Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Sepatu Usang di Tepi Sungai

ilustrasi sepatu(unsplash.com/Dominik Martin)

Laras menatap sepatu ketsnya yang sudah usang di tepian sungai. Angin sore berbisik pelan, membawa suara tawa Bima yang sedang asyik bermain layang-layang.

“Aku benci sepatu ini,” gerutu Laras sambil menyepak kerikil ke air. “Semua teman sekolah punya sepatu baru, kecuali aku!”

Bima mengendurkan tali layangannya lalu duduk di sampingnya. “Tapi, Laras, sepatumu masih bisa dipakai. Lihat sandalku!” Ia mengangkat kaki kanannya, menunjukkan sandal jepit yang diikat dengan kawat. “Ayah bilang, syukur itu kunci bahagia.”

Laras mengerutkan hidung. “Kamu selalu bilang begitu. Tapi aku mau sepatu seperti milik Salma! Yang ada lampunya!”

Sebelum Bima sempat menjawab, suara parau terdengar dari belakang mereka. “Ah, anak-anak... Maukah kalian bantu Oma memetik daun singkong?”

Mereka menoleh. Oma Rini, perempuan tua berkerudung biru yang tinggal di gubuk tepi hutan, berdiri dengan keranjang bambu di tangan. Wajahnya keriput, tapi matanya berbinar seperti emas tua.

“Oma Rini! Boleh aku ikut?” tanya Bima langsung melompat. Laras menghela napas, tapi akhirnya mengikuti.

Di kebun Oma Rini, Laras masih cemberut. “Oma, kenapa Oma tidak pernah minta sesuatu yang baru? Gubuk Oma reyot, tapi Oma selalu tersenyum.”

Oma Rini tertawa kecil. “Dulu, Oma seperti kamu, Laras. Oma pernah tinggal di rumah megah dengan lampu kristal. Tapi saat perang datang, Oma kehilangan segalanya.” Ia memetik daun singkong dengan hati-hati. “Saat itu, Oma baru sadar... Bukan harta yang bikin kita kaya, tapi rasa syukur.”

“Tapi bagaimana caranya?” tanya Laras ragu.

“Coba pejamkan matamu,” ujar Oma Rini. Laras menuruti. “Dengarkan suara burung di atas, rasakan angin yang membelai rambutmu, cium aroma tanah setelah hujan. Itu semua hadiah gratis dari Tuhan. Oma bersyukur masih bisa merasakannya.”

Bima menyela antusias. “Aku juga! Aku bersyukur masih bisa main layang-layang, meski sandalku jelek!”

Laras membuka mata perlahan. Di depannya, Oma Rini mengeluarkan kue lumpur dari kantongnya. “Ini, buat kalian. Oma bikin dari ubi hasil kebun sendiri.”

Laras menggigit kue itu. Rasanya manis dan hangat. “Enak sekali, Oma!”

“Lihat, Laras. Kue ini sederhana, tapi bisa bikin senang,” kata Bima sambil mengulum kecipir.

Mata Laras tiba-tiba berkaca-kaca. “Maafkan aku, Oma. Aku terlalu sibuk mengeluh sampai lupa... Aku masih punya keluarga, teman-teman, dan...” Ia menatap sepatunya. “Sepatu ini sudah menemani aku jalan ke sekolah setiap hari.”

Oma Rini mengusap kepala Laras. “Tak apa, Nak. Syukur itu seperti bunga jelatang. Sekilas tak menarik, tapi akarnya kuat dan bisa jadi obat.”

Sepulang dari kebun, Laras berlari ke rumah. “Ibu, Ayah! Terima kasih sudah membelikan aku sepatu ini!” Ia memeluk orang tuanya erat.

Bima yang melihat dari jendela hanya tersenyum. Ia tahu, hari ini Laras telah menemukan harta yang tak ternilai.

Sejak itu, Laras tak pernah lupa menulis tiga hal yang disyukurinya setiap malam. Dan di sudut desa, Oma Rini masih tersenyum, tahu bahwa biji syukur yang ia tanam telah tumbuh subur.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ahmad Baihaqi Salam
EditorAhmad Baihaqi Salam
Follow Us