Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Jenis Sertifikat Tanah, Kenali Sebelum Membeli Rumah

Ilustrasi sertifikat tanah. (IDN Times/Istimewa)

Jakarta, IDN Times - Ketika ingin membeli sebuah rumah, tentu ada beberapa hal yang menjadi perhatian seperti harga, luas bangunan, hingga lokasi rumah tersebut. Di samping ketiga hal tersebut, ada hal lain yang juga harus diperhatikan saat jual beli rumah, yaitu legalitas.

Legalitas suatu lahan atau bangunan biasanya ditunjukkan dari sertifikat tanah yang dimiliki. Sertifikat tanah atau properti terdiri dari beberapa jenis yang legalitasnya di mata hukum berbeda-beda.

Berikut beberapa jenis sertifikat tanah yang perlu kamu ketahui untuk menghindari terjadinya masalah di masa depan.

1. Sertifikat Hak Milik (SHM)

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah dokumen yang menunjukkan kepemilikan sah dan penuh atas lahan dan/atau sebidang tanah yang dimiliki pemegang sertifikat. Sertifikat ini memiliki kedudukan paling kuat di mata hukum serta dapat dialihkan (dijual, dihibah, atau diwariskan) secara turun temurun.

SHM tidak memiliki batas waktu dan hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Pemilik SHM dapat mengelola dan memanfaatkan tanah tersebut sesuai keinginannya.

Bila terjadi sengketa lahan, pemilik SHM berhak atas tanah/lahan yang disengketakan. Selain itu, SHM juga bisa dijadikan sebagai jaminan saat mengajukan pinjaman ke bank. Namun, kepemilikan SHM bisa hilang jika Tanahnya jatuh kepada Negara karena satu dan lain hal atau tanahnya musnah (misal karena bencana alam seperti longsor).

2. Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB)

ilustrasi dokumen-dokumen kertas yang berantakan (unsplash.com/andrewilliam)

SHGB adalah sebuah sertifikat yang diberikan kepada seseorang untuk membangun bangun di tanah yang bukan miliknya. Tanah tersebut dapat berupa tanah yang dimiliki oleh pemerintah ataupun tanah yang dimiliki perseorangan, atau badan hukum.

Umumnya SHGB memiliki jangka waktu paling lama 30 tahun. Meski begitu, SHGB masih dapat diperpanjang hingga 20 tahun ke depan.

Biasanya lahan dengan status SHGB dimanfaatkan developer untuk membangun apartment atau perumahan. Selain dimiliki oleh WNI, SHGB juga bisa dimiliki oleh Warga Negara Asing (WNA).

Salah satu keuntungan memiliki SHGB, yakni tidak membutuhkan biaya besar dan peluang usaha lebih terbuka.

Meski begitu, SHGB akan dinyatakan tidak berlaku, bila:

  • Jangka waktunya sudah berakhir
  • Dihentikan sebelum jangka waktu terakhir karena tidak terpenuhinya syarat
  • Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir.
  • Dicabut untuk kepentingan umum
  • Ditelantarkan
  • Tanahnya musnah .

3. Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU)

Presiden Joko Widodo berpidato saat penyerahan 3.800 sertifikat tanah untuk warga di Banyuurip, Purworejo, Jawa Tengah, Kamis (29/8/2019). (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Sertifikat yang satu ini diberikan pemerintah kepada individu maupun badan usaha untuk mengelola lahan dengan tujuan tertentu, misalnya peternakan, perikanan, dan sebagainya.

Perlu diingat, status lahan SHGU adalah milik negara. Individu atau badan usaha dapat mengelola lahan SHGU minimal 5 hektar dan maksimal 25 hektare.

SHGU memiliki jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun. Disamping itu, SHGU dapat dipindahtangankan dengan proses pemindahtanganan paling lambat dilakukan 2 tahun sebelum masa pemanfaatan lahan habis.

4. Sertifikat hak pakai

Ilustrasi dokumen. (IDN Times/Arief Rahmat)

Dikutip dari Eticon, Sertifikat ini digunakan untuk menunjukkan hak atas penggunaan lahan milik negara. Selain milik negara, bisa juga milik pihak lain kepada pihak kedua melalui sebuah perjanjian.

Sertifikat hak pakai memiliki sedikit kemiripan dengan sewa menyewa. Namun, keduanya memiliki perbedaan dari segi jangka waktunya.

Sertifikat hak pakai memiliki jangka waktu penggunaan tertentu dan tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur pemerasan.

5. Girik

Presiden Joko Widodo saat penyerahan Sertifikat Tanah untuk rakyat (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Girik sebenarnya tidak tergolong ke dalam jenis sertifikat tanah. Girik merupakan istilah yang digunakan untuk tanah yang belum memiliki akta sertifikat.

Girik atau yang juga disebut petok berfungsi sebagai bukti kepemilikan atas lahan dan keperluan perpajakan. Pada umumnya, Girik berbentuk Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan dari kelurahan serta kecamatan setempat.

Di dalam Girik tersebut tercantum nomor, luas tanah, dan pemilik hak karena jual beli atau karena warisan. Surat Girik harus disertai dengan Akta Jual Beli atau Surat Waris agar tidak timbul masalah di kemudian hari.

6. Akta Jual Beli (AJB)

ilustrasi dokumen-dokumen kertas (pexels.com/pixabay)

Sama seperti Girik, AJB juga bukan merupakan sertifikat tanah, melainkan dokumen perjanjian jual beli yang menyatakan adanya perpindahan atau peralihan hak atas suatu bidang lahan dari pemilik/penjual kepada pembeli sebagai pemilik baru. Pembuatan AJB disahkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

AJB dapat terjadi dalam berbagai bentuk kepemilikan tanah, baik Hak Milik, Hak Guna Bangunan, maupun Girik. Bukti kepemilikan berupa AJB juga biasanya rentan terkena penipuan.

Posisi AJB dalam legalitas juga belum begitu kuat jika dibandingkan dengan SHM atau SHGB. Maka dari itu, sebaiknya segera lengkapi berkas untuk mengajukan permohonan SHM atau SHGB ke BPN.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
Jujuk Ernawati
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us