[CERPEN] Kesempatan Ketiga

Kesempatan itu mirip lelucon yang bisa terdengar sangat lucu pada kali pertama, dan kau masih bisa tertawa saat mendengarnya pada kali kedua. Tapi, itu tak akan lagi menarik pada kali ketiga. Setiap orang berhak akan kesempatan kedua; begitu mereka bilang. Tapi, adakah yang bicara tentang kesempatan ketiga?
Tersanjung, sekejap saja. Jika diteruskan, hanya akan membawa bahaya.
Aku sudah memutuskan. Haram bagiku untuk jatuh cinta, lagi, pada pria ini. Tidak, setelah dua kesempatan yang telah disia-siakannya. Jelas bukan niatku kembali padanya meski aku menyetujui untuk bertemu di sini, di kantin kampusku. Aku hanya ingin mendewasa dan berhenti menghadapi masa lalu dengan wajah tertunduk.
Kotak kecil nan transparan di atas meja memamerkan mata cincin yang cantik. Pesona yang sulit ditolak seandainya orang yang melamarmu bukan orang yang pernah menyakitimu dan mengulanginya ketika kau memutuskan untuk memaafkannya.
"Kenapa?"
Otak ini sudah mewanti-wanti bahwa pertanyaan yang baru saja kulontarkan sudah tak berguna lagi. Mungkin manusia memang cenderung tanpa sadar mengucapkan apa yang dipikirkannya.
"Ya, karena aku sadar, orang yang tepat itu cuma kamu."
Klise. Kalimat itu pernah kudengar saat ia datang ke rumahku begitu kekasih yang dulu membuatnya meninggalkanku akhirnya juga pergi darinya. Aku menyeruput teh di gelasku, berusaha mencari celah agar minuman itu mencapai kerongkonganku sebelum terlintas di benakku untuk menyembur pria ini saja.
Aku ingat bagaimana aku menggilainya dulu. Berkencan dengannya berbuah dua kali patah hati. Aku bergidik ngeri atas kemungkinan ia akan menyakitiku untuk ketiga kalinya.
Pada akhirnya, hanya ada iba saat tanganku balik menggeser kotak cincin itu ke arahnya.
"Kamu salah menilaiku kalau kamu merasa aku orang yang paling memahamimu. Enggak, aku enggak bisa dan enggak akan pernah bisa mengerti kamu."
Dia terdiam. Walau matanya tak bisa sembunyikan kejut yang kentara.
"Sejauh apa pun aku mengenalmu, aku enggak akan bisa mengerti jalan pikirmu."
Dia hanya berani menatap kotak cincin di hadapannya.
"Aku rasa itu sudah cukup menjawab permintaanmu."
Mentari masih hangat saat jawaban itu kuutarakan. Seolah itu adalah cahaya pertama yang menyapaku setelah sekian lama terpenjara. Helaan napas berat yang terdengar dari seberang kursiku menjadi pertanda bahwa aku telah berubah dari diriku yang dahulu.
"Siapapun bisa kau jadikan orang yang tepat. Kau bisa mencari mereka. Cincin itu mungkin akan cocok di jari salah satunya."
Ia menaikkan wajahnya menyandingi pandangku. Aku menolak sesalnya dengan satu senyuman yang ingin kutinggalkan di benaknya hingga ia tak sanggup melupakannya.
"Dosenku sebentar lagi masuk. Aku harus pergi."
Perpisahan kami dulu bukan inginku meski aku tidak yakin apakah semua terjadi karena kami tak sepadan atau memang karena hatinya yang bercabang. Aku bangkit dari kursi setelah menandaskan minumanku. Melangkah mantap meninggalkannya yang tak mampu menghentikanku.
Tak akan mampu. Tak akan kubiarkan dia kembali menyentuh hatiku.