Kwik Kian Gie di Mata Ilmuwan Politik AS: Nasionalis dan Tidak Sabaran

Jakarta, IDN Times - Kepergian ekonom kenamaan bangsa, Kwik Kian Gie meninggalkan duka mendalam bagi banyak pihak, tak terkecuali untuk Jeffrey A Winters, seorang ilmuwan politik asal Universitas Northwestern, Amerika Serikat (AS). Duka mendalam yang muncul tidak lepas dari persahabatan antara Jeffrey dan Kwik. Pertemuan pertama Jeffrey dengan Kwik terjadi pada 1998, saat dirinya tengah melakukan penelitian doktoral di Jakarta.
Pertemuan itu bukan sekadar pertemuan biasa. Jeffrey yang kala itu fokus meneliti oligarki di Indonesia terlibat banyak diskusi soal politik dan ekonomi Indonesia dengan Kwik. Jeffrey tak selamanya sepaham dengan Kwik yang disebutnya sebagai sosok dengan pengetahuan luar biasa. Namun, perbedaan itu yang kemudian membuat dua sosok beda kebangsaan tersebut memiliki kesepahaman pandangan.
"Beliau berbagi wawasan yang tak terhitung jumlahnya, mengoreksi secara brutal gagasan saya yang keliru bila perlu, dan membantu mengarahkan penelitian saya ke arah yang benar. Beliau memiliki pemikiran yang tajam dan kritis serta selera humor dan ironi yang tinggi," kata Jeffrey dalam catatannya, dikutip IDN Times, Selasa (29/7/2025).
1. Kwik bukan orang yang sabaran

Selama mengenal Kwik, Jeffrey menyebut sosok kelahiran 11 Januari 1935 tersebut sebagai pribadi yang baik dan murah hati, tetapi tidak sabaran.
"Beliau tidak sabar menunggu perbaikan ekonomi yang lambat bagi warga negara. Beliau juga tidak sabar terhadap para pejabat yang korup tak berujung, yang beliau lihat di mana-mana," ujar Jeffrey menggambarkan sosok Kwik yang tidak sabaran.
Sikap tersebut pun terus dibawa Kwik bahkan ketika berada di dalam pemerintahan. Untuk diketahui, Kwik pernah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Pembangunan Nasional (1999-2000) pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (2001) pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Saat menjadi Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas, Kwik pernah mengancam untuk mundur dari jabatannya jika Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) tetap diperpanjang. Menurut dia, perpanjangan waktu pembayaran utang para konglomerat bermasalah itu dianggapnya tidak adil dan mengorbankan rakyat.
"Meskipun beliau pernah menduduki jabatan-jabatan tinggi di dua pemerintahan, beliau lebih merupakan seorang akademisi pejuang jalanan daripada seorang administrator pemerintahan. Orang-orang di pemerintahan dan elit partai sulit menerima kejujurannya yang brutal," kata Jeffrey.
2. Rasa syukur Jeffrey sering berbagi panggung dengan Kwik

Cerita Jeffrey mengenal Kwik tidak berhenti sampai situ. Dari rekan diskusi, Jeffrey justru kerap berbagi panggung dengan Kwik untuk menjadi pembicara pada banyak forum. Momen itu dikenang Jeffrey sebagai satu hal yang terus disyukuri selama bersahabat dengan Kwik.
"Selama beberapa dekade, saya merasa terhormat berbagi panggung dengan Kwik di banyak konferensi dan forum lainnya. Jika beliau berbicara, hadirin pasti akan banyak dan antusias," kata Jeffrey.
Jeffrey pun mengaku sering melakukan pertemuan dengan Kwik. Mereka berdua kerap saling mengundang dalam setiap kesempatan, baik makan siang, makan malam, atau sekadar minum kopi. Kegiatan itu dilakukan hanya untuk saling bertukar informasi terkini dan bertukar interprestasi politik serta ekonomi.
"Saya berusaha sebaik mungkin untuk mengimbanginya!" ujar Jeffrey.
3. Kwik nasionalis sejati yang tidak butuh pengakuan

Dalam catatannya, Jeffrey yang banyak mempelajari oligarki di Indonesia dan AS menggambarkan sosok Kwik sebagai seorang nasionalis sejati. Menurut dia, hidup Kwik selalu penuh perjuangan dan tidak pernah terpaku pada dirinya, melainkan untuk orang lain-seluruh masyarakat Indonesia.
Kwik, kata Jeffrey, tidak pernah mencari pengakuan dan ucapan terima kasih dari siapapun terlepas dari apa yang sudah dilakukan untuk Republik Indonesia semasa hidupnya.
"Bagi Kwik, semua ini adalah perjuangan yang penuh sukacita, karena dia tahu bahwa meskipun hanya sebagian kecil dari tujuan yang dia perjuangkan tercapai, hal itu dapat membuat perbedaan nyata dalam kehidupan jutaan orang," sebut Jeffrey.
Sebagai seorang keturunan Tionghoa, nilai nasionalisme Kwik tidak dapat dibantah. Rasa cintanya terhadap Indonesia bukan hanya kepada sebuah bendera, tetapi lebih dari itu.
"Nasionalisme Kwik yang jauh lebih sejati dan mendalam dapat ditemukan dalam apa yang dia yakini, perjuangkan, dan siapa yang paling dia pedulikan. Cintanya adalah pada para warga negara itu sendiri, rakyat bangsa itu. Dia mengenal mereka, dia melihat mereka, dan dia mengabdikan hidupnya untuk mereka," tutur Jeffrey.
Menurut Jeffrey, Kwik juga sosok yang tidak tertarik menyampaikan pidato-pidato penuh semangat, gambaran kejayaan, kebesaran, dan kebanggaan. Kwik tidak pernah menepuk dada atas apa yang dikerjakan dan memberi tahu orang betapa nasionalisnya dia. Bagi Kwik, sikap itu bukan nasionalisme sejati, melainkan sandiwara politik laiknya sirkus.
"Saya yakin inilah pesan hidup Kwik. Apa pun latar belakang etnis Anda, Kwik membuktikan tanpa keraguan bahwa menjadi orang Indonesia dan seorang nasionalis lebih dari sekadar membangun rakyat – semuanya, dan melakukannya hingga akhir hayat," kata Jeffrey.
4. Pesan Jeffrey untuk generasi muda Indonesia

Pada akhir catatannya, Jeffrey menulis sebuah pesan bagi generasi muda Indonesia. Para anak muda Indonesia diharapkan Jeffrey terus mengingat bahwa mereka punya banyak tokoh nasionalis sejati--tidak hanya Kwik--yang patut diteladani, tulus bekerja, peduli, dan rela berkorban serta tidak pernah menjual prinsip bahkan menyerah.
Bagi Jeffrey, Kwik tidak bertarung dan berusaha lantaran berharap kemenangan mudah dan kepuasan instan. Perjuangan Kwik dilakukan karena dia merasa itu hal yang benar untuk dilakukan.
"Dia mungkin telah tiada, tetapi semoga dia tetap hidup di hati dan pikiran kalian sebagai inspirasi generasi mendatang," kata Jeffrey.