[PUISI] Warna yang Tak Pernah Pudar

Segala yang tampak indah,
hanya pantulan cahaya dari satu sumber.
Warna-warni dunia hanyalah bias dari putih yang suci,
seperti debu yang tampak abu-abu —
padahal ia berasal dari campuran segalanya.
Manusia pun begitu.
Dari jauh, kita tampak serupa bayangan,
tanpa bentuk, tanpa warna,
karena jarak dan cahaya membuat kita kehilangan rupa.
Namun di dekat hati, barulah tampak perbedaan:
ada yang bercahaya oleh iman,
ada pula yang kelam karena lupa pada Tuhan.
Kita kagum pada yang mencolok —
warna, kemewahan, gemerlap dunia.
Padahal Allah tak melihat rupa dan harta,
melainkan hati dan amalnya.
Bukan warna pakaian yang menarik pandangan-Nya,
melainkan warna jiwa yang ikhlas berjuang dalam diam.
Segala materi di bumi ini tak ada yang sempurna.
Batu butuh tanah untuk berdiri,
tanah butuh air untuk hidup,
air butuh angin untuk mengalir.
Begitu pula manusia —
tak satu pun kokoh tanpa sesamanya.
Namun, kita sering lupa.
Mengejar jabatan, harta, dan pujian,
seakan dunia ini milik sendiri.
Kita lupa, kekuatan bukan dari apa yang kita genggam,
melainkan dari apa yang kita ikhlaskan.
Allah mencintai bukan yang paling berwarna,
tapi yang paling bersih hatinya.
Bukan yang paling tinggi,
tapi yang paling rendah diri di hadapan-Nya.
Dan pada akhirnya,
segala yang tampak akan pudar,
segala warna akan hilang,
yang tersisa hanyalah cahaya —
cahaya dari hati yang kembali kepada-Nya.


















