[CERPEN] Menyambung Potongan Waktu (Bagian 2-selesai)

13:00 WIB
“Mbak Asti, nanti malam berangkat sama siapa? Kebetulan misuaku ndak bisa nemenin, bareng aku aja ya.”
“Guru-guru di sekolah katanya mau berangkat rombongan.”
“Si Tuan Putri ngajakin pakek dresscode warna abu-abu mendung, galau doi, Mbak. Ckck!”
“Oh iya Mbak Asti, map laporan bulanannya jangan lupa besok dikumpulkan ya.”.
Pada saat memilah potongan waktu yang menampilkan keberadaanmu tiba-tiba sms Mbak Luluk menjeda perhatianku. Entah, sekonyong-konyong wajah imut kerabatku itu muncul di benakku.
Kupikir-pikir di antara semua guru di sekolah hanya Mbak Luluk yang sangat memahamiku. Setelah membalas smsnya kutemukan satu potongan waktu yang menunjukkan kita bertiga sedang asyik bercengkerama di kantin sekolah.
Aku, Mbak Luluk dan kamu...
Kira-kira sedang mengobrolkan apa ya? Mungkin, kalau tak salah sebelum kau duduk bersama kita berdua, Mbak Luluk memintaku menceritakan mengapa suamiku memutuskan mentalak tiga kepadaku.
“Padahal kelihatannya dia lelaki melankolis baik-baik, karena bukan sekali-dua kali aku bertegur sapa dengannya, dan lagi ia tampan. Tapi lebih tampan suamiku sih. Haha," canda Mbak Luluk menyela ceritaku.
Lelaki baik, anak yang patuh kepada orangtua, ibunya dari keluarga berada dan tentu memiliki harga diri lebih daripada penghormatan orang lain kepadanya, mungkin ini yang membuatnya tak bisa berbuat banyak. Bukankah masih ada solusi dan alternatif? Betul.
Di antaranya aku harus mundur dari urutan yang pertama. Setelah mendengar jawabanku wajah Mbak Luluk berubah, nada bicaranya meninggi. Tapi lucu, andai disambung dengan celoteh mantan suamiku mungkin mirip dialog FTV yang melulu menjadikan wanita sebagai sumber segala kesalahan dalam kehidupan rumah tangga.
Mbak Luluk tak henti menyangkal ceritaku, meskipun telah kujawab berulang kali dengan jawaban yang pas, ia tetap saja bersikukuh. “Peran ibunya penting, Mbak.”, “Ndak bisa!”, “Ibunya punya wewenang, Mbak.”, “Tetap ndak bisa, seharusnya ibunya juga mengerti. Pokoknya ndak bisa!.”
Lantas barulah kemudian ada jarum, hendaklah ada benangnya. Oh maaf, mungkin lebih tepatnya ada angin, ada pokoknya. Kau hadir begitu saja membawa segelas kopi panas buatan Mbok Say, duduk bersama kami; tepatnya di depanku dan mulutmu –masih saja- seperti cerobong pabrik.
Lalu hening, belum sampai satu menit wanita yang sedang hamil berusia tiga bulan di dekatku -masih emosi- langsung saja menodongkan pertanyaan kepadamu, “Mas Ami, apa yang akan kau lakukan andai istrimu divonis mandul oleh dokter? Jawab sekarang juga...” Mata Mbak Luluk tertuju ke arahku, kau mematikan rokokmu.
Sempat kulirik, ekspresimu terkejut. Aku tidak menyangka Mbak Luluk melakukan hal itu kepadamu. Namun di samping itu aku juga penasaran dengan jawabanmu. Kau menengadah, tak sadar meraih gelas berisi air gula di depanmu dengan kedua tanganmu, kau taruh lagi. Kau pegang daun gelas kopi milikmu, lamat-lamat air kopi itu kau cecap.
“Vonis itu dari dokter ya, Bu,” katamu memastikan.
“Terus?” Sergah Mbak Luluk.
“Ya, selama bukan vonis dari Sang Maha Pecipta berarti kita masih bisa terus berikhtiar dan berdoa, Bu.”
Seketika kami berdua tertegun mendengar jawabanmu. Sejujurnya, saat itu aku semakin kagum kepadamu. Seingatku, setelah itu aku terpaku, lamunanku memunculkan banyak hal usai yang tak seharusnya kuingat lagi.
Oh, andai begini andai begitu, aku maunya begini kamu maunya begitu, seperti lirik lagu Numata Band saja. Tak lama kemudian terdengar suara hentakan kaki murid-murid datang dari lapangan bersamaan dengan kehadiran Mas Yusuf dan si Tuan Putri.
- Potongan Waktu, Kantin Sekolah. 1-September-2015.
***
Map laporan bulanan sekolah, binder, dan semua foto-foto dibiarkannya berantakan di atas kasur. Asti membeku di depan lemari. Dari ruangan tamu terdengar suara Luluk berkali-kali menghardik Asti supaya segera ganti pakaian karena rombongan guru di sekolah sudah berangkat sejak tadi. Tapi ia bingung, baju apa yang hendak dipakainya. Diintipnya pakaian Luluk melalui celah pintu kamarnya, tiba-tiba dalam sekejap Luluk masuk ke kamarnya, mengambil satu gamis, kardigan, dan kerudung berwarna ungu dongker dari lemari Asti lalu diletakkannya di kasur. “Ayo cepat pakek, kita kembaran.” Asti tergelak menyaksikannya. “Laporan bulanannya gimana?” tanya Luluk. Sembari membuka resleting gamisnya, Asti menunjuk ke arah kasur.
“Masya Allah berantakan sekali. Maklum ya, kamar perempuan.”.
“Darimana kau peroleh semua foto-foto ini, Mbak?,” Luluk melihatnya satu-persatu, semringahnya mekar saat melihat foto-foto tertentu.
“Lihat foto ini, bahkan aku sendiri pun tak punya. Hmm, ada artis saat hamil usia tiga bulan di kantin sekolah. Aduh, cantik sekali dia.
"Iya, iya, artis, Diana Punky."
"Eh, ada Mas Ami... Hahaha.” Tawa Mbak Luluk meledak.
Gawai Luluk berbunyi, ia buka pesannya ternyata dari Si Tuan Putri; ia memberi kabar sebentar lagi akan sampai di lokasi acara. Lalu mereka berdua pun bergegas berangkat.
Di tengah perjalanan Luluk merasakan ada sesuatu yang tak diketahuinya selama ini, imajinasi dan praduganya bercabang, tak temu ujungnya. Setelah mendengar jawaban temannya, darimana ia memperoleh semua foto-foto itu. Bagi Luluk tentu sangat janggal. Kenapa hanya Asti? Padahal foto-foto itu bagian dari dokumentasi sekolah.
***
15:59 WIB
Kurang empat jam lagi kita akan bertemu setelah sebulan lalu kau pamit mengundurkan diri. Ketika kau pamit dan meminta maaf kepada murid-murid, tak sedikit dari raut mereka menunjukan rasa kehilangan. Toh, sikap tanggung jawab, perhatian serta pengorbananmu pada mereka mungkin sudah mendarah daging. Isak tangis dan senguk haru memadati ruangan.
Kemudian seorang murid yang sangat dikenal sikap bandelnya, bahkan pernah terang-terangan kurang ajar kepadamu, berdiri, ia berbicara dengan nada keras, “Pak Ami, kalau cuma karena urusan keluarga di luar kota, mengapa harus sampai mengundurkan diri? Nanti kan masih bisa balik...,” di akhir kalimat nadanya menurun.
Arkian kau tidak menjawab malah menghampiri dan memeluknya. Aku membayangkan, di hari-hari selanjutnya ia takkan lagi menerima amarahmu, takzir atas kasih-sayangmu, dan nasihatmu. Mungkin di matanya kau adalah sosok orangtua ke dua yang tiada terganti. Pekik tangis semakin jadi, kusaksikan Mbok Say menangis, mengintip di balik jendela. Tepat di dekat si Tuan Putri; Mbak Lufita, tersedu-sedu, wajahnya memerah ranum. Mafhumlah, tidak ada bedanya denganku. Haha.
Menurutku, selama itu kau sukses menjadi guru sejati, kau juga berhasil menjaga muruah seorang guru. Aku sangat iri kepadamu...
Tunggu... mengingat si Tuan Putri rasanya aku perlu mencari potongan waktu yang menampilkan kenangan kita lagi supaya tulisan ini lebih menarik dan mungkin ingatanku tentang hal yang berhubungan denganmu bisa muncul.
Nah ini dia, pada potongan waktu ini! Beberapa guru berada di musala sekolah tengah membungkus kado. Aku duduk bersandar pada pintu sebelah kiri, sedangkan si Tuan Putri berada di pintu sebelah kanan. Banyak tumpukan kado yang sudah ia bungkus di dekat lututnya, sedangkan di dekatku cuma terbungkus tiga kado saja. Ia sadar kamera, dengan berpose ala Rosie the Riveter di poster “We Can Do It!” seolah menegaskan bahwa ia wanita tangguh.
Beberapa guru memberinya julukan berbeda-beda, Pak Saif mengejeknya dengan sebutan “lanang wurung”, Mas Yusuf bilang dia wanita fotogenik, kamu juga seringkali memanggilnya dengan “Tuan”, dan kami pun menyempurnakannya dengan imbuhan “Putri” karena sikapnya kepada kami seperti ibu negara yang otoriter. Aku juga pernah mendengar kau memujinya, lebih mirip Incess Syahrini. Haha.
Sebetulnya si Tuan Putri itu baik, selain cantik ia juga pintar (daripada aku sih), luwes, dan selalu memiliki inovasi untuk kemaslahatan sekolah. Salah satu kontribusinya; sebagaimana di potongan waktu ini, ia mengusulkan agar di bulan mei, lebih tepatnya karena hari buku nasional pihak sekolah supaya mengadakan lomba yang berkaitan dengan literasi. Dan akhirnya terlaksana juga.
Di potongan waktu ini, kau sedang berdiri di depan musala bersama Pak Saif, sedangkan sebagian guru laki-laki yang lain memilih duduk di teras musala. Pose kalian seperti pose boyband KPop di poster-poster yang bertebaran di Internet. Kebanyakan dari mereka terlihat merokok, tapi kau tidak.
Ya, aku sangat ingat. Kau berubah tidak seperti biasanya, bagaimana mungkin kau bisa berhenti merokok begitu saja?. Tidak hanya itu, kau juga menjaga jarak dariku. Tidak dari guru-guru yang lain apalagi dari Si Tuan Putri (dulu aku beranggapan begini, Haha). Dan ternyata... Ah, ganti potongan waktu lain saja. Oke, lanjut!
– Potongan Waktu, Musala Sekolah. 24-Mei-2015.
19:32 WIB
Sembari menunggu kedatangan Mbak Luluk, kulanjutkan memilih potongan waktu ini...
Kau benar-benar berhenti merokok, tapi batuk keringmu tidak (waktu itu), pakaianmu necis, gaya rambutmu persis salah satu raja sinetron tahun 90an, Primus Yustisio. Kau duduk di belakang Pak Kepsek, sedangkan aku duduk di sebelah Ibu Wakil Kepala Sekolah.
Kita sedang bertamu di rumah Mas Yusuf, dalam rangka menjalankan kunjungan rutinan tiga bulan sekali ke rumah semua pengajar di sekolah. Kebetulan waktu itu giliran di rumah Mas Yusuf. Meski banyak pengajar yang uzur tidak ikut, tapi kelihatannya kunjungan ini meriah sekali. Obrolan-obrolan kami renyah sekali, belum lagi disambut dengan dagelan licin Pak Saif.
Mas Yusuf selaku tuan rumah juga ramah, ia juga sempat sedikit bercerita mengenai ibunya, anaknya, dan almarhumah istrinya. Dan aku memerhatikanmu, kau tampak khidmat sekali mendengarkan. Lalu menyimak ocehan lucu Eny (anak Mas Yusuf) yang sedari-tadi mondar-mandir di depanmu. Kau memang pendengar yang baik. Menurutku kau cukup ayah-able.
Kita semua terlihat ceria menghadap ke arah kamera, dan lagi-lagi Mas Yusuf yang dijadikan tumbal pengabadian momen. Faktanya memang demikian, dari sekian banyak potongan waktu yang kusimpan keberadaan Mas Yusuf tidak ada.
Malah sebaliknya, wujudku pasti ada meskipun hanya duduk-duduk kantin sekolah atau berdiri sambil berbincang ringan di depan pintu satu kelas pada waktu jam istirahat. Hebatnya lagi, aku sebagai objek fotonya seringkali tidak menyadari hal itu. Kau mungkin juga merasakan hal yang sama. Mas Yusuf ahli memotret candid.
Oh iya, sewaktu pulang dari rumah Mas Yusuf aku mendapat bisik-bisik Ibu Wakil Kepala Sekolah. Kata beliau, ada yang berbeda di ruangan tamu Mas Yusuf sewaktu kunjungan tiga tahun silam (aku belum mengajar) dengan saat itu.
Dulu di dinding ruangannya banyak sekali terpajang foto mendiang istrinya. Mbak Luluk kebetulan yang berada di dekatku tiba-tiba mengiyakan hal itu, katanya tadi di ruangan tamu hanya ada foto Eny, neneknya, dan kaligrafi arab bertuliskan "Fatimah Al-Batul". Entahlah, aku tak memedulikan hal itu. Yang pernah kudengar darimu, istri Mas Yusuf telah wafat karena sakit sejak lama.
Hei, suara Mbak Luluk terdengar di ruang tamu. Sampai di sini dulu. Tulisan ini akan kuakhiri nanti malam.
- Potongan Waktu, Rumah Mas Yusuf. 20-Jumadil Akhir-1437
***
20:39 WIB
Akan kumulai dari mana tulisan penutup hari ini? Sebab terlalu banyak hal tak terduga dan membuatku bingung. Sampai-sampai aku tak bisa memilih potongan waktu lama mana yang akan kuceritakan.
Setelah kupertimbangkan, aku memilih potongan waktu yang baru saja kuperoleh saat menghadiri acaramu. Oh ya, aku tiba-tiba teringat percakapan (tentang potongan waktu) oleh Hercule Poirot (tokoh fiktif) buatan Agatha Cristhie.
Mengapa orang-orang suka menyimpan potongan waktu, karena mereka ingin mengenang dan mengingatkannya pada masa yang mustahil mereka kunjungi lagi, ini benar. Atau karena kesombongan? Sebagaimana Mbak Luluk tadi memuji dirinya cantik sekali saat hamil meskipun kuanggap itu hanya candaan, dan tak bisa kupingkiri, sejujurnya seringkali aku melakukan hal itu juga.
Demikian pula kau yang telah memasuki babak baru, menerima banyak potongan waktu. Baik...
Sesampai di tempat acara, tiba-tiba rasa penasaranku kepada sosok yang namanya disandingkan dengan namamu di kertas itu muncul. Pandanganku langsung tertuju ke arahnya.
Dia cantik, tubuhnya semampai, dengan mengenakan gamis putih yang dilapisi brokat bercorak bunga dan kerudung menjuntai dihiasi bunga melati yang melingkar, sungguh aura kesahajaan dan keanggunannya tampak kian memancar. Senyumannya merekah saat bersalaman dengan para tamu, tatapan matanya jernih.
Maka teranglah sudah dugaan yang selama ini kupendam. Dialah yang menjadi alasanmu sering pergi ke luar kota, yang menjadi prioritasmu untuk pindah ke kota lain hingga kau pamit mengundurkan diri dari sekolah, dan sudah tentu dia juga menjadi alasanmu berhenti merokok. Kelak kau akan memiliki anak-anak yang lucu, saleh-salehah serta tampan dan cantik dari rakhimnya.
Duh, maaf kelewatan sampai tidak fokus pada potongan waktunya. Selepas bersalaman dan foto bersama dengan kedua mempelai pengantin. Kami –semua pengajar sekolah yang hadir- kembali berkumpul ke tempat duduk. Pak Kepala Sekolah sempat mengajak kami bersama mendoakan kedua mempelai pengantin.
Tak sengaja kulihat Eny berbicara dengan ayahnya, lalu ia menghampiriku, menguluk salam kemudian meraih tanganku dan diciumnya begitu saja. Perasaan haru dan iba menjalar ke seluruh tubuhku, mengingat anak seusianya hidup tanpa belas kasih seorang ibu.
Mbak Luluk melihat kami berdua dengan tatapan terenyuh, sekilas berkedip-kedip seperti orang yang kelilipan. Aku paham, kita berdua sudah membicarakannya sewaktu perjalanan ke mari. Tapi semua hal itu hanyalah dugaan saja, kalau pun semua foto-foto yang kuterima itu kujadikan dalih untuk satu kesimpulan, menurutku itu belum cukup. Meskipun Mbak Luluk telah memastikan bahwa semua pengajar di sekolah tidak yang memilikinya selain aku. Entahlah...
Di potongan waktu ini, aku dan Eny berfoto berdua. Dipotret oleh ayahnya menggunakan kamera polaroid modern. Eny anak yang baik, sebaik sikap ayahnya.
Kuakhiri tulisan spesial ini dengan doa, semoga pernikahanmu, Mas Ami dengan Mbak Nisa diberkahi oleh Allah.
– Potongan Waktu, Walimah Ursy Fahmi & Nisa. 27-Oktober-2018.
***
Gawai Asti tiba-tiba berbunyi, ada kiriman pesan suara masuk... “Bu Asti, maaf saya kirim pesan malam-malam. Saya ingin meminta izin, bolehkah saya beserta keluarga menyambung, oh maksud saya bersilaturahmi ke rumah ibu hari ahad mendatang?,” dari Mas Yusuf. Deg!***