Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Merci Mille Fois, Ayah...

today.com

Merci Mille Fois1, Ayah

*Terima Kasih Banyak, Ayah

 

Langit semakin gelap bersamaan dengan denting jam yang entah dari mana berdenting sebanyak 12 kali. Ada nada spiritual yang tiba-tiba merembes dan mengalir.

Aku tak mengerti, mengapa semua menangisimu?

Aku belum paham, mengapa aku harus hadir pada detik ini di depanmu?

Aku masih saja bodoh, dengan kebencian terhadap kalian dimasa lalu. Kupikir, memendam semua dendam—untuk kalian—adalah takdir yang ciptakan Tuhan pada kehidupanku.

Tapi aku mamahami, setidaknya aku harus berdamai dengan masa lalu yang merupakan sejarah, masa lalu yang tak akan pernah bisa diubah maupun dibenahi, masa lalu yang meskipun itu merupakan luka tapi telah memberiku kesempatan untuk ada hingga saat ini.

Jangan terluka, dan maafkan putri kecilmu, yang selalu kau timang, “ini anakku yang akan memasakkanku nanti jika aku sudah tua”, dengan wajah tersenyum kau pamerkan aku pada tiap orang yang lewat depan rumah. Selalu.

***

Bonheur, 11 Maret 2013

Tujuh jam sebelum penerbangan pertama menuju Indonesia. Tergesa-gesa Ajeng menyeret koper hitamnya menyusuri jalanan bersalju kota La Neige. Hari masih terlalu pagi. Sisa-sisa salju semalam secara praktis menghambat langkahnya yang sedikit goyah karena koper yang diseretnya. Pada beberapa bagian jalan tampak salju mulai mencair dan itu semakin membuatnya hampir terpeleset. Dilihatnya jam tangan Alba yang bertengger manis di pergelangan kanannya. Masih cukup, pikirnya. Ia harus mengejar kereta menuju ibu kota La Palais-satu-satunya kota di negara ini yang memiliki bandara udara.

Udara terasa semakin dingin, angin musim dingin berhembus membawa salju beserta uapnya, ini membuatnya harus merapatkan parka bulu selututnya yang sebenarnya telah tampak semakin usang karena warnanya yang berubah dari dark brown menjadi sedikit kemerahan. Bonheur, bukan negara yang memiliki kapasitas musim panas yang panjang. Lebih dari tiga perempat waktunya merupakan musim dingin bersalju.

Ini berarti, Bonheur bukan tempat yang nyaman untuk manusia kurus sepertinya, lebih sopan—tidak cocok untuk manusia tropis yang terbiasa dengan sengatan matahari. Langkah Ajeng semakin terseok mengingat sepatu bot yang sama usangnya dengan jaket kulitnya terasa semakin berat karena salju yang mencair, membuatnya harus sesekali mengengkat kopernya untuk menghindari genangan.

Dalam hati, Ajeng mengutuk otaknya yang sedikit pelupa-karena lupa memberi respon bahwa sepat bot kulit bukan fashion yang cocok untuk jalanan tristesse seperti ini. Kejengkelannya membesar karena otaknya hanya berpikir bahwa sepatu bot ini adalah kenyamanan yang paling cocok untuk ibu kota La Palais yang terkenal dengan beef pie hangat, Fondue Savoyarde dengan keju yang meleleh serta coklat nut yang panas. Ah terlalu nikmat pikirnya.

Langkahnya tiba dipersimpangan besar tristesse Avenue. Tempat berjejer toko-toko souvenir yang menjual separuh lebih barang kerajinan tangan berupa rajutan, dream catch, kartu ucapan berbahan daun mijin merah serta beraneka pahatan es berbagai ukuran diletakkan di dalam kubus-kubus freezer. Pahatan es menjadi salah satu kerajian terbaik di kota La Neige. Banyak pemahat es dari kota ini yang sukses dengan galeri es-nya.

Ajeng sering pula menghadiri pameran seni es yang diselenggarakan di ibu kota La Palais maupun di beberapa kota lain. Menurutnya, selalu ada bisikan yang ia dengar dari benda dingin yang membeku itu. Sekali waktu melihat pahatan es kereta labu, dia mendengar dirinya yang menangis dipojokan gudang, sekali waktu bisikan ayahnya yang mengomel karena dia pulang terlambat, dan sekali waktu bisikan abangnya yang membeli es miami di toko kelontong Bu de Ling. Ah, banyak bisikan dalam pahatan es, bisikan yang menurutnya terasa dingin-asing-dan memuakkan?

Kembali pada jejeran toko souvenir yang tampak meriah dengan lampu kecil berwarna-warni. Sebelum hari ini, Ia sering melihat isi toko souvenir itu, bahkan ia hafal dengan pemiliknya. Maklum, sudah tiga tahun dia di sani. Tinggal di flat sederhana dengan harga di miring. Awalnya bukan sesuatu yang mudah untuk beradaptasi dengan kehidupan yang serba dingin, beku, kesepian, sendiri dan terluka. Namun setidaknya, tak semengerikan ketika Ajeng masih ingusan.

Di kota ini, Ajeng bekerja sebagai salah satu penulis journal lepas, penulis cerita dan sesekali ikut membantu pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing di ibu kota. Bukan sesuatu yang sangat sibuk, hanya “sok sibuk”,dan berusaha untuk menjadi sibuk.

Sebenarnya persimpangan yang ia tuju adalah sebuah pemberhentian bis dekat toko-toko penjual souvenir tadi. Tepat ketika Ajeng sampai di halte, sebuah trans PA12 yang termasyur karena keramahan para sopirnya serta angkutan paling mewah untuk menuju kawasan lebih ramai selain tristesse Avenue tampak berhenti. Beberapa penumpang turun. Ekor matanya menangkap sosok pasangan madame L’Tiare dan monseur McLagen.

Mereka adalah pasangan pertama yang Ajeng kenal—sebelum Ajeng terbiasa dengan makanan kota La Neige maupun La Palais, pasangan inilah yang membuatkannya sup bawang dengan potongan daging sapi yang kini dia tahu bahwa daging tersebut merupakan daging bintang satu dengan harga setara dengan hasil penulisan 3 jurnalnya! Kemarin Ajeng telah menyampaikan pada pasangan tua berumur 50-an tersebut, bahwa hari ini dia akan kembali ke Indonesia untuk mengunjungi seorang kerabat. Entah akan kembali ke Boheur atau tidak, tapi Ajeng mengatakan bahwa dia akan berusaha untuk memperbaiki apa yang seharusnya tidak pernah rusak.

oh my dear!” sapa Madame L’Tiare seraya merangkul Ajeng, tak lupa satu ciuman mendarat di dahi Ajeng. Ciuman hangat karena uap nafas musim dingin, menyisakan jejak hangat sebuah kasih sayang. Ajeng selalu merasa rapuh ketika mendapatkan semua itu dari orang yang bahkan hanya dikenalnya selama tiga tahun. Bagaimana mungkin ini tidak pernah kau dapatkan dari orang yang ada disampingmu sejak kau lahir? Mangapa mereka bisa tidak pernah menyisakan tanda hangat dalam memori mu?  

“Kau benar-benar akan pergi, dear?”

“Oui, maman”, jawab Ajeng seraya tersenyum kecut.

“berbahagialah, anakku”, kini dengan tangan kiri madame L’Tiere mengusap pipi Ajeng. Hangat. andai ini tangan ibuku. Aku rela mengorbankan apapun. Teriak Ajeng dalam hati.

“Sudahlah sayang, Àej akan bahagia” kata Monseur seraya menepuk punggung istrinya.

Kami pun berpisah. Sopir bis membunyikan klakson tanda akan berangkat. Dari pintu bis yang hampir menutup kuteriakkan kata-kata yang sering aku ucapkan untuk pasangan ini.

Merci mille fois, Maman! Papa! Aku menyayangi kalian!!”, teriak Ajeng seraya melambaikan tangan. Airmatanya lolos dari sudut yang selalu mengering.  

***

Bonheur, 11 Maret 2013

Bis berjalan melawan udara salju. Di dalam bis, udara terasa lebih hangat. Ajeng melepas sarung tangan bulu yang ia kenakan sejak meninggalkan flat kecil di pinggiran negara Bonheur yang akan ia tinggalkan sekarang. Matanya menerawang keluar melewati jendela. Diingatnya tatkala ia masih kecil. Saat itu usianya sembilan tahun dan abangnya 13 tahun. Keluarganya bukanlah keluarga kaya raya dengan rumah gedongan, keluarganya adalah keluarga kecil terdiri dari ayah, ibu, abang, dan dia. Mereka tinggal disebuah pinggiran kota dengan sungai bengawan solo yang indah namun menghanyutkan.

Masih teringat jelas tentang malam penuh perkara. kala itu sedang musim pancaroba yang dipercaya sebagi musim pembawa penyakit. Malam yang sunyi-penuh debu—udara pengap, angin dari selatan berhembus membawa debu, beserta dingin yang bertabrakan dengan pengap yang menjenuhkan menyisakan lembab dimana-mana. Awalnya semua baik-baik saja, entah bagaimana tiba-tiba ayah marah besar kepada ibu yang menangis dengan pisau ditangannya yang gemetar.

Melihat tingkah ibu yang berlebihan, ayah semakin murka. Satu-satunya meja kayu reot berjamur di sana-sini menjadi sasarn kebrutalan Ayah. Satu pukulan lolos mendarat diwajah ibu yang sudah pucat sejak dua hari yang lalu. Ya, karena hari ini ibunya masih sedikit demam. Ajeng kecil tak tega melihat sang ibu. Dipukulnya sang ayah dengan tangan kecilnya yang lemah. Kini ayahnya berbalik murka kepada Ajeng kecil. Di dorongnya Ajeng kecil ke arah tembok. kepala Ajeng kecil membentur tembok. Sukses menyisakan darah dan luka yang berbekas hingga kini dia dewasa.

“Urus anakmu, istri jalang!” teriak ayah Ajeng seraya menunjuk Ajeng kecil. Tak cukup melemparkan Ajeng kecil ke tembok, sang ayah beralih menendangi tubuh kecil Ajeng. Tangisan Ajeng kecil meledak, bekas-bekas lebam tampak menghiasi tangan kaki dan tubuhnya. Lindungi kepalaku dengan tangan, kata Ajeng dalam hati. Lindungi mataku, teriak Ajeng seraya terus mempertahankan kedua tangannya di depan kepala dan wajahnya. Darah mengalir dari pelipisnya, bau anyir darah merebak masuk kedalam hidungnya yang terus saja mengeluarkan ingus yang setara banyaknya dengan air mata yang tak mau berhenti. Itulah pertama kali dia tahu seperti apa bau darah. Terlalu parau untuk mengatakan, “cukup harum untuk aroma ruang tamu yang lembab”.

Dalam kesakitannya, Ajeng kecil berpikir bahwa ibunya akan membelanya, setidaknya menyelamatkannya dari tendangan yang bertubi-tubi. Namun semua diluar ekspetasi, sang ayah menendangi tubuhnya yang kelaparan, dilanjutkan sang ibu menyeret Ajeng menuju belakang rumah. Memukuli pantatnya seraya menangis.

“Jangan memukul! Jangan membantah! Kau harus dipukul! Anak nakal!” teriak ibunya berturut-turut. Tangis ibunya pecah, membaur bersama malam yang semakin pengap dan dingin. Ajeng ingat betul bulan yang benar-benar bulat sedang mengejek keluarganya, jika sudah demikian, hanya es krim miami di toko kelontong miliki Bu de Ling lah yang mampu membuatnya percaya bahwa hidup masih terlalu indah untuk ditangisi.

Lamunan Ajeng pecah tatkala mendengar tangisan anak kecil didepannya, kira-kira usianya tujuh tahun. Sang ibu tampak sibuk menenangkannya, memberikan susu dan mainan. Anak itu masih saja menangis. Ajeng menghiburnya dengan memainkan salah satu trik sulap yang ia pelajari dari Khan—temannya asal India. Menunjukan koin, menghilangkannya ditelapak tangan, terakhir mengambil koin dari belakang sang anak. Kini koin muncul menjadi lebih besar.

merci, nona!”, teriak anak kecil itu dengan  riang. Dan tangisannya pun, berhenti.

***

Boheur, 11 Maret 2013

Di halte Plus Tard Avenue dia berhenti, mengambil kereta menuju La Palais. Dilihatnya jam tangan. Cukup lama untuk keberangkatan pesawat ke Indonesia, pikirnya. Dikenakannya kembali sarung tangan coklat berbulu yang dibelinya beberapa bulan yang lalu. Dibenahinya topi bulu berwarna senada dengan parka coklat tuanya. 

Kembali dia menyeret koper kecil hitam yang sudah sedikit-karatan. Dia menyeberangi jalan, berlari seraya memegangi topinya yang nyaris lolos dari kepala kecilnya. Tujuannya adalah kereta bawah tanah yang terletak di samping bangunan cafe milik seorang India. Dia bergegas melewati Cafe yang tampak hangat, aroma jahe lolos keluar dari Cafe. Ah hangatnya, pikir Ajeng seraya menegakkan kepalanya menatap seorang laki-laki yang tak tampak seperti orang India, ya.. hanya selain kulit gelapnya yang mungkin pemberian ayah atau ibunya yang berasal dari India.

Matanya? Sepertinya hijau, mungkin buyutnya Inggris, pikir Ajeng ketika orang itu menatap Ajeng dan tersenyum. Dengan canggung Ajeng sedikit membungkuk, budaya orang timur pikirnya. Sedikit sulit mendapati orang timur yang bertingkah selayaknya orang timur di negara ini. Selain karena akan tampak jadul mungkin itu bukan trend orang timur yang patut untuk dibanggakan di sini. Ajeng sering menyebut ini sebagai teori dominanitas, yang berkekuasaan terbesarlah yang menang. Dan ayahnya adalah simbol dominanitas yang absolute.   

***

Tak ada yang menarik di dalam kereta. Semua terasa sama seperti hari-hari yang lalu. Setiap orang yang bediri dengan muka lusuh seperti dokumen-dokumen utang piutang yang lama tak tersentuh karena hutang yang membengkak. Sepasang kakek-nenek menerawang jauh, mungkin memikirkan sisa hidup yang tak lama, atau menyesali masa lalu bersamaan dengan anak-cucu yang semakin menjauh. Ah, ada pula seorang muda yang Ajeng perkirakan berusia 20-an. Wajahnya sedikit lusuh dengan buku tebal ditangannya. Dia menunduk membaca.

Inilah budak intelektual, pikir Ajeng.

Selalu menatap lurus pada intelektual robotitas, artinya intelektual yang menciptakan robot-robot canggih dengan otak kosong penuh program. Dulu sekali dia pun seperti itu. Lupa bagaimana cara bersopan-santun dengan orang namun 100% tak pernah lupa pada rumus-rumus maupun teori super ribet yang memecahkan kepala. Membutuhkan seminggu lebih untuk menyadari kesalahan kita, namun kurang dari lima menit untuk bisa menyelesaikan rumus integral dengan banyak variabel.

Intelektual robotitas. Menurutnya, ini tercipta karena peran penting sang dominanitas, penguasa keputusan. Para tetua yang mengatakan “kami sudah hidup lebih lama, banyak asam garam kehidupan yang sudah kami telan”. Ya, dulu dia seperti itu juga karena presiden dalam keluarganya yang mengagungkan intelektualitas daripada sosialistis.

“Dengan intelektual yang tinggi kamu akan dihargai orang”, doktrin ayahnya dengan nada tinggi yang selalu dibenci Ajeng.

Hal yang paling diingatnya adalah ketika dia tidak juara kelas, maka sekian  pukulan akan mendarat di tangan, kaki, dan pantanya. Setelah itu ibunya akan menangis terisak digudang. Sadangkan abangnya sudah pergi duluan ke asrama. Adegan berikutnya adalah meja makan yang tampak kosong-tak ada nasi maupun lauk yang bararti dia harus kelaparan untuk sehari. Sang ayah semakin lama semakin tampak seperti bandit berkumis lebat. Dan ibunya, seperti cinderella tanpa ibu peri. Memuakkan!

***

Ponorogo, 19 Maret 2013

Dibukanya jendela kamar dengan senyum yang mengembang. Ocehan burung kutilang terdengar sahut-menyahut. Dia tersenyum lagi, lagi, dan lagi. Selanjutnya dia mendesah keras. Matanya menerawang pada pohon pisang yang tumbuh beberapa meter dari pintu jendelanya. Pemakaman ayahnya baru selesai kemarin hari, banyak piring dan perlengkapan lain yang belum terbereskan karena banyak tamu berbelasungkawa yang datang.

Semua telah berakhir, pikirnya.

Embun pun tahu itu, lanjutnya dalam hati.

Hari ini dia akan melakukan segala hal yang ingin dia lakukan dengan ringan untuk pertama kalinya. Tak akan ada yang melarangnya, memarahinya, memukulinya, dan membuat bekas-bekas luka baru di tubuhnya. Tak ada lagi cerita pemaksaan kehendak, penentuan kehendak, bahkan pembuat kehendak. Ajeng pikir, bahwa mungkin dia “benar-benar” bahagia.

Ada yang menepuk punggungnya. Ditolehkannya wajah bahagia Ajeng, dan di temuinya wajah orang yang menjadi alasan mengapa dia “bersedia” untuk kembali ke Indonesia.

“Kau bahagia?”

“Abang juga?”.

Sosok disampingnya hanya mengedikkan bahu. “kau tahu mengapa pohon pisang itu ditanam di dekat jendela kamarmu?”, tanya abang Ajeng seraya menunjuk pohon pisang yang memiliki daun-daun yang super lebar.

Hah? Perlu alasan?”, tanya Ajeng balik

“Bukankah kau takut pohon sawo yang sebelumnya di situ?”

Ajeng hanya mengangguk.

“dan sekarang tidur mu nyenyak?”

Sekali lagi Ajeng mengangguk.

“Abang tahu bahwa semuanya akan menjadi seperti ini”, kata abang Ajeng seraya mengelus rambut Ajeng lembut. “Nah, adikku kita jadi jalan-jalan dan pergi untuk membeli es krim?”

“Tentu!”, jawab Ajeng singkat dengan masih menunduk memikirkan apa yang disampaikan abangnya tadi. Ada gejolak dalam dirinya yang tidak dia pahami. Ada penyesalan yang semakin merambat mendekatinya, ada pula masa lalu yang masih mengikutinya, memohon padanya untuk diikhlaskan. 

Matahari bersinar dengan terik. Bersiap diri untuk menjadi saksi. Seperti halnya bulan purnama yang pernah menjadi saksi, bahwa ada yang menangis dan terluka. Lukanya menganga-dibawa hingga dia tumbuh dewasa. Dijadikannya kebencian yang tak pernah menguap meskipun salju-salju yang menemaninya terus menguap seiring matahari yang terbit selanjutnya terbenam.

***

11 Maret 2013

Di dalam pesawat penerbangan menuju jakarta. Kepalanya sedikit terasa pening karena mimpi buruk yang sempat menyapanya dalam tidur sejenak setelah sekian jam menyeret dan menenteng koper kecil tuanya. Beberapa detik nafasnya memburu. Satu jam sebelum pesawat mendarat. Diraihnya sebuah majalah dari dalam bag penumpang. Sampai detik ini Ajeng masih berpikir untuk membeli tiket pulang ke Boheur. Tak jadi menginjakan kaki di rumah tergelap dan terlembap yang menjemukan. Jika sudah seperti ini maka samar-samar terdengar kembali ucapan abangnya dalam telpon interlokal sambungan satu minggu yang lalu kala dia sedang menyiapkan liburan bersama mahasiswa asing yang ditentorinya.

“Adakalanya kita harus melempar batu pada anak yang menyiksa kita, tapi adakalanya—memeluk anak tersebut dan mengatakan aku menyayangimu adalah hal terwaras yang pernah kita lakukan. Banyak alasan untuk membenci seseorang tapi untuk menyayangi seseorang hanya diperlukan satu alasan yang meluluhkan seratus alasan kebencian. Beliau ayahmu, ayahku pula. Beliau ibuku, ibumu pula. Semua ada batasan, bahkan air yang megalirkan pun menemukan ujungnya”, kata abangnya  dalam sambungan.

Air mata Ajeng menetes, menyiratkan bahwa dia mencoba memutuskan pilihannya bersamaan dengan pesawat yang mulai mendarat. Mengantarkannya pada pilihan yang seharusnya ia lakukan tiga tahun yang lalu.

***

Ponorogo, 19 Maret 2013

Tangisnya pecah. Kata-kata abangnya meluluhkan segala ego kebencian yang selama ini bersemayam dan tertata rapi dalam pikiran dan perasaannya. Hatinya tersentak antara bingung dan ketidakpercayaan. Banyak bayangan tentang ayahnya berkelebat dalam benaknya. Ada sebuah sakit yang muncul dalam arteri pembuluh darah dalam jantung hingga syaraf otaknya, sehingga menciptakan sakit untuk bernafas bahkan beripikir. Seluruh air matanya tumpah ruah membanjiri sekujur tubuhnya. Baginya, semua air mata yang ia keluarkan masih belum sebanding dengan sakit yang ia rasakan kini.

“Maaf jika rasa es krimnya tak selezat dulu”, kata abangnya seraya menyodorkan es krim miami yang dijanjikannya ketika ajeng masih di Bonheur dulu. Ajeng bingung.

 “Ini bukan dari orang yang sama, lo...” tanya abangnya lagi.

“bukankah dulu..”

 “itu dari ayah, ayah yang menyuruhku membelikannya untukmu. Karena ia tahu kau menyukainya”. Ada perasaan yang runtuh.

Ayah mengalami gangguan syindrome. Dalam praktiknya dia akan memukuli orang disekitarnya ketika dia tak meminum obat penenangnya. Asal kau tau, bukan harga yang murah untuk bisa mendapatkan obat itu. Ini sebabnya ayah rentan kumat dan memukulimu. Tapi setelah itu ayah akan memukuli dirinya seperti Ia memukulimu. Itu juga alasan kenapa dia tak ingin kau memandikannya. Dia tak ingin kau menyalahkan keadaan. Cukup kau menyalahkannya, itu kata Ayah.

Toko kelontong Bu De Ling adalah sasi semuanya, penyesalanya, keegoisan, kebencian, kemunafikan, dan terakhir kebodohan. Ajeng meraung dalam kebisuan, badannya menggigil, melebihi ketika terdampar di tengah jalanan La Naige di malam hari kala badai salju menyerang. Kepalanya berdenyut, menjadi saksi pelepasan masa lalu yang selalu terjerat dalam kemarahan. Seorang anak manusia kembali pada induk yang dalam gelap selalu menyayanginya.

***

Ponorogo, 1993

“Abang! Ini belikan es krim Miami untuk adik Ajeng ya? Supaya dia tidak menangis”, ucap seorang paruh baya dengan kain terikat dikepalanya, dia bilang biar otaknya tenang.

“jangan bilang dari ayah, nanti adek ajeng jadi sakit”, lanjutnya dengan senyum yang nanar. Ada lebam ditangan dan kakinya seperti lebam di tangan dan kaki Ajeng. Aden yang mendengar itu hanya diam.

Ponorogo- 1994

“Tebang pohonnya! Dan ganti dengan pohon pisang raja yang berdaun lebar. Bisa?”, ayah sedang menyuruh Lek Kodrek yang bekerja di rumah sebagai serabutan.

“Kenapa pohonnya ditebang, Yah?”, tanya Aden ynag baru pulang dari asrama.

“Biar Adekmu bisa tidur nyenyak” Kata ayah Aden sekaligus ayah Ajeng dengan senyum terkembang hingga matanya tertutup.

------------------------------------------------ Bersambung ------------------------------------------------

Share
Topics
Editorial Team
st. khusnul k
Editorst. khusnul k
Follow Us