Kenapa Rasa Sourdough Berbeda di Tiap Negara?

- Cara orang setempat merawat starter
- Kualitas tepung dan selera lokal
- Suhu dan kebiasaan fermentasi
Roti sehat, seperti sourdough, kini semakin digemari karena teksturnya yang khas dan cita rasa yang kompleks. Namun menariknya, roti satu ini tidak pernah terasa sama di setiap negara. Ada sourdough yang terasa lembut dan sedikit manis, ada pula yang lebih asam dan beraroma tajam. Perbedaan itu tidak bisa dijelaskan hanya dengan bahan dasar, karena roti ini sangat dipengaruhi oleh cara orang setempat mengolah, menunggu, hingga memanggangnya.
Setiap tempat punya gaya dan kebiasaan yang membuat sourdough berkembang dengan kepribadian sendiri. Kalau kamu perhatikan, rasa roti sehat ini bisa jadi semacam cermin kecil dari budaya kuliner di negara tempat ia dibuat. Kira-kira, kenapa rasa sourdough bisa berbeda di tiap negara? Ini beberapa penjelasannya!
1. Cara orang setempat merawat starter

Starter sourdough adalah jantung dari roti ini. Di sinilah adonan awal disimpan, dirawat, dan diberi makan setiap hari sebelum akhirnya digunakan. Setiap pembuat roti memiliki kebiasaan sendiri dalam merawat starter, ada yang rutin menambah tepung dua kali sehari, ada pula yang menunggu hingga aroma asamnya muncul baru kemudian diaduk. Perbedaan perlakuan inilah yang membuat rasa sourdough tidak pernah seragam di seluruh dunia.
Di Prancis, misalnya, starter biasanya dijaga tetap ringan dan wangi agar menghasilkan roti yang halus dengan aroma lembut. Sementara di Jerman, starter dibiarkan tumbuh lebih lama, sehingga rasanya lebih tajam dan warnanya lebih gelap. Cara perawatan starter tidak hanya soal kebiasaan, tapi juga hasil adaptasi terhadap iklim, bahan, dan selera masyarakat. Maka, setiap negara seolah punya karakter sendiri dalam “memelihara” rasa roti sehat ini.
2. Kualitas tepung dan selera lokal

Setiap negara punya karakter tepung yang berbeda dan hal itu sangat memengaruhi hasil akhir sourdough. Di Italia, tepung gandum keras banyak digunakan, karena menghasilkan adonan yang kenyal dan beraroma khas. Sementara di Jepang, tepung yang lebih halus sering dipilih agar roti terasa ringan dan mudah dikunyah. Kualitas dan jenis tepung ini membuat sourdough berkembang sesuai selera lidah masyarakat di masing-masing negara.
Selain itu, beberapa negara juga menambahkan bahan pelengkap untuk memperkaya cita rasa. Di Denmark, sourdough kadang diberi biji-bijian utuh yang membuat teksturnya lebih padat dan nutty. Sedangkan di Australia, sebagian pembuat roti menambahkan sedikit madu agar rasa asamnya lebih seimbang. Dengan begitu, perbedaan rasa sourdough tidak hanya berasal dari proses fermentasi, tetapi juga dari preferensi rasa masyarakat yang tumbuh bersama tradisi kuliner mereka.
3. Suhu dan kebiasaan fermentasi

Fermentasi sourdough tidak hanya proses menunggu, tetapi juga bagian dari seni membuat roti. Di negara bersuhu dingin, seperti Kanada, adonan biasanya dibiarkan mengembang lebih lama untuk memberi waktu pada rasa asam agar terbentuk sempurna. Sementara di negara tropis seperti Indonesia, suhu yang hangat membuat adonan lebih cepat naik, menghasilkan roti dengan rasa asam yang lebih lembut dan tekstur lebih ringan.
Kebiasaan ini kemudian berkembang menjadi ciri khas tersendiri. Orang Eropa umumnya lebih sabar dalam proses fermentasi karena mereka menganggap aroma kuat dan rasa kompleks sebagai ciri kelezatan. Sementara di Asia, banyak pembuat roti yang menyesuaikan prosesnya agar rasa sourdough tidak terlalu tajam di lidah. Semua bergantung pada bagaimana masyarakat menikmati roti sehat ini dalam keseharian mereka.
4. Teknik pemanggangan dan peralatan yang digunakan

Proses pemanggangan memegang peran besar dalam menentukan aroma dan tekstur sourdough. Di beberapa negara Eropa, roti masih dipanggang menggunakan oven batu tradisional yang memberikan panas merata. Hasilnya, kerak roti terasa renyah dan bagian dalamnya lembap. Sedangkan di negara modern, oven listrik dengan suhu terukur digunakan untuk menghasilkan hasil yang lebih presisi dan warna lebih cerah.
Namun, bukan hanya alat yang membedakan, cara memanggang juga punya pengaruh besar. Ada pembuat roti yang menambahkan wadah berisi air di dalam oven agar uapnya membuat kulit roti lebih tipis dan berkilau. Di tempat lain, ada yang membiarkan roti dipanggang lama untuk mendapat kerak tebal dan aroma sangrai yang kuat. Dari sini terlihat bahwa setiap negara punya cara tersendiri dalam menghadirkan tekstur dan aroma yang mereka anggap ideal.
5. Pengaruh budaya makan di setiap negara

Sourdough bukan sekadar roti, tapi juga bagian dari gaya hidup dan budaya makan. Di negara-negara Barat, roti ini sering disantap dengan mentega, keju, atau sup hangat sebagai menu sehari-hari. Di Prancis, sourdough disajikan sebagai teman keju lembut atau selai buah yang manis. Sedangkan di Asia, banyak orang menikmatinya sebagai menu sarapan modern yang praktis dan menyehatkan.
Selera masyarakat inilah yang membuat tiap negara punya ciri khas rasa sendiri. Sourdough di Swedia, misalnya, cenderung asin dan padat, karena disajikan bersama hidangan laut. Sementara di Korea, roti ini biasanya lebih lembut dan tidak terlalu asam agar sesuai dengan cita rasa lokal. Semua penyesuaian ini menjadikan sourdough bukan hanya makanan, tetapi juga representasi dari kebiasaan kuliner yang terus berkembang.
Sourdough membuktikan bahwa roti sehat bisa punya sejuta rasa tergantung di mana ia dibuat dan siapa yang mengolahnya. Dari cara merawat starter hingga cara menikmatinya, setiap negara menanamkan karakter tersendiri ke dalam adonan sederhana ini. Jadi, saat kamu mencicipi sourdough dari tempat lain, pernahkah kamu berpikir bahwa di balik setiap potong roti itu, ada cerita budaya dan cara hidup yang membuat rasanya begitu berbeda?


















