Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Cara Tuhan Mengembalikan Masa Lalu #3

stylemagazin.hu

Aku berlari menuju halte bus kampus. Seperti biasanya halte selalu penuh. Aku melihat jam tangan favoritku yang berwarna hitam. Ternyata sudah jam 7.57 pagi. Artinya tersisa tiga menit saja untuk bisa mengikuti mata kuliah Pak Wiryadi. Aku sangat gelisah. Bus yang kutunggu tak kunjung datang. Aku ingin naik ojek kampus, namun rasanya sayang untuk mengeluarkan ongkos.

Tak lama kemudian bus kampus datang. Begitu bus  berhenti semua orang yang telah menunggu sejak tadi berebut untuk menaiki. Yah, nasibku. Aku tak kebagian tempat. Bus sudah penuh. Ya sudah akhirnya aku naik ojek untuk mengejar mata kuliah Pak Wiryadi. Aku sempat memerintahkan supir ojek untuk meningkatkan kecepatan. Setelah sampai, aku langsung berlari ke gedung kampus, aku sampai di depan kelas. Apa dayaku, pintu sudah tertutup dan sudah terdengar suara Pak Wiryadi yang sedang menjelaskan materi.

Aku tak pernah telat selama satu tahun kuliah. Mepet waktu pun jarang. Tapi aku benar-benar sedih jika tak bisa masuk mengikuti mata kuliah Pak Wiryadi, karena ini adalah mata kuliah kesukaanku. Akhirnya aku mencoba masuk ke dalam kelas. Aku mengetuk pintu. Aku tahu semua teman-temanku melihat dengan pandangan sedikit sinis.

                “Permisi, Pak” kataku kepada Pak Wiryadi

                “Ya” jawab Pak Wiyadi

                “Saya boleh masuk Pak?”

                “Kamu sudah terlambat, Sukma”

                “Iya Pak tadi saya bangun kesiangan”

                “Tidak ada alasan Sukma. Meskipun kamu pintar, tetap saja kamu telat”

                “Iya pak, baik Pak” aku menjawab dengan nada lemas

Aku keluar dan kembali menutup pintu. Aku tak ingin pulang, aku sudah berlari apalagi aku sudah bayar ojek untuk bisa sampai disini. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap mengikuti kuliah Pak Wiryadi, namun di luar kelas. Aku duduk di teras kelas. Aku mencoba berkonsentrasi untuk mencatat, namun tetap masih belum fokus. Mungkin karena aku masih lelah berlari-lari tadi. Belum lagi aku dibuat tak fokus oleh orang-orang yang lewat. Apalagi oarang yang lewat itu adalah temanku.

Aku sangat kecewa, rasanya aku malu dengan Pak Wiryadi karena menurut teman-teman, aku merupakan salah satu mahasiswa yang beliau banggakan. Aku mencoba menghilangkan rasa kecewaku, jangan sampai terus terlarut. Entah mengapa aku teringat dengan momen saat aku telat di SMA dulu. Ingatanku kembali kubaca.

***

Hari itu aku telat sekolah. Aku diantar menuju tengah lapangan upacara oleh Pak Edi, wakil kepala sekolah yang terkenal sangat galak di sekolah. Aku mendapatkan hukuman berdiri sambil hormat ke sang saka merah putih sampai jam pertama selesai. Dari kejuahan aku melihat ada seorang siswa laki-laki yang terlebih dahulu berdiri di depan tiang bendera. Aku hanya melihat dia dari belakang.

                “Nah kamu berdiri disini sampai saya perintahkan berhenti” kata Pak Edi dengan wajah yang seram namun tetap meneduhkan.

                “Iya Pak baik” jawabku dengan rasa malu-malu karena telat.

                “Kamu ini tumben telat, jangan lupa hormat” kata Pak Edi yang kemudian berlalu meninggalkanku dan laki-laki yang lebih dahulu berdiri di sebelahku itu.

Entah mengapa rasanya aku malas sekali untuk melihat wajah laki-laki itu. Lagian aku harus menengadahkan kepalaku untuk melihat wajahnya. Dia lebih tinggi dariku. Aku malu dihukum dan rasanya jangan sampai ada temanku yang melihat. Sekilas aku berfikir laki-laki disebelahku ini terkesan sombong. Coba sapa atau kenalan atau apa gitu. Dia terlihat kaku.

                “Eh ciyyyeee ciyyyeee dihukumnya barengan” terdengar suara seorang cowok yang terkesan mengejek kami dan ku lihat mereka ada di lantai dua sekolah. Ternyata cowok itu adalah Angga bersama dengan dua orang temannya yang juga ikut mengejek kami. Mereka adalah teman sekelas dan teman dekat Gibran.

Teman Gibran? Berarti ada Gibran disini?

Aku coba melihat wajah cowok itu, dan ternyata cowok yang sejak tadi berdiri disebelahku, yang dihukum juga seperti aku adalah Gibran.

                “Ah kampret lu” suara Gibran sekarang yang terdengar.

                “Hahahahaha ini pada janjian ya buat telat bareng. Hahaha” ledek Yudi, teman Gibran juga.

                “Ngobrol kali jangan diem-dieman gitu hahahaha. Kalem aja Gibran jangan tegang gitu. Hahaha” ledek Angga yang membuat aku sedikit tertawa karena memang saat itu aku melihat Gibran sedikit tegang.

Angga dan teman-temannya itu kembali masuk kelas. Aku dan Gibran masih dihukum. Aku sedikit kesal melihat Gibran yang diam saja sejak tadi. Kita kan sudah kenal sejak bangku SMP dan selalu sekelas. Aku berfikir Gibran itu cowok belagu, cowok sombong, sok ganteng. Suasana terasa dingin. Masa iya harus cewek dulu yang mulai menyapa?

***

                “Umar, kamu keluar” suara Pak Wiryadi yang terkesan marah dan mengagetkan. Serontak menyadarkanku akan kenangan bersama Gibran saat dihukum bersama. Sepertinya Pak Wiryadi marah besar. Bisa ditebak, anak yang dihukum itu pasti bermain Hp saat beliau menerangkan materi. Tak lama kemudian pintu kelas terbuka dan temanku, Umar keluar kelas. Kemudian dia duduk bersamaku di teras kelas.

                “Lu kenapa Mar? Lu main Hp?” aku mencoba bertanya kepada Umar dengan maksud mencairkan suasana.

                “Iya gua main games” jawab Umar yang terkesan tak ada beban.

Umar adalah teman sekelasku yang terkenal dengan kesibukannya di berbagai organisasi. Dia memang rajin dengan semua kegiatan organisasi di kampus tetapi Umar juga terkenal kurang serius setiap jam kuliah berlangsung. Dia putih, tinggi, gayanya agak selengean, tapi wajah dia memang enak dilihat. Kata teman-temanku, Umar itu ganteng. Menurutku? Dia biasa saja karena bukan tipeku.

                “Haha lu sih nantangin Pak Wiryadi namanya” kataku lagi.

                “Emang sengaja biar bisa keluar”

                “Kok gitu? Lu mah aneh”

                “Iya biar bisa nemenin lu”

                “Hahaha” aku tertawa karena memang Umarnya tidak pernah serius.

                “Kok lu tumben telat gini sih?” Umar bertanya setelah beberapa menit kami sibuk dengan Hp kami masing-masing.

                “Iya semalem gatau kenapa gue susah tidur. Jadi baru tidur jam 4 subuh”

                “Oh gue kira lo kencan semaleman”

                “Haha kencan sama siapa emang, gue mah gak pernah kencan”

                “Kalau gue ajakin kencan, mau?”

Seketika suasana terkesan dingin tapi aku selalu berfikir Umar adalah pribadi yang humoris, menyenangkan, bergaul dengan siapa saja, dan tidak pernah serius.

                “Haha boleh-boleh hahaha” jawabku.

***

Aku pulang kuliah bersama dengan Mirna, temanku yang paling dekat. Mirna sudah kuanggap seperti saudara padahal baru kenal saat di bangku kuliah. Kami berjalan menuju halte bus kampus. Saat itu halte tidak begitu ramai.

                “Eh Sukma, lu kenapa sih telat? Tuh kan gue tinggal sehari aja lu kesiangan kan bangunnya” kata Mirna sambil makan snack kesukaannya.

                “Semalem gue gak bisa tidur. Jam empat gue baru tidur”

                “Oh...”

                Kami masih menunggu bus datang. Mirna masih menikmati snack kesukaannya itu.

                “Ma, tadi si Umar ngomong apa pas dia disuruh keluar sama Pak Wiryadi?”

                “Ngomong? Ngomong apaan ya? Dia bilang dia main games trus disuruh keluar”

                “Trus dia ngomong apalagi?”

                “Apalagi ya? Oh dia bilang dia sengaja main games biarrrr....”

                “Biar apa?” Mirna memutus ucapanku. Mirna antusias sekali.

                “Biar bisa nemenin gue katanya”

                “Tuh kan udah ketebak. Terus terus apalagi?”

                “Apalagi ya tadi gue lupa”

                “Ah elu mah gak peka Ma. Peka dikit napa sih lu!”

                “Lah peka gimana sih maksud lo? Lo nyuruh gue baper gitu sama Umar”

                “Iya coba lu sekali aja peka sama Umar”

                “Mirna, gue itu tau banget Umar itu emang orangnnya gak pernah serius. Jadi nagapain gue bawa serius”

                “Ah lu mah susah, makanya jangan belajar mulu. Gimana mau punya pacar lu”

Bus yang kami tunggu datang. Kami beruntung karena bus tidak penuh jadi kami bisa langsung naik. Di dalam bus aku sedikit kepikiran  dengan ucapan Mirna di halte tadi. Apa iya aku kurang peka makanya aku belum pernah punya pacar. Ah tapi aku rasa jika memang dia suka denganku, pasti dia pun akan bilang. Tapi apa aku yang masih belum bisa membuka hati lagi, setelah aku kenal Gibran. Seorang cowok yang kukenal sejak SMP berlanjut SMA, namun terpisah karena berbeda kampus.

Hari ini tepat dua bulan sejak terakhir aku bertemu dengan Gibran. Saat itu aku bertemu di rumah sakit. Entahlah, aku masih teringat saja dengan dia. Wajar saja ada banyak kenangan indah yang dia buat yang selalu membuat aku tertawa, walaupun kadang aku menangis. Tapi, Umar juga membuat aku tertawa tadi. Aku tak mengerti, aku tak ingin ambil pusing. Yang jelas aku harus mengejar nilai A untuk semua matakuliah di semester ini. Dan semoga ada kesempatan lagi untuk aku bisa bertemu dengan Gibran lagi. Setidaknya berkomunikasi lewat medsos. Tapi, Gibran tidak suka bermain medsos. Sudah aku coba berkali-kali mencari medsos dia, tapi tidak ada.

Aku yakin  suatu saat Tuhan akan mengizinkan aku bertemu lagi dengan Gibran, lewat sms atau telfon pun tak masalah.

Share
Topics
Editorial Team
Fenny Ferdinand
EditorFenny Ferdinand
Follow Us