Di gudang bisu itu, aku dengar dunia merintih
seperti tulang keropos oleh waktu
sulit berdiri tegap oleh janji,
yang pernah diukir di padang rindu itu.
Terkoyaklah selimut gelap yang kupasang di langit
dan aku tahu: malamku sebentar lagi habis.

Aku yang dulu menggenggam hidup
seperti bara di telapak tangan,
kini terjepit oleh bayanganku sendiri.
Tawaku buyar, pecah jadi debu,
sebab setiap huruf yang kutulis kembali menikamku.

Peluru itu menggertak keras,
mengoyak dada yang penuh ambisi busuk.
Aku berlari, tapi langkahku ompong
seperti harimau tua yang kehilangan taring,
menyuruk di antara robekan kebesaran yang kutulis sendiri.

Dan di sana jiwa berdiri, tanpa suara,
mata dinginnya menusuk sampai ke nadi.
Kami dua badai yang saling menelan,
dua kutuk yang tak pernah benar-benar membenci,
hanya menyala untuk saling padam.

Si maut berkepala muram meraih pena,
seolah mencabik batas antara hidup dan mati.
Namaku jatuh di halaman yang tak punya doa
dan aku rebah tertelan malam yang tak lagi kupimpin.
Beginilah akhir para pemburu cahaya:
mati oleh gelap yang mereka pelihara.