Indef: Tarif Trump Tidak Punya Basis Ekonomi Jelas

- Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor dan resiprokal yang membingungkan dunia.
- AS menerapkan tarif impor 32 persen terhadap Indonesia, namun Fadhil Hasan menilai besaran tarif tidak memiliki dasar ekonomi jelas.
- Pemerintah AS menggunakan perhitungan sederhana berdasarkan defisit perdagangan dengan Indonesia untuk menetapkan tarif sebesar 64 persen.
Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, dalam beberapa hari ini telah menggegerkan dunia lewat pengumuman kebijakan tarif impor dan resiprokal yang ditujukan ke 185 negara. Lewat kebijakan tersebut, Trump mewajibkan negara-negara mitra dagang membayar lebih besar untuk biaya ekspornya ke Negeri Paman Sam.
Indonesia jadi negara yang tidak luput dari kebjakan tersebut. AS menerapkan tarif impor dan resiprokal sebesar 32 persen terhadap Indonesia.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan, menilai Trump tidak punya dasar ekonomi yang jelas dalam menetapkan besaran tarif tersebut.
"Saya juga ingin menyampaikan sesuatu yang sangat mengejutkan juga bagi semua orang ya, pengamat apapun pengambil kebijakan tentang pengenaan tarif resiprokal ini, yaitu cara mereka menentukan tarif yang dikenakan ke negara-negara yang dikenakan perhitungannya tidak memiliki satu basis ekonomi jelas," kata Fadhil dikutip Minggu (6/4/2025).
1. Tarif impor terhadap produk AS ke Indonesia tidak sampai 64 persen

Fadhil menjelaskan, hitungan tarif impor dan resiprokal sebesar 32 persen untuk Indonesia berasal dari perhitungan Pemerintah AS, menerapkan tarif sebesar 64 persen terhadap produk yang diekspor ke Indonesia.
Perhitungan Pemerintah AS itu dianggap Fadhil terlalu besar karena pada kenyataannya tarif yang diterapkan Indonesia justru kurang dari 10 persen.
"Padahal, kalau kita lihat, yang sebenarnya level tarif Indonesia itu sebenarnya tidak sampai 64 persen terhadap produk Amerika. Itu mungkin kira-kira delapan atau sembilan persen," ujar dia.
2. Perhitungan yang dilakukan oleh Pemerintah AS

Lantas, bagaimana Pemerintah AS mendapatkan hitungan dengan angka 64 persen tersebut? Menurut Fadhil, hitungan yang dilakukan Pemerintah AS sebenarnya sederhana, yakni melalui jumlah defisit AS dalam perdagangan dengan Indonesia.
Fadhil menjelaskan, defisit perdagangan AS dengan Indonesia adalah sebesar 16,8 miliar dolar AS. Dengan begitu, Indonesia memperoleh surplus perdagangan sebesar angka tersebut pula.
Kemudian, Pemerintah AS melakukan pembagian defisit tersebut dengan total impor AS dari Indonesia yang jumlahnya kurang lebih 28 miliar dolar AS.
"Jadi mereka menghitung, kemudian tarif yang dikenakan oleh Pemerintah Indonesia terhadap produk Amerika itu adalah 16,8 miliar (dolar AS) dibagi dengan 28 sekian miliar, maka ketemulah 64 persen. Kemudian, dianggap sebagai tarif yang dikenakan oleh Pemerintah Indonesia kepada produk Amerika," ujar Fadhil.
3. Besaran tarif resiprokal tergantung surplus perdagangan

Melalui perhitungan tersebut maka negara yang surplus-nya besar dalam perdagangan dengan AS dikenakan tarif resiprokal besar juga.
Tak heran jika Fadhil dan juga ekonom seluruh dunia sepakat perhitungan yang dilakukan Trump dan jajarannya sangat membingungkan dan tidak punya argumen jelas.
"Tapi, itulah yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika dan berlaku untuk semua negara. Jadi semakin besar surplus yang diperoleh oleh negara tersebut ya itu kemudian maka resiprokal tarif yang dikenakan oleh Pemerintah Amerika itu juga semakin tinggi," kata Fadhil.