Putin: Negara yang Bukan Sahabat Rusia Harus Bayar Gas Pakai Rubel

Jakarta, IDN Times - Meski perang berkecamuk antara Rusia dengan Ukraina, Rusia masih tetap mengirim pasokan gas ke negara-negara Eropa. Tapi setelah mendapatkan banyak sanksi, Presiden Rusia Vladimir Putin, pada Rabu (23/3/22), menolak pembayaran gas dengan mata uang selain rubel.
Putin tidak akan berkompromi dalam pembayaran dengan mata uang lainnya termasuk dolar dan euro. Pemimpin Rusia itu akan tetap melanjutkan kontrak pengiriman pasokan gas ke 'negara-negara yang tidak bersahabat' tapi sistem pembayarannya akan berubah dengan mata uang Rusia.
Rusia adalah salah satu eksportir terbesar pasokan energi. Eropa adalah salah satu konsumen utama mereka selain China. Produk ekspor gas alam Rusia sendiri adalah salah satu yang terbesar di dunia, jauh di atas Amerika Serikat (AS) dan Qatar.
1. Putin perintahkan pembayaran gas dengan rubel Rusia

Mata uang rubel Rusia anjlok seketika saat negara-negara Barat menjatuhkan sanksi ekonomi kepada negara tersebut. Kini ketika Rusia semakin terisolasi dari perdagangan global, mereka masih memiliki bisnis di sektor energi. Sekitar 40 persen pasokan energi Eropa diimpor dari Rusia.
Setelah kehilangan banyak akses dan pembekuan aset, Presiden Rusia Vladimir Putin pada hari Rabu mengatakan hanya akan menerima pembayaran penjualan gas dengan mata uang rubel. Menurut Deutsche Welle, keputusan itu dengan cepat mendorong nilai rubel menguat terhadap dolar AS dan euro.
Dalam pertemuan rutin dengan para menterinya, Putin mengatakan "Rusia akan terus, tentu saja, memasok gas alam sesuai dengan volume dan harga, tetap dalam kontrak yang disepakati sebelumnya. Perubahan hanya akan mempengaruhi mata uang pembayaran, yang akan diubah ke rubel Rusia."
'Negara-negara yang tidak bersahabat' dengan Rusia diharuskan untuk membayar dengan mata uang tersebut. Rusia telah memasukkan sekitar 48 negara tidak bersahabat karena telah menjatuhkan sanksi. Banyak diantaranya negara-negara Eropa lalu AS, dan Jepang.
2. Cara Putin paksa negara Barat bertransaksi
Perintah dari Putin mendorong pemerintahannya untuk membuat arahan yang sesuai. Gazprom, perusahaan energi yang dikelola negara, diperintahkan untuk segera membuat perubahan kontrak.
Selain itu, Kementrian Keuangan dan Bank Sentral Rusia juga diwajibkan, dalam waktu satu minggu, harus bisa menentukan prosedur pembelian rubel di pasar domestik dan importir gas Rusia.
Para analis melihat keputusan Putin ini sebagai langkah mengejutkan.
"Dia (Putin) pada dasarnya mencoba untuk membuat negara-negara Barat yang memberikan sanksi kepada Bank Sentral untuk bertransaksi dengannya. Tapi ini hanya akan mempersulit transaksi dengan Rusia untuk pasokan energi," ujar Timothy Ash, analis ekonomi, dilansir The Moscow Times.
Penerapan perintah Putin akan memperumit Eropa karena banyak bank negara Rusia, termasuk Bank Sentral, berada di bawah sanksi yang melarang transaksi langsung. Sedangkan pembayaran menggunakan rubel berarti memaksa negara-negara Eropa membeli rubel langsung dari Bank Sentral.
Tetapi transaksi bisa terbukti rumit bagi Eropa karena banyak bank negara Rusia, termasuk Bank Sentral sendiri, berada di bawah sanksi yang melarang transaksi langsung.
3. Putin dinilai melanggar kontrak

Pelanggan gas utama dari Rusia segera memberi komentar terhadap kabar keputusan Vladimir Putin. Austria, Italia dan Jerman merupakan tiga negara Eropa utama yang membeli gas dari Rusia.
Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck mengatakan pengumuman pembayaran dalam rubel adalah pelanggaran kontrak. "Dan kami sekarang akan mendiskusikan dengan mitra Eropa kami bagaimana kami akan bereaksi terhadap itu."
Dilansir BBC, Uni Eropa mengimpor hampir 40 persen gas dari Rusia. Jerman dan Italia adalah dua importir terbesar. Hampir separuh kebutuhan gas Jerman, 42, 6 persen, dibeli dari Rusia. Hungaria, Belanda dan Polandia adalah negara Eropa lain yang banyak mengimpor gas Moskow.
Gas alam dari Rusia digunakan untuk sumber listrik, pemanas rumah dan industri di UE. Telah terjadi kenaikan harga dan semakin buruk ketika perang Rusia-Ukraina berlangsung. Dilansir Associated Press, Vinicius Romano, analis senior Rystad Energy mengatakan desakan Rusia untuk membayar rubel dapat memicu negara-negara Eropa dengan cepat memutus gas Rusia.