[CERPEN] Arjuna dan Makna Cinta yang Halal

Senja mulai memerah di langit Desa Sukamakmur. Di sebuah warung kecil di pinggir jalan, Arjuna dan sahabatnya, Dika, duduk menikmati segelas teh manis. Percakapan mereka sering kali ringan, tapi sore itu terasa berbeda.
“Jun, aku mau tanya sesuatu, tapi jangan diketawain, ya,” kata Dika sambil memainkan gelas teh di tangannya.
Arjuna tersenyum. “Tanya aja, Dik. Santai aja.”
Dika terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Menurutmu, apa salah kalau kita pacaran sebelum menikah? Maksudku, kan kita perlu kenal lebih jauh sebelum hidup bersama, kan?”
Arjuna mengangkat alis, lalu mengangguk pelan. “Aku paham maksudmu, Dik. Tapi aku punya pandangan yang mungkin beda. Boleh aku jelasin?”
Dika mengangguk. “Tentu. Aku malah penasaran.”
Arjuna menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara. “Aku percaya, kalau cinta itu harus dijaga. Pacaran sebelum menikah sering kali membuat kita berada di situasi yang nggak sehat. Ada banyak godaan, ada banyak batas yang bisa dilanggar. Lagipula, kalau kita yakin bahwa Allah sudah menetapkan jodoh, kenapa nggak kita percayakan pada proses yang lebih sesuai syariat?”
Dika mengerutkan dahi. “Tapi gimana kita tahu kalau dia benar-benar cocok buat kita? Kan kita nggak mau salah pilih.”
“Itulah pentingnya taaruf, Dik,” jawab Arjuna. “Dalam taaruf, kita tetap bisa mengenal calon pasangan, tapi dengan cara yang lebih terarah dan melibatkan keluarga. Bukan cuma perasaan yang jadi dasar, tapi juga nilai-nilai yang lebih mendalam. Kita bisa tahu visi hidupnya, cara dia memandang keluarga, dan hal-hal penting lainnya tanpa harus melibatkan hubungan yang nggak halal.”
Dika termenung, lalu bertanya lagi. “Tapi bukankah taaruf itu terlalu formal? Rasanya seperti nggak ada ruang untuk benar-benar akrab.”
Arjuna tersenyum kecil. “Memang terasa formal, Dik. Tapi justru dari situ kita belajar menjaga. Akrab itu nanti, saat sudah halal. Bukankah lebih indah kalau kita bisa menciptakan kenangan pertama bersama setelah menikah?”
Dika tersenyum tipis, seolah mulai memahami. “Aku ngerti maksudmu, Jun. Tapi jujur aja, sulit banget untuk nggak pacaran di zaman sekarang. Tekanan dari teman-teman, sosial media, semuanya bikin aku merasa ketinggalan kalau nggak punya pacar.”
“Aku ngerti, Dik. Aku juga pernah merasakan itu,” jawab Arjuna sambil menatap langit yang mulai gelap. “Tapi coba pikir lagi, apa tujuan kita dalam hidup? Kalau tujuannya adalah ridha Allah, maka setiap langkah yang kita ambil harus mengarah ke sana. Menahan diri mungkin sulit, tapi insya Allah, balasannya akan jauh lebih indah.”
Dika mengangguk pelan. “Kamu benar, Jun. Aku selalu kagum sama prinsipmu. Rasanya, aku ingin mulai mencoba jalan yang lebih baik ini.”
Arjuna menepuk bahu sahabatnya. “Aku selalu mendukungmu, Dik. Ingat, cinta yang sejati adalah yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, bukan yang menjauhkan.”
Senja itu berlalu dengan percakapan yang sederhana tapi penuh makna. Dalam perjalanan pulang, Dika merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Sebuah niat untuk menjaga cinta dengan cara yang lebih baik, hingga waktunya tiba untuk membangun cinta itu dalam ikatan yang suci.