Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Tarif Dagang Trump Picu Polemik karena Mirip Rumusan AI

Aplikasi DeepSeek dan ChatGPT (pexels.com/Saradasish Pradhan)
Intinya sih...
  • Pemerintahan Donald Trump menerapkan "Liberation Day Tariffs" dengan rumus tarif yang mirip dengan ChatGPT dan Gemini.
  • Rumus tarif dasar sebesar 10 persen dikenakan atas semua impor ke Amerika Serikat, memicu kekhawatiran luas dari pelaku pasar dan para pemimpin dunia.
  • Analisis oleh ekonom menunjukkan bahwa rumus tersebut terlalu sederhana dan berpotensi menyesatkan, serta tidak efektif untuk menyeimbangkan neraca dagang.

Jakarta, IDN Times – Pemerintahan Donald Trump kembali menggegerkan pasar global lewat kebijakan tarif baru yang dijuluki “Liberation Day Tariffs.” Langkah ini langsung memicu kritik karena rumus tarif yang digunakan dinilai terlalu mirip dengan rumus buatan chatbot AI seperti ChatGPT.

Tarif dasar sebesar 10 persen dikenakan atas semua impor ke Amerika Serikat (AS), termasuk dari negara-negara sekutu dan kawasan non-ekonomi aktif. Tarif lebih tinggi diterapkan untuk negara dengan surplus perdagangan besar terhadap AS. Formula yang dirilis Gedung Putih membuat banyak analis curiga, terutama karena hasil perhitungannya serupa dengan saran dari berbagai chatbot AI.

1. Gedung Putih menggunakan rumus sederhana dalam menentukan tarif

Gedung Putih menjelaskan bahwa tarif ditentukan dengan membagi defisit perdagangan AS dengan suatu negara terhadap total impor AS dari negara tersebut. Hasilnya dijadikan persentase tarif. Jika angka tersebut kurang dari 10 persen, maka tarif minimum tetap dikenakan.

Namun, beberapa pengamat menyadari bahwa jika pertanyaan serupa diajukan ke ChatGPT, hasilnya akan sangat mirip. Kecurigaan makin kuat karena rumus ini juga diberikan oleh chatbot lain seperti Gemini, Claude, dan Grok ketika diminta memberikan solusi sederhana untuk mengatasi defisit perdagangan bilateral.

“Aku rasa mereka meminta ChatGPT menghitung tarif dari negara lain, itulah kenapa tarif-tarif ini sama sekali tidak masuk akal,” kata komentator politik Steve Bonnell di X, dikutip dari Newsweek, Sabtu (5/4/2025).

Bonnell menyatakan bahwa pemerintah hanya membagi defisit perdagangan AS dengan negara tertentu terhadap nilai impor dari negara tersebut, atau menggunakan angka 10 persen—mana yang lebih besar.

2. Para ekonom dan jurnalis menyebut rumus ini terlalu dangkal

Penjelasan dari Gedung Putih tak menghentikan kritik dari kalangan ahli ekonomi. James Surowiecki menjadi salah satu tokoh pertama yang membongkar metode di balik tarif ini. Ia menyebut pendekatan tersebut terlalu sederhana dan berpotensi menyesatkan.

“Aku baru saja menyadari dari mana asal tarif palsu ini. Mereka sebenarnya tidak menghitung tarif dan hambatan non-tarif, seperti yang mereka klaim. Sebaliknya, untuk setiap negara, mereka hanya mengambil defisit perdagangan kita dengan negara tersebut dan membaginya dengan ekspor negara itu ke kita,” tulis Surowiecki di media sosial.

Ia menambahkan bahwa tarif yang disebut-sebut dikenakan oleh negara lain kepada AS tidak sesuai kenyataan. Menurutnya, tarif 50 persen dari Korea Selatan atau 39 persen dari Uni Eropa terhadap ekspor AS hanyalah angka fiktif.

Ekonom Rohit Krishnan turut menguji metode ini menggunakan berbagai large language model seperti Gemini 2.5, Claude 3.7, Grok, dan GPT-4o. Ia menemukan bahwa seluruh chatbot tersebut memberikan rumus yang sama ketika diminta merancang kebijakan tarif yang seimbang secara bilateral.

“Ini mungkin aplikasi teknologi AI berskala besar pertama dalam geopolitik. 4o, o3 high, Gemini 2.5 pro, Claude 3.7, Grok semuanya memberikan jawaban yang sama atas pertanyaan tentang cara sederhana memberlakukan tarif,” tulis Krishnan.

3. Kebijakan ini memicu reaksi internasional dan kekhawatiran pasar

Langkah Gedung Putih langsung memicu kekhawatiran luas dari pelaku pasar dan para pemimpin dunia. Negara-negara mitra dagang AS mulai menyusun langkah balasan yang dijadwalkan akan berlaku antara 5 hingga 9 April 2025.

The Verge melaporkan bahwa kebijakan ini disampaikan Trump sambil memegang papan besar bertuliskan “Reciprocal Tariffs.” Banyak pihak menganggap tindakan itu tidak lebih dari teatrikal politik karena angka tarif yang disampaikan tidak sesuai dengan data resmi dari mitra dagang.

Sementara itu, Gemini memberikan catatan panjang terkait kelemahan rumus ini.

“Meskipun perhitungan ini tampak seperti cara yang lugas untuk menargetkan defisit perdagangan bilateral, implikasi ekonomi di dunia nyata jauh lebih kompleks dan bisa menyebabkan konsekuensi negatif yang besar,” demikian peringatan dari sistem AI Gemini, dikutip dari The Verge, Sabtu (5/4).

Sistem tersebut menambahkan bahwa banyak ekonom menilai tarif bukanlah alat efektif untuk menyeimbangkan neraca dagang, karena dampak jangka panjang terhadap harga dan rantai pasok global bisa sangat merugikan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us