Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi mendaki gunung (pexels.com/Bisesh Gurung)
ilustrasi mendaki gunung (pexels.com/Bisesh Gurung)

Mendaki gunung sering dianggap sebagai salah satu cara terbaik untuk menenangkan pikiran sekaligus melatih ketahanan tubuh. Namun, bagi penderita asma, aktivitas ini bukan sekadar soal kekuatan fisik, tetapi juga kesiapan napas yang harus dijaga agar tidak memicu kambuhnya gejala. Tantangannya bukan hanya berada di jalur menanjak atau cuaca yang berubah-ubah, melainkan juga pada bagaimana tubuh beradaptasi terhadap udara dingin dan tekanan oksigen yang menurun di ketinggian.

Karena itu, memahami kondisi tubuh dan menyiapkan strategi yang tepat menjadi hal penting sebelum berangkat. Dengan pendekatan yang bijak, mendaki gunung bisa tetap aman tanpa harus mengorbankan kesehatan pernapasanmu. Berikut beberapa tips mendaki gunung bagi penderita asma.

1. Mengetahui kondisi tubuh sebelum mendaki

ilustrasi cek kesehatan (pexels.com/cottonbro studio)

Sebelum memutuskan untuk mendaki, langkah pertama yang wajib dilakukan penderita asma adalah memeriksa kondisi paru-paru secara menyeluruh. Pemeriksaan ini membantu mengetahui seberapa kuat kapasitas napas dan apakah ada potensi risiko kambuh di kondisi tertentu seperti udara dingin atau lembap. Dokter biasanya akan memberikan saran terkait dosis obat inhaler, waktu istirahat ideal, serta batas aktivitas yang aman. Langkah ini penting karena banyak orang yang terlalu percaya diri sehingga mengabaikan sinyal tubuh yang sebenarnya sudah mulai lelah.

Selain itu, kamu juga bisa mencatat pola kambuh asma dalam beberapa minggu terakhir untuk mengenali pemicunya. Jika asma sering muncul di malam hari atau saat cuaca berubah, sebaiknya pilih jalur pendakian dengan suhu yang lebih stabil dan tidak terlalu ekstrem. Kesadaran akan kondisi tubuh sendiri bukan tanda kelemahan, justru menjadi bentuk tanggung jawab terhadap keselamatan diri. Mendaki gunung bukan ajang adu kuat, melainkan proses menikmati alam dengan tubuh yang sadar akan batasnya.

2. Menyiapkan obat dan alat pendukung dengan tepat

ilustrasi inhaler (pexels.com/Cnordic Nordic)

Obat-obatan asma seperti inhaler, spacer, atau nebulizer portabel wajib dibawa dan disimpan di tempat yang mudah dijangkau. Banyak penderita yang menaruh obat di bagian bawah tas carrier tanpa mempertimbangkan kondisi darurat, padahal waktu reaksi saat serangan asma muncul sangat berharga. Letakkan inhaler di saku luar atau tas kecil di dada agar bisa diambil secepat mungkin. Selain itu, bawa juga obat antihistamin jika kamu sensitif terhadap debu atau serbuk bunga, karena hal ini sering menjadi pemicu sesak di jalur gunung.

Kamu juga bisa membawa kantong kedap udara untuk melindungi obat dari kelembapan. Kondisi udara di pegunungan yang dingin dan lembap dapat mempengaruhi efektivitas obat, terutama jika dibiarkan terbuka terlalu lama. Pastikan obat-obatan tersebut masih dalam masa berlaku dan tidak ada bagian yang rusak. Jika kamu melakukan pendakian lebih dari satu malam, simpan stok cadangan agar tetap aman.

3. Mengatur pola napas dan ritme langkah selama pendakian

ilustrasi kelelahan saat mendaki (pexels.com/Kamaji Ogino)

Mengatur napas adalah kunci utama agar penderita asma tidak cepat lelah saat mendaki. Banyak orang terlalu bersemangat di awal, melangkah cepat, lalu kehabisan tenaga sebelum sampai pos pertama. Sebaiknya atur ritme langkah secara konstan, tarik napas perlahan lewat hidung dan keluarkan melalui mulut agar oksigen lebih terkontrol. Pola napas seperti ini membantu menjaga kestabilan paru-paru dan mencegah bronkospasme, yaitu penyempitan saluran udara akibat kelelahan atau udara dingin.

Selain itu, hindari mendaki dalam kondisi lapar karena kadar gula darah yang menurun bisa memengaruhi daya tahan tubuh dan membuat napas terasa berat. Istirahatlah setiap satu jam sekali untuk menyesuaikan tubuh dengan ketinggian, sambil minum air hangat agar tenggorokan tetap lembap. Pola napas yang stabil juga membantu menjaga mental agar tetap fokus dan tidak panik saat jalur terasa berat. Dengan begitu, perjalanan akan terasa lebih aman dan menyenangkan meskipun kamu memiliki riwayat asma.

4. Memilih waktu dan lokasi pendakian yang sesuai

ilustrasi jalur pendakian (commons.wikimedia.org/Aji purwahusada)

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap kondisi pernapasan penderita asma. Waktu terbaik untuk mendaki biasanya pagi hingga siang hari ketika suhu udara masih hangat dan kelembapan belum terlalu tinggi. Hindari memulai pendakian di malam hari karena suhu yang turun drastis bisa membuat saluran napas lebih sensitif. Pilih juga gunung dengan ketinggian sedang, sekitar 1.000–2.000 mdpl, agar tekanan oksigen masih dalam batas aman.

Selain itu, pelajari dulu karakteristik jalur pendakian yang akan ditempuh. Beberapa gunung memiliki vegetasi lebat dan banyak debu di jalur kering, yang bisa memicu batuk atau sesak. Gunakan masker atau buff untuk melindungi saluran napas dari partikel halus. Jangan ragu untuk menunda pendakian jika cuaca tidak mendukung, karena tubuh yang memaksa justru lebih berisiko mengalami kambuh di tengah perjalanan.

5. Menjaga asupan cairan dan nutrisi selama di gunung

ilustrasi makanan di gunung (unsplash.com/Vital Sinkevich)

Tubuh penderita asma sangat bergantung pada keseimbangan cairan untuk menjaga elastisitas paru-paru. Saat mendaki, dehidrasi dapat memperburuk kondisi pernapasan karena lendir di saluran napas menjadi lebih kental dan sulit dikeluarkan. Minumlah air putih secara rutin, meskipun tidak merasa haus. Hindari minuman berkafein atau terlalu manis karena dapat mempercepat penguapan cairan tubuh.

Selain cairan, perhatikan juga asupan nutrisi dengan mengonsumsi makanan tinggi protein dan serat seperti tempe, telur rebus, atau buah segar. Makanan ini membantu menjaga energi tanpa menimbulkan rasa berat di perut. Jangan lupa membawa camilan ringan yang bisa dimakan cepat ketika merasa lelah. Tubuh yang terhidrasi dan tercukupi nutrisinya akan jauh lebih kuat menghadapi perubahan suhu di ketinggian.

Menikmati udara gunung memang menenangkan, tetapi bagi penderita asma, keselamatan tetap harus jadi prioritas. Setiap langkah yang diambil sebaiknya disertai kesadaran penuh terhadap kondisi tubuh sendiri agar kegiatan ini tidak berubah menjadi bahaya. Jadi, apakah kamu sudah siap mempersiapkan diri dengan lebih bijak sebelum menaklukkan jalur pendakian berikutnya?

Referensi

"Can I Climb Kilimanjaro with Asthma?" Climb Kili. Diakses pada Oktober 2025.

"Asthma at high altitude: what every traveller should know". Follow Alice. Diakses pada Oktober 2025.

"How to Hike with Asthma". BACKPACK. Diakses pada Oktober 2025.

"Asthma in patients climbing to high and extreme altitudes in the Tibetan Everest region". National Library of Medicine. Diakses pada Oktober 2025.

"Mountain Climbing Safety". Healthline. Diakses pada Oktober 2025.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team