara yang mendorong keputusan ini mengatakan, 'Lihat, semua orang berpikir kita membutuhkan minyak seharga 90 dolar AS. Kami ingin menunjukkan kepada Anda bahwa kami tidak membutuhkan harga yang lebih tinggi. Kami siap untuk menanggung harga yang lebih rendah untuk jangka waktu tertentu,” ujar Kepala Strategi Komoditas Global di RBC Capital Markets, Helima Croft, dalam program Power Lunch di CNBC International.
Croft menjelaskan, langkah ini dipicu ketegangan internal, khususnya terhadap negara-negara yang tak patuh pada kuota produksi seperti Kazakhstan dan Iran.
3. Tekanan ganda bikin harga minyak ambrol
.jpg)
Pasar energi kini dihantam dari dua sisi: perlambatan ekonomi yang membatasi permintaan dan tambahan pasokan yang menekan harga. Kombinasi ini memicu kejatuhan cepat harga minyak dalam waktu singkat.
WTI sempat turun lebih dari 6 persen pada Jumat ke 62,72 dolar AS per barel, bahkan sempat menyentuh di bawah level 61 dolar AS. Penurunan ini menyusul kejatuhan 6,6 persen sehari sebelumnya. Brent, acuan global juga merosot 6,96 persen.
“Impor energi sebagian besar tidak terkena tarif. Tapi investor bereaksi terhadap potensi kerusakan yang dipicu kebijakan ini terhadap perdagangan global, dan dengan demikian terhadap pertumbuhan ekonomi dunia,” ujar analis pasar senior dari Trade Nation, David Morrison, dikutip dari Business Insider, Senin (6/4).
Kondisi ini mengguncang seluruh rantai nilai energi, dari konsumen kendaraan hingga industri petrokimia. Penurunan harga mungkin bisa membantu menjaga inflasi tetap terkendali, tapi efek jangka panjangnya masih belum bisa diprediksi.
4. Harga minyak murah bisa jadi pedang bermata dua

Pemerintahan Trump sebelumnya mengklaim peningkatan produksi energi dalam negeri dan pelemahan harga bisa jadi penyeimbang inflasi yang membandel. Namun di sisi lain, harga minyak yang terlalu rendah bisa menghambat investasi di sektor energi.
“Saat ini sulit untuk memprediksi arah perkembangan secara keseluruhan, tapi kami percaya bahwa untuk harga minyak, arahnya sangat jelas,” kata Kaneva dalam laporan JPMorgan.
Selain tarif dan pasokan, pasar juga mewaspadai kebijakan AS terhadap Iran dan Venezuela—dua produsen besar yang dapat mengguncang keseimbangan pasokan global sewaktu-waktu. Ketidakpastian geopolitik tetap menjadi variabel penting dalam menentukan arah harga ke depan.