Wacana Akuisisi BCA Dinilai Bisa Ganggu Stabilitas Perbankan

- Perbankan Indonesia tangguh hadapi krisis, melalui restrukturisasi dan pembenahan kelembagaan pascakrisis 1998 serta mampu bertahan saat krisis global 2008 dan pandemik COVID-19.
- Perbankan jadi pilar ekonomi nasional dengan kontribusi besar dalam penyaluran kredit, mendorong dunia usaha, dan pembayaran pajak yang signifikan.
- Danantara tidak memiliki rencana akuisisi BCA, CEO Rosan Perkasa Roeslani menegaskan tidak ada rencana untuk mengambil paksa 51 persen saham BCA.
Jakarta, IDN Times - Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini menilai wacana pengambilalihan paksa saham PT Bank Central Asia (BCA) Tbk yang muncul dari partai politik dan DPR sebagai ide berbahaya.
"Ide hostile take over seperti ini jika digiring ke politik dan kekuasaan sangat berbahaya karena jika diteruskan sistem ekonomi politik Indonesia akan rusak dan menjadi hutan rimba, yang menyesatkan," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (23/8/2025).
Menurut Didik, sebaiknya Presiden tidak perlu menanggapi usul tersebut karena dapat mengganggu tatanan perbankan yang sudah dibangun pascareformasi. Dia menjelaskan, sektor perbankan telah menjalani restrukturisasi yang berat pascakrisis 1998 hingga akhirnya mampu bertransformasi lebih kuat. Narasi pengambilalihan yang berkembang dinilainya justru bisa merusak sistem yang selama ini sudah berjalan baik.
1. Perbankan Indonesia sudah tangguh hadapi krisis

Didik mengingatkan, pada saat krisis 1998, nilai tukar sempat menghancurkan perbankan yang saat itu sangat rapuh. Namun krisis tersebut menjadi momentum perbaikan melalui restrukturisasi dan pembenahan kelembagaan.
Dia menyebut kekuatan perbankan Indonesia terlihat kembali saat krisis global 2008 yang meluluhlantakkan pasar modal, serta pada masa pandemik COVID-19 pada 2019. Menurutnya, meskipun rasio kredit bermasalah sempat meningkat dua kali lipat selama pandemik, industri perbankan tetap mampu bertahan dan kembali normal begitu situasi mereda.
Di tengah catatan itu, Didik menyayangkan munculnya ide yang ia sebut tidak wajar untuk mengambil alih bank swasta seperti BCA. Dia menilai langkah tersebut akan meruntuhkan kepercayaan pasar.
"Jika ini dilakukan, maka kepercayaan pasar akan runtuh. Bank tidak akan dipercaya dan tidak bakal ada yang menyarankan investasi di BCA lagi. Saham BCA dipercaya publik karena pengelolaannya baik dan mutlak harus transparan karena merupakan bank publik," paparnya.
2. Perbankan jadi pilar ekonomi nasional

Didik menegaskan, kinerja BCA maupun bank-bank BUMN harus dipandang sebagai pencapaian penting dalam perekonomian. Dia menyebut kontribusi mereka sangat besar, mulai dari penyaluran kredit, mendorong dunia usaha, hingga pembayaran pajak yang nilainya signifikan.
"Bank BCA (termasuk Bank Himbara) telah menjadi pilar perekonomian dan semestinya jangan diganggu," ucapnya.
Ide pengambilalihan paksa saham BCA tanpa alasan yang jelas, menurutnya, dapat dikategorikan sebagai tindakan anarkis dalam kebijakan politik. Karena datang dari partai politik, wacana tersebut bisa menjadi alarm bahaya bagi iklim usaha dan ekosistem perekonomian nasional.
3. Danantara disebut tidak ada rencana akuisisi BCA

Didik menyebut, ada pernyataan tegas yang menepis narasi tersebut, merujuk penjelasan CEO Danantara, Rosan Perkasa Roeslani yang menyatakan tidak ada rencana dari Danantara maupun pemerintah untuk mengambil paksa 51 persen saham BCA.
"Rosan membantah rumor tersebut dan menegaskan kembali Danantara tidak memiliki rencana untuk mengakuisisi saham mayoritas BCA," ujarnya.
Dia menambahkan, negara seharusnya berfokus menjaga iklim usaha yang sehat serta mendorong pertumbuhan ekonomi, bukan justru masuk secara tidak tepat dan merusak sistem yang sudah ada.