[NOVEL] Juragan-PROLOG

Suara gemeresik daun trembesi tua yang berada di tepian jalan, sempat mendirikan bulu kuduk Cokro, saat dia sedang duduk dan bersedekap di bawahnya, sembari menunggu aba-aba dari Bapaknya―Suyoto―jika dibutuhkan untuk menghampiri. Sekadar memegangi senter atau mengantar kopi, sekalian mengobrol untuk mengusir kantuk yang terkadang menyerang, saat mereka sedang lep―mengairi sawah.
Di bawah pohon trembesi tua, Cokro merasa kalau hari sudah tengah malam, jika menilik dingin yang semakin menusuk, meski Cokro tak dapat memastikannya dengan tepat. Dan dari tempatnya berada, Cokro mampu menangkap cahaya dari senter milik Suyoto yang terlihat timbul tenggelam di ujung galengan―pematang sawah.
Di sana, Suyoto mulai menutup dan membuka aliran air secara manual dengan mempergunakan tanah sawah dan juga cangkul, untuk mengairi padi yang baru mereka semai.
Berpakaian lengan panjang, celana panjang longgar dan sarung yang dibebat di sekujur tubuhnya sebagai penghalau dingin, serta topi ninja yang dibawanya dari rumah, Cokro merasa cukup untuk menghangatkan tubuhnya. Lalu, beberapa menit hanya menatap cahaya senter dari kejauhan, Cokro mulai menguap, saat tak juga ada kegiatan yang dapat dilakukan, selain memandangi Suyoto yang tak juga memberi tanda kepadanya untuk mendekat, apalagi membantunya mengairi sawah milik Tirto―pemilik lumbung padi paling besar dan paling dicari hasil panennya di kampungnya, di Nganjuk―yang memiliki beberapa petak sawah dan juga kebun tebu mahaluas. Mata Ckro tinggal lima watt, padahal kopi buatan ibunya―Kadasih―terkenal mujarab untuk mengusir kantuk. Tetapi, malam ini sepertinya tidak mempan, bahkan untuk sekadar menghalau mulutnya menguap, kopi tersebut selayaknya seduhan teh di pagi hari. Berlaku seperti obat penenang.
Karena penasaran, Cokro mulai menyesap kembali kopi yang telah dingin dari botol air minum mirip jeriken kecil yang dibawanya dari rumah. Mengecapnya sedikit demi sedikit, sampai lidah Cokro menyesuaikan dengan rasa dan menghidu aromanya yang sedikit berbeda malam ini. Dirasakannya dengan jari, cethe yang terbentuk serupa bulir kecil-kecil dan diremasnya dengan lembut. Dalam hati, Cokro sudah bisa menebak, kalau bulir-bulir kecil tersebut sanggup terapung dalam air.
"Ini bukan kopi asli. Pasti ini kopi jagung. Mbok Dasih pasti salah ambil wadah. Bisa tidur nggak bangun-bangun ini nanti."
Kesal yang terbentuk tak juga mampu mengusir kantuk dan menunggu aba-aba dari Suyoto untuk membuka aliran air dari tempatnya berada juga tak lekas berkumandang.
Seperti dipulut, mata Cokro tak dapat membuka lebar. Samar-samar, saat matanya tinggal segaris, gemeresik daun trembesi tak lagi menakutkan baginya.
Cuma angin.
Sampai satu lemparan corobin―biji trembesi―mengenai pipinya yang cekung.
Mata Cokro hanya bergerak dalam sekejap dan tangannya spontan menepuk pipinya pelan seperti sedang mengusir seekor nyamuk nakal. Lalu, dia pun tertidur kembali.
Selang beberapa menit, lemparan berulang kembali, kemudian disusul suara gemeresik dedaunan yang semakin kentara di telinga. Tawa nyaring pun seperti melubangi kesadarannya. Cokro terkesiap dan memandang ke kiri dan kanan dengan degup jantung tak beraturan. Gelap. Diperhatikannya sekali lagi cahaya senter milik Suyoto yang sudah semakin jauh di ujung galengan, membuatnya sedikit lega, meski detak jantungnya tak setenang seperti sebelumnya.
Begitu ketenangan diteguknya kembali, mata Cokro mulai dirambati kantuk, seperti terlupa ketakutan yang sebelumnya telah terbentuk. Nyala senter pun tak lagi jadi pusat perhatiannya. Dia mulai memeluk mimpi kembali, meringkuk di bawah batang pohon trembesi tua dengan memeluk dengkulnya karena udara dingin terasa beberapa kali lipat menusuk tulang.
Dan, lemparan untuk ketiga kalinya benar-benar membuatnya terjaga. Cokro berdiri dan mulai merasakan ketakutan menjalari tubuhnya, sampai-sampai tangan dan kakinya gemetaran hebat. Bahkan, untuk bergerak pun terasa sukar dilakukan.
"Ojo ganggu aku. Aku golek penguripan, kowe yo golek penguripanmu dewe. Timbangane ganggu aku, luwih becik kowe ewang-ewangono aku golek panguripan ae [1]."
Kalimat tersebut terlontar seperti sebuah mantra. Mungkin, mirip seruan atau panggilan, saat gemeresik dedaunan pohon trembesi menjadi pertanda bahwa ada sesuatu yang sejak semula mengawasinya.
Seperti bergerak dengan cepat, gemeresik dedaunan tersebut seolah menuruni dahan dan berlangsung cukup lama. Dan, saat dedaunan yang berada di posisi tengah berhenti, suara tawa yang sebelumnya terdengar dekat seolah menjauh, meluncur ke bagian paling bawah dari pohon trembesi.
Cokro sempat menahan napasnya, sewaktu dua mata berwarna merah menyala menatapnya, sementara gelap yang menyelubungi bagian lain dari sosok tersebut seolah menantangnya untuk mendekat atau memilih untuk kabur. Pilihan ketiga di kepala Cokro adalah semaput.
Saat kesadaran Cokro yang sebelumnya telah raib sekitar dua puluh lima persen dan kembali lagi seperti sebuah tamparan, Cokro berbalik dan berlari sekencang mungkin untuk menghindar, sampai harus beberapa kali terperosok, ketika menjejak galengan yang memanjang di depannya.
"Pak ... Bapak. Tuluuung ... Enek medi iki, loh [2] ...."
Cokro hanya ingat, saat mendekat ke arah cahaya senter yang juga bergerak cepat menuju ke arahnya, cahaya tersebut mendadak hilang, begitu gelap mencoba menelan penglihatannya. Cokro merasakan bahunya semakin berat seperti ditindih, napasnya memburu dan kepalanya seperti ditarik-tarik hingga hampir terlepas, sampai akhirnya dia terjengkang di tengah sawah dan tak sadarkan diri.
[1] jangan ganggu aku. Aku cuma cari penghidupan, kamu juga cari penghidupan-mu sendiri. Daripada kamu ganggu aku, lebih baik bantu aku cari penghidupan saja
[2] Tolong ... ada hantu
***
Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!
storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co