Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Monyet-monyet dan Pendulum

Pinterest.com

“Ini berongga. Kaudengar itu?” katanya sambil mengetuk-ngetuk lantai kayu di dalam ruanganku. Seperti bersujud, tetapi kepalanya mendongak ke arahku. Sebuah lantai kayu berbentuk persegi, dan bercelah di antara lantai sekitarnya.

“Jangan dibuka,” pintaku.

“Kenapa?”

“Aku tak tahu. Jangan dibuka.”

“Kau tahu apa isinya? Pasti ada sesuatu yang kausembunyikan.”

“Tidak sama sekali.”

“Aku tahu kau berbohong. Katakan bahwa kau berbohong. Ayo katakan.”

“Tidak.”

Ia terlihat menyerah. Namun wajahnya menyiratkan rasa penasaran. Ia berdiri memunggungiku dan mengambil segelas kopi, lalu menyeruputnya dalam-dalam, mengecap-ngecap, lantas tak bergeming di samping meja kerja. Tangannya meraba permukaan meja, ia terlihat gusar.

Aku tertunduk lesu. Mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Kuhisap dengan penuh takzim, merasai asap itu menggerogoti tubuhku. Lalu kuhembuskan asap tebal, mengepul. Sembari mengawasinya dari hal-hal yang tak kuinginkan, termasuk mencongkel lantai itu.

“Mungkin aku bisa memahami alam semesta. Tapi tidak untukmu. Aku tak bisa memahamimu. Aku tak tahu,” ia masih berdiri di tempatnya.

“Kau tak perlu memahamiku. Tidak ada sesuatu pun yang kusembunyikan.”

“O, ya? Kau selalu bilang begitu. Selalu begitu dan begitu. Tidakkah kau sadar, terlalu banyak rahasia pada dirimu?”

“Aku tidak bermaksud begitu. Tidak ada satupun yang kausebut rahasia itu.”

Aku beranjak, mendekat ke jendela dan membukanya. Hawa kota semakin panas. Gedung-gedung tinggi bercokol dan papan-papan iklan menjulang tinggi, besar-besar terlihat menyesakkan. Kendaraan melaju lesu di jalan-jalan. Saling berhimpitan, saling berebutan. Mereka berpacu dengan waktu di kota yang tak mengenal waktu. Di kejauhan, atau dalam kesamaran jalanan yang riuh, terdengar pelan azan Zuhur berkumandang. Tertatih-tatih, loyo.

“Aku punya kejutan untukmu,” katanya memecah lamunanku.

“Apa itu?”

“Bukan kejutan. Lebih tepatnya, ada kabar yang harus kuberitahu padamu.”

“Harus? Sedih atau gembira?”

“Rahasia,” katanya sedikit meledek.

“Jadi, gembira.”

“Mengapa kau bisa seenaknya menebak seperti itu?”

Ia duduk di meja. Matanya dan mataku sama-sama memandang ke luar jendela. Pemandangan kusut yang tak henti-henti. Seperti simpul tali yang tak pernah terbebaskan. Para pejalan kaki saling bersenggolan. Tiada tempat lagi untuk mereka berhenti atau istirahat sejenak. Jalanan pun kian sesak. Di hamparan kota yang begini luas, tapi justru sempit dan memusingkan bagai labirin.

“Semalam aku bermimpi aneh,” kataku memulai pembicaraan.

“Seperti apa?”

“Aku melihat tiga orang laki-laki tak kukenal. Mereka terkubur dari leher hingga ujung kaki-kakinya. Hanya menyisakan kepala di permukaan.

“Lalu?”

“Lalu ada gerombolan monyet datang menghampiri mereka, dan mencabik kepala-kepala itu. Gerombolan monyet itu saling berebut, mencakar, menggigit, menarik, merobeknya dengan tangan bercakar kecil mereka. Lantas memasukkan tiap-tiap potongan ke liang moncong dan mengunyahnya. Kepala-kepala itu digerogoti dengan cara yang bengis sampai ketiga laki-laki itu mati dengan kepala compang-camping."

“Kauyakin tentang mimpimu?”

“Entahlah. Tapi itu mimpi yang ganjil.”

“Apa sebuah pertanda?”

“Aku tidak mau menebak-nebak.”

“Sekiranya aku boleh menebak?”

“Hak semua orang. Terutama bagimu yang bisa memahami alam semesta ini, seperti katamu.”

“Monyet seperti apa?"

“Aku tidak begitu mengerti. Itu berekor panjang.”

Sambil tersenyum kecil. Seakan-akan mendapat sebuah tantangan. Ia berjalan menghampiriku. Kami berdiri berjenjang di muka jendela yang cukup besar itu. Masih memandangi kehidupan di jalan yang mampet. Seakan berharap ada sebuah kejadian yang akhirnya meleburkan kepenatan. Tapi jalanan masih kusut seperti biasa.

“Mimpimu, tak lain bercerita tentang monyet-monyet itu,” katanya memulai. Aku sedikit ragu pada ucapan pembukanya. “Akan kusuguhkan sebuah kisah yang mungkin ada kaitannya dengan mimpimu.”

“Kisah yang harus kuyakini kebenarannya?”

“Bisa harus, bisa tidak. Sesuai bagaimana kau mencernanya, bukan?”

“Baiklah. Silahkan,” diam-diam aku merasa tertantang. Ia sama sekali tidak mempunyai bakat klenik menafsir mimpi atau semacamnya. Akalnya juga tidak terlalu cemerlang. Jadi, ini adalah permainan menebak belaka.

“Bisa kita mulai dari sebuah catatan seorang pengembara dari Negeri Syam di masa Decius masih memimpin Efesus. Sayangnya, catatan kuno ini tidak memiliki nama penulis yang tercantum. Atau lebih tepatnya nama sang pengembara tersebut.”

“Ironis. Mestinya ia tak lupa membubuhkan namanya agar ia tetap dikenal hingga sekarang ini.”

“Ia pergi dengan empat puluh awak kapal,” lanjutnya tak menggubrisku. “Dengan panjang kapal empat puluh lima depa dan lebar lima belas depa. Mereka mengarungi arus ke timur, melalui jalur selatan, Samudra Hindia. Menyinggahi India, Malaka, Sumatera, Jawa, lalu ke Maluku, Flores, dan berlayar lagi ke selatan, sampai di selatan Benua Australia. Lalu, tepat di tenggara Benua Australia itu, terdapat sebuah benua besar seluas setengah Negeri Cina, tapi benua ini sudah tenggelam bak Atlantis. Di selatan benua tersebut, terdapat sebuah pulau kecil, yang bisa dikelilingi hanya menempuh waktu satu hari berjalan kaki.”

“Benua seluas setengah Negeri Cina terendam bak Atlantis. Kau yakin?”

“Ini berdasarkan catatan tersebut.”

“Lanjutkan.”

“Sang pengembara dan sekian awaknya memasuki pulau kecil itu, sebagai labuhan terakhir sebelum menjajaki Samudera Pasifik. Ketika baru sampai di pesisir, mereka diserang gerombolan monyet liar penghuni pulau itu. Dan gerombolan monyet itu mirip seperti yang kau mimpikan. Mereka pemakan daging dan berekor panjang.”

“Bagaimana nasib si pengembara?”

“Ia dan para awak melawan dengan menggunakan tombak dan pedang. Mereka berhasil membuat para monyet ketakutan, karena menumpas setengah dari gerombolan itu, tanpa kesulitan yang berarti.”

“Di dalam mimpiku, monyet-monyet itu memang tidak bertubuh besar.”

“Jelas. Lantas monyet-monyet yang masih bernyawa, meraka tangkap dan dibawa pulang ke negeri mereka. Si pengembara mengurungkan niatnya menjelajahi Pasifik. Ia justru pulang ke negerinya melalui jalur yang sama. Monyet-monyet itu dipersembahkan kepada Decius sebagai pemimpin tertinggi di Romawi Timur. Decius lalu memiliki ide, para monyet tersebut akan digunakan untuk mengeksekusi para tahanan di negeri itu. Dan eksekusi pertama dilakukan pada tiga orang musafir yang mengaku Nabi utusan Tuhan, dengan cara yang sama pada mimpimu.”

“Aku tak pernah mendengar kisah yang terakhir ini.”

“Kau hanya belum.”

Matanya tajam mengawasiku. Aku masih terpaku memandangi jalan-jalan yang kian memuakkan. Orang-orang masih kesulitan bergerak.

“Lalu apa hubungannya dengan mimpiku?”

“Tunggu sampai kau mendengar kabar yang kubawa untukmu.”

“Kabar gembira yang harus kudengar itu?

“Tentu kau masih ingat cerita tentang Abdul Kashim?”

“Ya. Nenek moyang kampung kita. Konon ia memiliki hidup yang panjang.”

“Tepat. Cerita tentang Abdul Kashim ini mengundang orang dari berbagai kalangan untuk memecahkan kebenarannya. Ia hidup panjang konon karena menyimpan secara diam-diam pendulum ajaib yang ia temukan di tengah pulau monyet itu. Abdul Kashim adalah salah satu awak yang mengikuti jejak si pengembara. Ia tidak mengikuti kelompoknya untuk pulang ke Syam. Justru menetap di Jawa, lalu saat Islam mulai menyebar, ia memilih menetap dan mendirikan kampung yang sama-sama kita tempati dulu. Hingga ia mati, dan pendulum itu tidak pernah ditemukan”

“Pendulum?”

"Konon, jika pendulum itu terus bergerak, maka pemiliknya tidak akan mati."

"Lantas?"

“Demi menguak sebuah misteri, dan mengira-ngira keberadaan pendulum itu, makam Abdul Kashim di kampung kita telah dibongkar satu minggu yang lalu oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai Kelompok yang Tercerahkan. Dan makam itu ternyata kosong tak berbekas.”

“Baiklah. Sekarang hubungannya dengan mimpiku?”

“Kau bermimpi tentang gerombolan monyet ganas pemakan manusia, lalu tanpa sengaja mendengar kisah sang pengembara dan sebuah kabar tentang makam Abdul Kashim yang kosong. Semua menjurus pada sesuatu rahasia, bukan?

“Kesimpulan macam apa itu?”

“Apa yang ada di balik lantai kayu itu?” mukanya menoleh lantai kayu berjarak dua depa di belakang kami.

“Bukan apa-apa,” kataku cemas. Hawa di ruangan ini semakin panas. Kami berpeluh keringat. Dan pembicaraan ini makin mengarah ke arah yang tak kusukai.

“Baiklah. Aku ingin meihatnya.”

“Kau tak berhak.”

“Hanya memastikan,”

“Jangan pernah kausentuh itu,” aku menoleh padanya, sedikit mengancam.

“Aku tidak akan menyentuhnya. Hanya akan membuka dan melihatnya.” Ia berjalan menjauh setengah berlari, mengambil linggis yang tergolek di sampingnya dan mendekati lantai kayu berongga itu. Ia hendak mencongkelnya.

“Jangan!”

Ia tak menggubrisku lagi. Tangannya cepat mencongkel.

Ia melotot. Ia telah mengetahui rahasiaku. Aku memalingkan muka, mengawasi jalan-jalan, berharap sebuah bencana datang menghancurkan kota ini dan seluruh isinya.***

 

Share
Topics
Editorial Team
Almer Sidqi
EditorAlmer Sidqi
Follow Us