Ekspor China Melesat di Tengah Lesunya Permintaan

- Penurunan pengiriman ke AS berlanjut pada November, meski ekspor China ke UE dan ASEAN meningkat
- Perubahan kebijakan tarif membentuk arah perdagangan baru antara AS dan China
- Kontraksi aktivitas pabrikan China menahan laju pemulihan permintaan global
Jakarta, IDN Times – Kinerja pengiriman luar negeri China kembali mempercepat laju setelah naik 5,9 persen dibanding periode sama tahun lalu. Data yang dirilis oleh Bea Cukai China, nilainya mencapai 330,3 miliar dolar AS (setara Rp5,48 kuadriliun).
Capaian tersebut jauh melampaui ekspektasi pasar yang sebelumnya pesimistis akibat kontraksi 1,1 persen pada Oktober 2025. Di sisi lain, impor mulai menunjukkan perbaikan dengan tumbuh 1,9 persen menjadi lebih dari 218,6 miliar dolar AS (setara Rp3,63 kuadriliun) meski dorongan konsumsi domestik masih lemah.
Sepanjang 11 bulan pertama 2025, surplus perdagangan China sudah menembus hampir 1.076 triliun dolar AS (setara Rp17,86 kuadriliun). Nilai tersebut melewati rekor setahun penuh 2024 sebesar 992 miliar dolar AS (setara Rp16,47 kuadriliun), sekaligus melompat 21,6 persen dibanding tahun sebelumnya. Lonjakan ini terjadi karena ekspor tumbuh 5,4 persen, sementara impor justru menyusut 0,6 persen.
1. Penurunan pengiriman ke AS berlanjut pada November

Dilansir dari CNBC, pengiriman barang China ke Amerika Serikat (AS) masih merosot 28,6 persen pada November sehingga memperpanjang tren penurunan dua digit menjadi delapan bulan. Penurunan berkepanjangan ini tetap berlangsung meski Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping telah menyepakati gencatan senjata dagang pada akhir Oktober di Korea Selatan. Dampaknya, impor China dari AS turun 19 persen dan total ekspor China ke AS sepanjang tahun ini sudah anjlok 18,9 persen.
Namun kehilangan pasar AS sepenuhnya tertutup oleh peningkatan kuat di berbagai kawasan lain. Pengiriman ke Uni Eropa (UE) naik hampir 15 persen seiring pergeseran permintaan global. Arus barang menuju Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) juga meningkat lebih dari 8 persen. Permintaan tambahan turut datang dari negara-negara Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin.
2. Perubahan kebijakan tarif membentuk arah perdagangan baru

Dalam kesepakatan akhir Oktober, Amerika Serikat telah memangkas sebagian tarif barang China. Sebagai gantinya, China berjanji mencabut pembatasan ekspor bahan tanah jarang demi melancarkan pergerakan industri global.
China juga sepakat membeli lebih banyak kedelai asal AS serta terlibat dalam penanganan peredaran fentanyl. Meski begitu, tarif AS atas barang China masih berada di kisaran 47,5 persen, menurut Peterson Institute for International Economics (PIIE), sedangkan tarif balasan China terhadap barang AS sekitar 32 persen.
“Kemungkinan ekspor November belum sepenuhnya mencerminkan pemotongan tarif, yang dampaknya baru akan terlihat dalam beberapa bulan mendatang,” tulis Kepala Ekonom ING Bank untuk China Raya, Lynn Song, dikutip dari CNN.
Ekspor bahan tanah jarang justru melonjak menjadi 5.494 ton pada November atau naik 24 persen dibanding tahun sebelumnya. Impor kedelai meningkat 13 persen menjadi 8,1 juta ton metrik meski masih lebih rendah dari Oktober dan belum memenuhi komitmen pembelian 12 juta ton hingga akhir tahun. Kementerian Perdagangan China pun tengah menyiapkan skema perizinan baru agar distribusi bahan tanah jarang semakin lancar.
3. Kontraksi aktivitas pabrikan menahan laju pemulihan permintaan

Aktivitas pabrikan China masih mengalami kontraksi selama delapan bulan berturut-turut pada November menurut data resmi terkini. Para ekonom menilai situasi ini membuat pemulihan permintaan global belum bisa dianggap solid. Meski begitu, laju ekspor yang terus menguat membuat target pertumbuhan sekitar 5 persen tahun ini dinilai tetap realistis.
“Meskipun ada ketegangan perdagangan yang berlanjut, proteksionisme yang terus meningkat, dan negara-negara G20 yang menerapkan kebijakan industri aktif, kami percaya China akan terus mendapatkan pangsa pasar ekspor barang global yang lebih besar,” kata Kepala Ekonom Asia Morgan Stanley, Chetan Ahya.
Ahya memperkirakan pangsa ekspor China di pasar dunia akan meningkat dari 15 persen saat ini menjadi 16,5 persen pada 2030.


















