Pemerintah Genjot Hilirisasi Petrokimia untuk Dongkrak Ekonomi

Jakarta, IDN Times - Presiden Prabowo Subianto telah menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen. Untuk mendukung pencapaian tersebut, pemerintah mempercepat hilirisasi industri petrokimia dan gas.
Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita telah menetapkan sektor tersebut karena memiliki dampak besar terhadap perekonomian nasional.
Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Taufiek Bawazier memaparkan rumusan teknokratis agar sektor tersebut berkontribusi signifikan terhadap PDB nasional dalam Tekagama Forum Petrokimia dan Gas di Fakultas Teknik UGM.
Dia menyebut sektor IKFT perlu menambah PDB Rp39,77 triliun jika porsi industri dalam PDB mencapai 18,9 persen, dan Rp46,09 triliun jika targetnya 21,9 persen. Kalkulasi itu didasarkan pada PDB harga konstan 2024 sebesar Rp12.920 triliun. Dengan target pertumbuhan 8 persen, ekonomi nasional harus bertambah Rp1.033 triliun, menjadikan PDB Rp13.953 triliun.
"Artinya dengan dua skenario diatas kontribusi secara keseluruhan sektor industri nasional harus menambah porsi angkanya masing masing Rp195 triliun dimana share industri 18,9 persen, dan Rp226 triliun jika secara nasional industri mempunyai share 21,9 persen," ujar Taufiek.
Di sektor IKFT, subsektor petrokimia dan gas harus menambah minimal Rp18,37 triliun hingga Rp21,28 triliun. Pada 2024, kontribusi subsektor ini terhadap PDB tercatat Rp555,40 triliun.
1. Kemenperin dorong integrasi kebijakan untuk optimalkan industri petrokimia

Kemenperin menilai peningkatan kontribusi industri petrokimia terhadap ekonomi nasional memerlukan integrasi kebijakan yang mendukung industri. Langkah itu mencakup pengendalian impor, kemudahan investasi di seluruh rantai produksi, serta harga gas industri yang kompetitif dengan pasokan stabil seperti HGBT.
Dia mengungkapkan kapasitas nasional untuk produk olefin mencapai 9,7 juta ton, produk aromatik 4,6 juta ton, dan metanol 980 ribu ton. Namun, pemanfaatannya masih rendah, sehingga impor produk petrokimia pada 2023 mencapai USD 9,5 miliar.
Misalnya, kapasitas produksi LLDPE nasional 700 ribu ton dengan konsumsi 656.150 ton, tetapi impor tetap tinggi di angka 280.385 ton. Hal serupa terjadi pada PP Homopolymer dan PP Copolymer, di mana utilisasi produksi domestik masih di bawah optimal.
Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, Kemenperin mengusulkan kebijakan pembatasan impor bagi produk yang sudah bisa diproduksi dalam negeri dengan skema kuota berbasis persetujuan tertentu. Targetnya, utilisasi industri nasional dapat meningkat minimal 40 persen. Kebijakan itu diharapkan memberi kepastian bagi investor yang telah membangun fasilitas produksi di Indonesia.
Dalam jangka menengah, pemerintah menargetkan integrasi industri petrokimia dari hulu ke hilir dengan mengurangi ketergantungan impor naphtha, bahan baku utama sektor ini. Saat ini, Indonesia masih menjadi net importer.
"Secara logika untuk bersaing menjadi lebih lemah dibanding negara negara yang mempunyai industri petrokimia terintegrasi dari nafta sebagai upstream hingga downstream, minimal kita melakukan subtitusi dengan langkah jangka pendek," ujarnya.
2. Kemenperin dorong investasi dan riset untuk perkuat industri petrokimia dan pupuk

Kemenperin menilai sektor petrokimia memiliki peluang investasi besar, terutama di industri metanol. Saat ini, kebutuhan nasional mencapai 1,6 juta ton, sementara produksi dalam negeri baru 721.424 ton.
Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, investasi baru perlu diarahkan sesuai dengan peta industri yang telah disusun, mencakup rantai produksi dari minyak bumi, gas, dan batubara.
Selain itu, Kemenperin juga memperkuat dukungan terhadap industri pupuk guna mencapai swasembada pangan. Pemanfaatan kapasitas produksi pupuk urea nasional mencapai 8.875 KTA, dengan suplai sebesar 7.897 KTA. Indonesia bahkan mampu mengekspor 1.376 KTA, sementara impor hanya 75 KTA.
Untuk pupuk NPK, kapasitas nasional sebesar 8.897 KTA telah mencukupi kebutuhan dalam negeri yang mencapai 3.481 KTA. Namun, bahan baku seperti fosfat alam dan kalium masih harus diimpor.
Taufiek menekankan pentingnya riset dalam mencari alternatif bahan baku domestik dengan efektivitas setara. Dia juga mendorong universitas dan pusat penelitian untuk menyesuaikan riset dengan kebutuhan industri agar inovasi di sektor petrokimia lebih aplikatif dan didukung pembiayaan yang sesuai dengan permintaan pasar.
Taufiek menambahkan tren global menuju biochemical, biogas, dan kimia berbasis sumber daya hayati serta hewani harus menjadi perhatian nasional.
"Dengan demikian, target nasional dapat tercapai dengan kebijakan semua stakeholder yang berpihak terhadap industri petrokimia," tambah Taufiek.
3. Pelaku industri meminta dukungan pemerintah lindungi industri lokal

Sebelumnya, Ketua Komisi Tetap Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kadin Indonesia, Hari Supriyadi mengungkapkan dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi industri lokal dari persaingan tidak seimbang tersebut.
"Keberpihakan pemerintah ke kita itu sangat-sangat kita harapkan. Kita kalau nggak ya dilibas oleh China dan mereka kelebihan produksi ya,” kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (10/12/2024).
Dia menyebut, industri petrokimia di Asia Tenggara dan Korea Selatan mengalami tekanan besar akibat persaingan dengan produk impor dari China yang mengalami kelebihan produksi.
"Salah satu pabrik petrokimia dari Thailand tutup akibat kalah saing dari produk impor China. Kenapa dia tutup? Karena kalah bersaing dengan China," ujarnya.
Sementara itu, di Korea Selatan, tekanan serupa mempengaruhi pasar domestik, memaksa Lotte Chemical mengurangi produksi dan mempertimbangkan penjualan fasilitas pabrik.
LG Chem Ltd bahkan menghentikan operasional salah satu pabriknya, sedangkan Hanwha Solutions Corp terpaksa menerbitkan obligasi untuk menjaga stabilitas keuangan.