[CERPEN] Pulang Malam

Angin malam yang dingin menusuk tulang. Hani duduk di ruang tamu, melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 23.47. Ruang tamu itu kecil, dengan sofa tua berwarna cokelat yang bantalan dudukannya sudah sedikit kempis. Lampu gantung di tengah ruangan memancarkan cahaya redup kekuningan, membuat bayangan panjang di dinding yang kosong kecuali satu foto keluarga. Foto itu diambil lima tahun lalu, saat Iqbal masih ceria dan baru masuk sekolah dasar. Meja kecil di depan Hani dipenuhi buku-buku doa dan segelas teh yang sudah dingin.
Rasa gelisah menjalar seperti api yang sulit dipadamkan. Anaknya, Iqbal, belum pulang. Anak laki-lakinya yang baru saja menginjak usia 16 tahun itu belakangan sering membuatnya khawatir. Iqbal adalah satu-satunya buah hati yang ia dan suaminya, Farid, tunggu selama hampir sepuluh tahun. Perjalanan panjang yang penuh air mata dan doa, dibumbui dengan cibiran keluarga suami yang terus menyalahkan Hani karena belum juga memberi keturunan.
Iqbal sebenarnya anak yang tidak neko-neko. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang sopan dan pendiam, meski tak terlalu menonjol di sekolah. Namun, akhir-akhir ini ia sering pulang larut malam. Ketika Hani akhirnya tahu bahwa Iqbal mulai mengenal rental PlayStation di desa sebelah, ia merasa lega sekaligus khawatir. Ia lega karena alasan Iqbal pulang larut bukan karena hal yang lebih buruk, tapi khawatir bahwa lingkungan baru itu akan membawa pengaruh yang tidak baik.
"Ke mana lagi dia?" Hani bergumam, menatap layar ponsel yang tak juga berbunyi. Farid sudah tertidur di kamar, kelelahan setelah seharian bekerja sebagai sopir truk. Sejak pagi, Farid sudah berangkat dari subuh, menyetir truk muatan hasil bumi ke kota tetangga, pekerjaan yang membuatnya sering absen dari momen-momen penting keluarga. Meski demikian, Farid selalu berusaha menjadi pendengar yang baik setiap kali Hani mengeluhkan masalah Iqbal. Tapi malam ini, ia terlalu lelah untuk ikut berjaga.
Hani mencoba menghubungi nomor Iqbal, tapi seperti biasa, hanya nada sambung yang terdengar. Sudah dua bulan ini, Iqbal sering pulang larut malam. Awalnya, Hani mencoba percaya bahwa anaknya hanya bermain di rumah teman. Namun, cerita-cerita dari tetangga mulai membuatnya berpikir lain. Ada yang bilang Iqbal terlihat nongkrong di tempat gelap dengan sekelompok remaja lain. Ada juga yang menyebutkan bau rokok yang samar tercium dari jaketnya.
"Ibu, jangan terlalu banyak pikiran. Iqbal cuma butuh waktu buat cari jati diri," ujar Farid tadi sore sebelum tertidur. Meski kata-katanya terkesan menenangkan, Hani tahu suaminya pun sebenarnya khawatir. Ia hanya mencoba menyembunyikan rasa takutnya demi tidak menambah beban Hani.
Pintu depan tiba-tiba berderit. Hani menoleh cepat. Iqbal muncul dengan langkah gontai. Wajahnya terlihat kusut, jaketnya berbau asap, dan matanya seperti kehilangan kilau ceria.
"Dari mana kamu, Bal?" tanya Hani, mencoba menahan nada suaranya agar tetap tenang.
"Main, Bu. Cuma main," jawab Iqbal pendek sambil melewati ibunya menuju kamarnya.
Hani berdiri, menghalangi langkahnya. "Main sampai hampir tengah malam? Kamu pikir ibu nggak khawatir?"
"Iqbal udah besar, Bu. Jangan kayak anak kecil terus," balasnya dengan nada yang mulai naik.
"Justru karena kamu besar, ibu makin takut," kata Hani sambil menahan air matanya. "Takut kamu salah pilih jalan. Takut kamu kenapa-kenapa."
Iqbal terdiam, tapi matanya tetap penuh pemberontakan. "Ibu nggak ngerti aku," gumamnya, sebelum akhirnya melewati ibunya dengan sedikit dorongan.
Hani tak sanggup lagi menahan tangis. Ia tahu, remaja seperti Iqbal sering merasa dunia orang dewasa terlalu mengekang. Tapi ia juga tahu, dunia luar bisa sangat kejam. Malam itu, Hani berdoa lebih lama dari biasanya, memohon agar anaknya selamat dari bahaya yang tak ia mengerti.
Esok paginya, Hani terbangun dengan ponsel di genggaman. Ada pesan dari Iqbal:
"Maaf, Bu. Aku nggak pengen bikin ibu takut. Aku cuma bingung sama hidup aku sendiri. Aku janji nggak akan bikin ibu khawatir lagi."
Pesan itu singkat, tapi cukup membuat hati Hani sedikit lega. Ia tahu perjalanan mereka berdua masih panjang, tapi setidaknya, ada harapan di tengah rasa takut yang membelenggu.