Thailand Wajibkan Bank Laporkan Transaksi Valas di Atas Rp3,3 Miliar

- BoT wajibkan pelaporan transaksi valas besar untuk pantau aliran modal
- Kebijakan ini bagian dari upaya mengatasi penguatan baht dan memengaruhi kestabilan ekonomi negara.
- Pelaporan transaksi penting untuk mendukung pengelolaan likuiditas di pasar keuangan serta menjaga stabilitas nilai tukar.
Jakarta, IDN Times - Bank of Thailand (BoT) menginstruksikan seluruh bank komersial dan lembaga keuangan milik negara untuk melaporkan setiap transaksi valuta asing senilai 200 ribu dolar AS (Rp3,3 miliar) atau lebih. Kebijakan ini diterapkan untuk memantau dan mengendalikan kenaikan nilai tukar baht terhadap dolar AS yang terus berlangsung, karena dapat mengurangi daya saing ekonomi Thailand.
Penguatan baht dalam beberapa bulan terakhir telah menjadi tantangan bagi sektor ekspor dan pariwisata Thailand, dua kontributor utama perekonomian negara tersebut. Selain itu, nilai tukar yang terlalu kuat berpotensi memicu kenaikan harga barang impor, yang dapat menimbulkan tekanan baru terhadap inflasi domestik.
1. BoT wajibkan pelaporan transaksi valas besar untuk pantau aliran modal
BoT mewajibkan seluruh bank komersial dan lembaga keuangan milik negara untuk melaporkan setiap transaksi valuta asing senilai 200 ribu dolar AS (Rp3,3 miliar) atau lebih. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya Bank of Thailand untuk mengatasi penguatan baht yang terus terjadi dan dapat memengaruhi kestabilan ekonomi negara.
Langkah ini bertujuan membantu otoritas memantau masuknya modal asing yang menyebabkan penguatan nilai tukar baht. BoT menegaskan, pelaporan transaksi ini penting untuk mendukung pengelolaan likuiditas di pasar keuangan serta menjaga stabilitas nilai tukar.
Instruksi tersebut mulai berlaku segera, agar data transaksi valuta asing dapat tersedia secara real-time bagi para pembuat kebijakan, sehingga langkah-langkah pengendalian pasar dapat dilakukan dengan lebih cepat dan tepat sasaran.
2. Penguatan baht tekan ekspor dan pariwisata
Baht Thailand mencatat penguatan hampir 10 persen sepanjang 2025, menjadikannya mata uang terkuat kedua di Asia. Kenaikan nilai tukar ini menimbulkan tekanan terhadap sektor ekspor karena harga produk Thailand menjadi lebih mahal di pasar global, sehingga menurunkan daya saing.
Sektor pariwisata turut terdampak sebab wisatawan asing mendapatkan nilai tukar yang kurang menguntungkan saat menukarkan mata uang mereka ke baht. Sementara itu, impor barang menjadi lebih murah dalam jangka pendek, namun lonjakan aliran modal asing dapat menimbulkan risiko inflasi apabila tidak terkendali.
Gubernur BoT, Vitai Ratanakorn mengatakan, pihaknya sedang mengambil tindakan untuk menahan laju penguatan baht. Menurut dia, kenaikan cepat nilai tukar dipicu oleh pelemahan dolar AS, peningkatan arus wisatawan pada akhir tahun, serta meningkatnya ekspor dan investasi asing di pasar saham dan obligasi Thailand.
3. BoT sebelumnya telah memperketat pengawasan perdagangan emas
Instruksi pelaporan transaksi valuta asing yang dikeluarkan BoT menjadi lanjutan dari rangkaian kebijakan pengawasan ketat terhadap arus modal yang mempengaruhi nilai tukar baht. Sebelumnya, BoT telah memperkuat pemantauan terhadap aktivitas perdagangan emas yang berdampak besar pada pergerakan valuta asing.
Pada awal Desember 2025, BoT juga meminta Kementerian Keuangan untuk menaikkan batas pendapatan luar negeri yang tidak wajib direpatriasi dari 1 juta dolar AS (Rp16,7 miliar) menjadi 10 juta dolar AS (Rp167,6 miliar) per transaksi. Langkah ini bertujuan mengurangi penguatan baht dengan membatasi masuknya valuta asing yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan bisnis.
Selain itu, BoT menginstruksikan perbankan untuk memverifikasi dokumen transaksi penjualan dolar yang digunakan untuk membeli baht oleh pedagang emas, karena aktivitas ini diketahui menyumbang hingga 20 persen dari total volume perdagangan valuta asing pada periode tertentu.
"Bank sentral akan memeriksa penjualan valuta asing untuk baht guna menghilangkan inflow yang tidak diinginkan," ujar Gubernur BoT, Vitai Ratanakorn, dilansir Bloomberg.


















