YLKI Ungkap Dampak Penerapan KRIS Pengganti Kelas BPJS Kesehatan

- Peserta BPJS Kesehatan kelas 1 harus turun kelas atau naik ke VIP dengan konsekuensi biaya tambahan.
- Rumah sakit perlu renovasi minimal 60% ruang rawat inap sebagai KRIS, dan standarisasi infrastruktur.
Jakarta, IDN Times - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memiliki sejumlah catatan atas penghapusan sistem kelas pada BPJS Kesehatan yang kemudian diganti dengan Kelas Rawat Inap Standar alias KRIS.
Catatan itu berkaitan dengan dampak diterapkannya KRIS sebagai pengganti sistem kelas dalam BPJS Kesehatan. Pertama, peserta BPJS Kesehatan yang saat ini sudah terdaftar pada kelas 1 kemungkinan harus secara sukarela turun kelas dan menyesuaikan KRIS.
"Nah, pasien eks kelas 1 yang tidak mau dirawat inap di ruang bebarengan, maka dipersilakan naik ke kelas VIP yang dimiliki rumah sakit. Tentu saja dengan konsekuensi membayar selisih biaya, menjadi pasien umum, atau di-cover asuransi swasta jika punya," tutur Pengurus Harian YLKI, Agus Sujatno dalam pernyataannya dikutip Rabu (15/5/2024).
Sementara itu, sambung Agus, peserta BPJS Kesehatan yang terdaftar pada kelas 3 terpaksa harus naik kelas dengan konsekuensi iurannya yang berpotensi mengalami kenaikan.
"Dengan demikian, patut diduga KRIS ini digagas untuk mengakomodasi kepentingam asuransi komersial. Pihak rumah sakit akan berlomba memperbanyak ruang VIP untuk mengakomodir peserta JKN yang tidak mau menggunakan kelas standar," ujar dia.
1. Kesiapan infrastruktur rumah sakit

Catatan kedua YLKI berkaitan dengan dampak penerapan KRIS buat rumah sakit. Adapun hal yang perlu disorot adalah kesiapan infrastruktur rumah sakit.
Di dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2021 yang mengatur soal pelaksanaan KRIS menyebutkan, rumah sakit pemerintah perlu mengalokasikan minimal 60 persen total ruangan rawat inap sebagai KRIS, sedangkan rumah sakit swasta sebesar 40 persen dari total ruangan rawat inap sebagai KRIS.
"Artinya, rumah sakit harus segera berbenah atau renovasi untuk mengikuti mandat Perpres 59 Tahun 2024. Tidak mudah bagi rumah sakit, terutama swasta untuk mengubah set ruangan menyesuaikan kelas rawat inap standar," kata Agus.
Di sisi lain, perubahan ruang ini juga penting untuk dilakukan standarisasi. Agus menilai ada tim pengawas yang melakukan proses kredensial untuk penyesuaian ruang kelas standar.
"Jangan sampai ada program kelas rawat inap standar, namun infrastruktur berbeda antara rumah sakit yang satu dengan lainnya," ujarnya.
Selain itu, Agus juga mengungkapkan adanya potensi timbulnya klaster rumah sakit atas penerapan KRIS tersebut.
"Rumah sakit yg menerima BPJS akan dianggap sebagau rumah sakit kelas dua, sedangkan rumah sakit yang tidak bekerja sama akan dianggap sebagai rumah sakit premium," kata dia.
2. Kesiapan sumber daya manusia

Hal ketiga yang menjadi catatan dan sorotan YLKI sebagai dampak penerapan KRIS adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM) untuk menerapkan standar pelayanan.
Menurut Agus, cakupan wilayah di Indonesia yang sangat luas menyimpan potensi tidak meratanya tenaga ahli atau dokter spesialis di setiap rumah sakit, terutama di daerah terdepan, tertinggal, dan terluar (3T).
"Dengan kata lain, ketika menerapkan KRIS juga harus dibarengi layanan standar yang sama yang mencakup tenaga medis, obat-obatan, dan fasilitas serta peralatan," ucap Agus.
3. Masyarakat sejatinya butuh standarisasi pelayanan

Catatan keempat YLKI adalah kebutuhan masyarakat sejatinya adalah standarisasi pelayanan, bukan standarisasi kelas rawat inap.
"Dengan standardisasi pelayanan, tidak muncul dugaan kesenjangan dalam penanganan yang selama ini banyak dikhawatirkan pasien," kata Agus.