TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

WHO: Resistansi Antimikroba adalah Ancaman Kesehatan Global

Resistansi antimikroba dapat meningkatkan risiko kematian

ilustrasi bakteri resisten obat (unsplash.com/CDC)

Resistansi antimikroba bukan masalah yang sepele karena termasuk ancaman kesehatan masyarakat global. Jika tidak segera ditangani, maka meningkatkan risiko kematian karena makin berkurangnya pilihan antimikroba yang dapat menyembuhkan penyakit. 

Masalah resistansi antimikroba muncul akibat penggunaan antimikroba berlebihan. Tidak hanya pada manusia, tetapi juga pada hewan, terutama yang digunakan untuk produksi makanan dan lingkungan turut mempercepat terjadinya resistansi antimikroba.

Karena menjadi isu penting dan mendesak, Badan Kesehatan Dunia (WHO) bekerja sama dengan berbagai sektor untuk mengatasi resistansi antimikroba dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan, mengurangi infeksi, serta mendorong penggunaan antimikroba dengan hati-hati.

1. WHO menyebut resistansi antimikroba sebagai salah satu ancaman kesehatan masyarakat global

ilustrasi antibiotik (freepik.com/freepik)

Pengembangan obat antimikroba seperti antibiotik, antivirus, dan antimalaria merupakan keberhasilan pengobatan modern terbesar. Berbagai antimikroba tersebut dapat mencegah dan mengobati infeksi pada manusia, hewan, dan tumbuhan.

Namun, kemampuan obat-obatan tersebut untuk mengobati penyakit makin menurun. WHO mendeklarasikan resistansi antimikroba sebagai salah satu dari 10 besar ancaman kesehatan masyarakat global.

Baca Juga: Kuman Resistan Antimikroba Bisa Menyebar lewat Makanan

2. Resistansi antimikroba menyebar di seluruh dunia

ilustrasi bakteri Streptococcus pneumoniae (unsplash.com/CDC)

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menjelasakan, perjalanan orang, hewan, dan barang memudahkan resistansi antimikroba menyebar dari satu wilayah ke wilayah lain di dunia. Fenomena ini telah ditemukan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Seperti dijelaskan Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan RI, dr. Anis Karuniawati, PhD, SpMK(K), terjadi peningkatan prevalensi bakteri resistan obat antibiotik setiap tahun yang menjadi penyebab infeksi, terutama infeksi berat seperti radang paru-paru dan sepsis, mengutip penjelasan WHO. Indonesia diperkirakan termasuk dalam lima negara dengan tingkat konsumsi antimikroba tertinggi tahun 2030. Duh!

3. Mengapa resistansi antimikroba menjadi ancaman kesehatan global?

ilustrasi bakteri resisten (pixabay.com/Arek Socha)

Resistansi antimikroba adalah kemampuan bakteri, virus, parasit, dan jamur untuk bertahan dari pengobatan antimikroba. Di sisi lain, penemuan atau pengembangan obat baru sangat sedikit. Kemunculan dan penyebaran patogen yang kebal obat mengancam manusia dalam mengobati infeksi yang umum terjadi.

Mikroorganisme yang makin kebal obat mendorong manusia kembali ke masa ketika penyakit infeksi seperti pneumonia, tuberkulosis (TBC), gonore, dan salmonelosis tidak dapat diobati. Ketidakmampuan dalam mengobati penyakit infeksi juga membahayakan operasi dan prosedur, seperti kemoterapi.

4. Resistansi antimikroba membuat penyakit makin parah dan sulit diobati

ilustrasi obat antibiotik (freepik.com/rawpixel.com)

Resistansi antimikroba mengakibatkan infeksi makin sulit diobati, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, hingga meningkatkan risiko kematian. Salah satu infeksi yang makin sulit diobati akibat resistansi antimikroba adalah TBC.

Strain bakteri Mycobacterium tuberculosis yang kebal terhadap antibiotik mengancam kemajuan dalam pengendalian epidemi tuberkulosis (TBC) secara global. WHO memperkirakan, sekitar setengah juta kasus baru TBC resistan obat rifampisin pada tahun 2018. Sebagian besar dari kasus tersebut resistan terhadap dua obat TBC yang paling kuat.

Jika dibandingkan, pengobatan TBC resistan obat lebih sulit daripada pengobatan TBC yang masih sensitif obat. Seperti dijelaskan pada laman TBC Indonesia, TBC resistan obat memang dapat disembuhkan, tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama, bisa mencapai 18 sampai 24 bulan!

Selain waktu yang lebih panjang, biaya yang harus dikeluarkan selama pengobatan juga lebih mahal, penanganan yang lebih sulit, dan efek samping obat juga lebih berat.

Baca Juga: Resistensi Antibiotik, Risiko Pakai Antibiotik Sembarangan saat Diare

Verified Writer

Dewi Purwati

Health enthusiast

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya